• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kawasan Karmel #3

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kawasan Karmel #3

Nama Karmel berasal dari nama Suster Karmel, sekelompok biarawati Ordo Karmelit, yang menempati bangunan milik keluarga Ursone di kawasan Baroe Adjak, Lembang.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Pintu masuk galeri Biara Karmel. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

15 Maret 2025


BandungBergerak.id – Kisah selanjutnya adalah kawasan utara Karmel yang dahulu dipakai sebagai  beberapa gudang dan kebun dari N.V. Baroe Adjak. Dahulu nama kawasan ini adalah kawasan Baroe Adjak (karena kawasan Baroe Adjak ini sangatlah luas, dan kawasan Karmel adalah bagian dari itu), belum disebut Karmel. Disebut Karmel ketika tahun 1940, tiga gudang susu tersebut dihibahkan Ursone bersaudara kepada keuskupan Bandung dan dihuni oleh beberapa suster Karmelit, mulai dari sanalah kawasan ini berubah penyebutannya menjadi kawasan Karmel.

Apa itu Karmel? Itu juga menjadi pertanyaan saya ketika pertama kali menyambanginya di tahun 1998 silam. Ketika berkesempatan melakukan riset kecil-kecilan akhirnya diketahui bahwa nama Karmel itu berasal dari Suster Karmel. Suster Karmel yaitu sekelompok biarawati yang tergabung dalam Ordo Karmelit, yaitu sebuah ordo keagamaan Katolik, mereka mengabdikan hidup mereka untuk Tuhan melalui kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan (Wikipedia).

Sekitar tahun 2015 salah seorang rekan, menawarkan saya sebuah buku langka yaitu “Tonggak-tonggak Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Bandung” yang diterbitkan tahun 1984 dalam rangka 450 tahun gereja Katolik di Indonesia. Buku tersebut ternyata menyimpan sejarah yang sangat panjang dan di dalamnya pun terdapat kisah mengenai sejarah kawasan Karmel, Lembang. Bahkan di dalam buku ini tercatat jelas ketika pasukan Jepang menyerang Lembang (pertempuran Ciater Steling) sebelum Jepang merangsek masuk ke utara Bandung. Buku ini menjadi salah satu sumber penting bagi kesejarahan Lembang, terutama masa- masa pergantian kekuasaan dari masa kolonialisme Belanda menjadi pendudukan tentara Jepang.

Di dalam buku “ Tonggak-tonggak Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Bandung” ini sejarah kawasan Karmel dapat ditemukan di halaman  161, serta halaman 202 hingga 206. Dan mari saya akan mulai perkenalkan kepada para pembaca semua, inilah kisah sejarah berdirinya Gereja Karmel Lembang.

Koleksi galeri Biara Karmel. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Koleksi galeri Biara Karmel. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Selamat Datang di Lembangweg #3
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kawasan Karmel #1
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kawasan Karmel #2

Gereja Karmel Lembang.

Pada tahun 1939, sekelompok Suster Karmel OCD dari biara induk Nijmegen H. Landstichting mempersiapkan diri untuk menjawab tawaran bapak suci Paus Pius XII. Paus menawarkan agar biara-biara kontemplatif juga ikut mengambil bagian dalam kerasulan doa di daerah misi. Ketika itu yang akan diberangkatkan ke daerah misi berjumlah 8 suster. Mereka berangkat dari Nijmegen tanggal 14 November 1939 dengan menumpang kapal barang. Mereka semua tiba di Batavia tanggal 31 Desember 1939 dan langsung menuju keuskupan Bandung. Mereka tiba pukul 7 malam pada saat itu, dan langsung menginap di Biara Ursulin (sekarang Jalan Merdeka)  Bandung.

Kelompok perintis ini adalah :

  1. Muder Margareta yang menjadi pionir sejak sebelum berangkat ke Hindia Belanda.
  2. Paula
  3. Immaculata
  4. Ancilla
  5. Joanna, yang meninggal tanggal 1 September 1941 di Lembang.
  6. Elia
  7. Stephana
  8. Redemptha

Meskipun pada saat itu kondisi dunia telah memasuki Perang Dunia ke-2, namun kelompok perintis ini tetap berangkat.  Seandainya ditunda, maka kemungkinan keberangkatan mereka akan batal karena perang.

Selama berada di Bandung para suster ini menggunakan waktunya untuk mengenal situasi setempat. Akhirnya pada tanggal 17 Maret 1940 pada hari Minggu Palem, kelompok perintis berangkat ke Lembang diantarkan oleh Mgr. Goumans, Ursulinen dan para penderma. Keberangkatan ini lengkap dengan Sakramen Mahakudus yang dibawa oleh Mgr sendiri.

Di Lembang mereka menempati bekas peternakan sapi di mana ada 3 rumah bekas gudang susu. Tiga rumah ini, salah satu digunakan untuk Kapel lengkap dengan teralinya. Lalu rumah kedua digunakan untuk kamar tidur bagi 5 suster dengan amat berdesakan. Apabila mereka hendak tertidur harus naik dari ujung amben, yaitu bagian alas ranjang untuk menopang kasur, biasanya amben terbuat dari kayu atau logam. Serta rumah selanjutnya dipakai untuk kamar tidur Muder, 2 orang suster, dan kamar bicara.

Setelah beberapa bulan hidup di Lembang rupanya Tuhan berkenan memberikan cobaan kepada kelompok perintis ini. Tanggal 1 September 1941 salah seorang dari mereka meninggal dunia karena terserang penyakit Typus, yaitu Sr. Joanna. Sejak kedatangan mereka ke Lembang terus mengurus biara, meskipun dalam keadaan serba berkekurangan. Sedemikian kekurangannya hingga Mgr. Goumans sendiri setiap minggu datang untuk membawakan makanan dan kebutuhan lainnya untuk kehidupan para suster dengan diperoleh dari beberapa penderma di kawasan Bandung dan Lembang.

Koleksi galeri Biara Karmel. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Koleksi galeri Biara Karmel. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

Perkembangan Biara

Pastor pertama yang menetap di Lembang adalah Pastor de Vocht OSC di depan Biara Karmel. Pada bulan Maret 1942 ketika  pasukan Jepang telah mulai merangsek masuk melalui utara Lembang, pastoran pun terbakar hebat dan para suster beserta pastor dievakuasi ke Bandung. Selama periode pendudukan Jepang, kawasan Biara Karmel terbengkalai bahkan tidak tersentuh sama sekali oleh kehidupan dan itu berlangsung bertahun-tahun. Pada pasca kemerdekaan, kawasan Biara Karmel dipergunakan sebagai asrama kepolisian,  bahkan bangunan gereja pada saat itu dipakai sebagai kandang kuda. Hingga pada tahun 1963 secara berangsur-angsur kawasan Biara Karmel mulai dikembalikan kepada para suster. Dengan banyak pertolongan beberapa umat di Bandung dan Lembang akhirnya mereka para suster berhasil memulihkan kembali kawasan Biara Karmel dan Gereja Karmel kembali seperti semula.

Tahun 1967, seminari menengah St. Paulus di Bandung pindah ke Lembang menempati bekas kapel Baroe Adjak yang sekarang menjadi Piknik Kopi Lembang. Pastor Schellekens OSC, guru seminari ditunjuk bapak Uskup menjadi pastor di Lembang. Ia mulai mencatat nama orang yang dipermandikan dalam buku permandian yang baru, buku itu mulai tanggal 27 April 1967. Dan tahun 1975 seminari kembali dipindahkan ke Bandung.

Jumlah umat Katolik yang tinggal di Lembang pada saat itu 400 orang atau 0,5 persen dari jumlah seluruh penduduk Lembang tahun 1975 yang berjumlah 84 ribu jiwa. Umat Katolik di Lembang terdiri dari para Suster Karmelit, Kompleks Desa Taruna/SOS Kinderdorp, Seskopol, Seskoau, dan Seskowad. Hampir seluruh umat di paroki ini adalah pendatang dari Jawa Tengah, Flores dan Timor-Timur, serta orang-orang Tionghoa.

Kisah perjalanan panjang sejarah berdirinya Biara Karmel ini sekarang dapat kita lihat dalam megahnya sebuah galeri tepat di depan pintu masuk Kompleks Biara dan dapat diakses umum pada jam kerja. Tapi menurut saya ini bukan hanya galeri, melainkan sebuah Museum pertama di Lembang.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//