Sesungguhnya Negara adalah Perusak dan Perampas Hubungan Asmara
Kesalahan negara tak hanya berhenti dalam kejomloan saja melainkan dalam tahap pendekatan, pacaran, hingga kandasnya satu hubungan.

Bintang Prakasa
Manusia kelahiran 2003 di Jakarta yang sedang membiasakan untuk menulis dan membaca
20 Maret 2025
BandungBergerak.id – Dalam beberapa pekan lalu saya membaca sebuah artikel yang berjudul “Kejomloan Saya adalah Kesalahan Negara!” ditulis oleh Tofan Aditya dan satunya lagi yang saya baca, yakni berjudul “Menjadi Jomlo Bukan Salahmu!” ditulis oleh Nida Nurhamidah.
Dalam artikel pertama tersebut, menurut saya penulis mencoba mendedah terkait sebenarnya kejomloan ini disebabkan oleh kebijakan-kebijakan nirguna yang dibuat negara. Serta, jika dalam artikel kedua, saya menangkap mengenai stigma yang ironisnya telah melekat di sekitar kita tentang perempuan dan pernikahan. Dari kedua artikel tersebut, penulis mencoba mengupas dan mengungkapkan adanya kesalahan negara, kapitalisme, serta patriarki dalam urusan kejomloan ini.
Saya sepakat dengan apa yang tertuang dalam kedua artikel tersebut, tetapi menurut saya kesalahan negara tak hanya berhenti dalam kejomloan saja melainkan dalam tahap pendekatan, pacaran, hingga kandas hubungan juga terdapat kesalahan negara yang menjadi penyebab dan nahasnya selalu berkelindan dalam urusan asmara.
Baca Juga: Tofan dan Betapa Pentingnya Keterlibatan Kaum Jomlo dalam Persoalan Aktual
Susahnya jadi Jomlo di Zaman ini
SUARA SETARA: Menjadi Jomlo Bukan Salahmu!
Tahap Pendekatan (PDKT)
Dalam tahap ini merupakan sebuah proses akan lanjut atau tidaknya dua orang terkait untuk komitmen menjalani hubungan, tetapi saya melihat banyak sekali kejadian entah itu di lingkungan yang saya tahu maupun dalam media sosial. Di antaranya adalah ada seorang laki-laki mengajak gebetannya untuk pertemuan pertama kali di stasiun kereta api dan hal tersebut langsung ramai diserbu warganet dikarenakan laki-laki tersebut dianggap kurang menghargai dalam mengajak pertemuan/kencan pertama itu.
Setelah melihat hal itu, saya berpikir mengapa warganet langsung begitu saja menyerang laki-laki tersebut terkait tempat yang dipilihnya. Setelah membaca dan mencerna yang dilontarkan oleh warganet, akhirnya sedikit demi sedikit saya mulai bisa merasakan keresahan itu karena melihat kenyataan yang ada mengenai kondisi stasiun kereta api di Indonesia khususnya Jabodetabek, masih sangat jauh sekali dari kata aman dan nyaman. Seharusnya sah-sah saja seseorang mengajak gebetannya pada pertemuan pertama untuk makan odeng di Lawson stasiun kereta api atau meromantisasi seperti di film “Before Sunrise”. Namun, hal tersebut belum tercapai hingga saat ini dan tentu saja ini merupakan kesalahan negara karena tidak merancang dan menggarap secara serius fasilitas publik yang ada.
Padahal, sudah termuat dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yakni Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Serta pada Pasal 15 huruf (d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyatakan bahwa Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai. Tambahannya terdapat dalam Pasal 25 Ayat (1) bahwa Penyelenggara dan pelaksana berkewajiban mengelola sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan/atau penggantian sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik. Akan tetapi, lagi-lagi negara hanya membuat landasannya saja, tetapi implementasinya tidak dijalankan sehingga hanya sekadar formalitas belaka.
Tahap Selanjutnya (Pacaran)
Pada tahap ini, saya tidak akan membahas terkait hal-hal privat dalam tiap hubungan, tetapi akan mencoba melihat sedikit lebih jauh bahwa sebenarnya ada kejadian bahkan konflik kerap terjadi dalam tahap ini terkadang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan tidak beres yang dikeluarkan oleh negara.
Hal tersebut masih mengenai fasilitas publik, singkatnya ada seseorang berkeluh kesah di laman media sosialnya bahwa dirinya kesal dengan pacarnya karena tidak mempunyai kendaraan pribadi yang mengakibatkan jika ingin bermain, kencan, atau ke mana pun harus menggunakan transportasi umum. Tentu saja hal tersebut langsung ramai diserbu warganet dengan tanggapan pro dan kontra, tetapi lebih banyak kontra bahkan menghujat hal-hal pribadi dari orang tersebut.
Namun, jika kita mencoba berpikir dengan lebih tenang dan jernih akan terlihat inti masalah dari hal itu, yakni perihal transportasi umum di Indonesia masih terbengkalai dan kurang memadai. Seperti, sering kali saya sendiri merasakan mengenai kurangnya informasi jika ada hambatan terkait transportasi umum rute tertentu, eskalator dan lift sering kali rusak dan tidak segera dibenahi, serta belum meratanya jumlah kendaraan yang mengakibatkan penumpukan penumpang. Jadi, kejadian yang dikeluhkan oleh orang tersebut sebenarnya merupakan luapan dari apa yang dia rasakan dan biang keroknya lagi-lagi ya negara yang hingga saat ini belum bisa menciptakan rasa aman dan nyaman dalam fasilitas maupun pelayanan publik.
Selanjutnya, ruang-ruang publik seperti perpustakaan maupun taman terbuka yang sering kali dijadikan salah satu pilihan untuk menghabiskan waktu pada akhir pekan. Namun, nyatanya tempat-tempat tersebut seperti Perpustakaan Nasional (Perpusnas) hari Sabtu dan Minggu hanya buka dari pukul 09.00 sampai 16.00 WIB. Bahkan, untuk sekadar ngobrol di Taman Ismail Marzuki (TIM) pukul 20.00 atau 21.00 WIB petugas keamanan sudah wara-wiri memberi himbauan untuk segera meninggalkan tempat. Ruang publik yang seharusnya memiliki jam buka yang panjang, tetapi sialnya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara selalu membatasi dan merampas hak untuk belajar, bekerja, berkumpul melakukan aktivitas komunal, hingga urusan asmara.
Tahap Menyakitkan (Kandasnya Hubungan)
Tahap ini menurutku adalah paling menyakitkan dan membuat kita belajar lebih banyak lagi perihal di mana letak kekeliruan yang sebenarnya terjadi. Ternyata ada hal-hal lebih kompleks di luar dari perihal perlakuan atau peran personal kita saat menjalani hubungan yang menyebabkan selesainya asmara itu. Betul sekali, negara adalah dalang di balik kandasnya hubungan kita.
Seperti, beban kerja yang berat dan jam kerja yang tidak masuk akal sehingga dalam satu pekan hanya punya waktu luang sehari yang mengakibatkan seseorang tersebut tidak bisa menjadi maksimal untuk menghabiskan waktu bersama pasangan. Belum lagi ditambah pikiran terkait gaji dalam sebulan jauh di bawah rata-rata dan banyak kewajiban yang harus dibayar mulai dari bayar listrik, kontrakan, wifi, hingga makan sehari-hari.
Dari kejadian tersebut yang dapat saya lihat dan berpikir adalah bahwa sebenarnya kesalahan negara masih berkelindan dan melekat hingga saat ini salah satunya adalah beban kerja tidak sebanding dengan pendapatan dalam sebulan, ditambah kita sering kali was-was terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang marak terjadi.
Mulai dari bobroknya fasilitas publik maupun pelayanan publik, terbatasnya ruang publik, hingga pendapatan yang tidak layak menjadi faktor-faktor yang sebenarnya mempengaruhi, menghambat, dan menghancurkan hubungan. Maka dari itu, tulisan-tulisan mengenai kejomloan merupakan kesalahan negara adalah valid rasanya dan di sini mungkin saya hanya menambahkan bahwa kesalahan-kesalahan negara tersebut juga masih berlangsung dalam hubungan asmara seseorang.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel menarik lainnya mengenai jomlo dan kejomloan