MAHASISWA BERSUARA: Tempat Ibadah sebagai Alat Pembebasan
Tempat ibadah memiliki potensi besar sebagai alat pembebasan untuk membangun kesadaran sosial, menegakkan keadilan, dan memperjuangkan hak-hak yang termarginalkan.

Raihan Muhammad
Manusia biasa yang senantiasa menjadi pemulung ilmu dan pengepul pengetahuan. Saat ini sedang berkuliah di FH sekaligus FISIP di kampus 'pelat merah'.
21 Maret 2025
BandungBergerak.id – “Kemanusiaan itu tak mengenal batas negara dan agama. Ia tumbuh dari keajaiban nuranimu tanpa sekat, tanpa musim.” –Helvy Tiana Rosa.
Beberapa waktu lalu, di akun media sosial resminya, ada seorang menteri-cum-politikus mengomentari (baca: berdengung tanpa isi) mengenai salah satu tokoh publik yang berbicara mengenai politik dalam Kuliah Umum Ramadan di masjid kampus. Alih-alih berfokus pada urusan dalam lingkup kementerian yang menjadi tanggung jawabnya, tetapi secara serampangan dan ugal-ugalan, ia malah mengurusi hal yang bukan urusannya. Pun, komentarnya tak berbobot, dan sama sekali tak menunjukkan sikap negarawan –malah justru “mengerdilkan” masjid seolah sekadar tempat sujud dan doa. Mungkin, ia sedang berperan sebagai politikus (KBBI: orang yang berkecimpung dalam bidang politik), yang oleh Twain, politik didefinisikan sebagai satu-satunya profesi yang memungkinkan untuk berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati.
Bahkan, di salah satu magnum opus-nya –Di Persimpangan Kiri Jalan (1997)– Soe Hok Gie menyebut politikus sebagai badut-badut, sekaligus tukang sulap yang selalu menang. Dalam realitasnya, badut-badut ini tak cuma mempermainkan akal sehat, tetapi juga sering kali menyulap kebenaran menjadi kebohongan yang diterima oleh massa tanpa pertanyaan. Mereka lebih sibuk menciptakan sensasi ketimbang memperjuangkan keadilan, lebih giat mengejar popularitas ketimbang menegakkan integritas. Pun, yang tersisa hanyalah panggung politik yang dipenuhi topeng, sementara esensi dari pelayanan kepada rakyat terabaikan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketika Nepotisme Menggerogoti Organisasi Mahasiswa
MAHASISWA BERSUARA: Puasa, Perlawanan terhadap Sistem Ekonomi yang Menindas
MAHASISWA BERSUARA: Sistem Pendidikan Indonesia, dari Kenyamanan yang Membelenggu Menuju Perubahan yang Membangun
Bukan Sekadar Tempat Ritual Ibadah Semata
Di tengah kegaduhan politik yang semakin kehilangan arah, tempat ibadah menjadi oase yang memberi kesejukan jiwa. Tempat-tempat ini semestinya bukan cuma ruang untuk berdoa atau ritual semata, tetapi juga mesti menjadi ruang yang memberi pembebasan. Pembebasan dari belenggu kebohongan yang dibangun oleh politikus, dari hegemoni yang menindas, dan dari ketidakadilan yang kian merajalela. Tempat ibadah sejatinya bukan cuma berfungsi sebagai tempat untuk mencari kedamaian batin, tetapi juga sebagai medan “perlawanan” terhadap ketidakadilan yang dibungkus dengan kedok politik.
Tempat ibadah bisa menjadi alat yang ampuh untuk membangun kesadaran kolektif, untuk menyatukan manusia dalam nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Ketika politik dipenuhi dengan kepentingan pribadi dan kelompok, agama dan tempat ibadah menawarkan sebuah alternatif yang lebih luhur—yakni, sebuah panggilan untuk kembali kepada nilai-nilai kemanusiaan yang murni. Tempat ibadah bisa mengingatkan kepada setiap insan—khususnya para penganutnya—bahwa kedamaian sejati bukan hanya diperoleh melalui kemenangan di dunia politik, tetapi melalui perjuangan moral yang menuntut kita untuk berpihak kepada mereka yang tertindas dan termarginalkan oleh rakusnya sistem kapitalisme, yang sering kali difasilitasi oleh pemerintah.
Tempat ibadah sejatinya bisa menjadi medan pembebasan yang menginspirasi perubahan, baik dalam skala individu maupun kolektif. Dalam keheningan doa dan dzikir, semestinya setiap umat dapat menemukan keberanian untuk berdiri teguh di atas prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi—jauh dari kepentingan yang memperdaya. Tempat ibadah sejatinya bukan hanya menjadi tempat untuk menyendiri dalam kesucian, tetapi juga menjadi ruang di mana setiap insan bisa saling menguatkan dalam menghadapi ketidakadilan. Ini adalah tempat untuk menyuarakan kebenaran, memunculkan kesadaran sosial, dan menyerukan kebebasan bagi mereka yang tertindas oleh kekuasaan yang tidak berpihak pada kemanusiaan.
Dalam setiap ajaran agama yang sesungguhnya, ada seruan untuk memperjuangkan keadilan, untuk mengangkat martabat manusia, dan untuk menentang segala bentuk penindasan. Tempat ibadah, dalam hal ini, berperan sentral dalam membentuk masyarakat yang adil dan beradab. Dengan memanfaatkan tempat ibadah sebagai ruang untuk mengkritisi ketidakadilan sosial dan politik, umat dapat mengubahnya menjadi alat pembebasan yang lebih besar ketimbang sekadar pemenuhan kewajiban ritual semata.
Ketika ruang-ruang ibadah digunakan untuk membangun solidaritas sosial dan menyatukan visi umat dalam menanggapi ketidakadilan yang ada, maka mereka bukan hanya berfungsi sebagai tempat untuk merendahkan diri kepada Tuhan, tetapi juga sebagai tempat untuk melawan ketidakadilan, memberikan suara kepada yang tak terdengar, dan memperjuangkan kesejahteraan bersama. Hingga hari ini, banyak tempat ibadah yang dipakai –bukan sekadar tempat ritual– sebagai tempat “perlawanan” dan “pembebasan”, tempat intelektual disuarakan. Sebut misalnya di Masjid At-Taqwa Patemon, Semarang, masjid Muhammadiyah yang kerap kali mengadakan agenda-agenda “perlawanan” dalam bentuk pencerdasan. Pun, pelbagai masjid kampus di Indonesia melakukan hal serupa, Masjid Kampus UGM dan ITB misalnya. Begitulah hakikat masjid, yang dalam sejarahnya –pada era Rasulullah SAW–berperan bukan sekadar tempat ritual ibadah semata, melainkan juga berperan dalam perencanaan strategi perang, pengelolaan pemerintahan, serta penyelesaian persoalan sosial masyarakat.
Tak hanya masjid, gereja di Sumatra Utara baru-baru ini mengadakan tajuk “Merawat Alam Tano Batak”. Pada Maret 2025, petinggi gereja di Sumatera Utara menggelar doa bersama "Merawat Alam Tano Batak" di Gereja HKBP Lumban Julu sebagai respons terhadap konflik antara Masyarakat Adat dan perusahaan. Acara ini dihadiri oleh jemaat, mahasiswa, pemuda, dan pejabat, serta didukung oleh PGI yang menyatakan dukungan 105 Sinode Gereja terhadap perjuangan Masyarakat Adat.
Masjid dan gereja di atas hanyalah contoh kecil dari banyaknya rumah ibadah di Indonesia yang berfungsi lebih dari sekadar tempat ritual keagamaan. Tempat-tempat ibadah ini, baik masjid, gereja, pura, vihara, kelenteng, maupun tempat ibadah lainnya, telah menjadi sarana untuk membangun kesadaran sosial, menegakkan keadilan, dan memperjuangkan hak-hak yang termarginalkan. Ini menjadi ruang bagi umat untuk menggelorakan semangat perlawanan terhadap penindasan, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
Peran Penting Pemuka Agama
Pemuka agama memiliki peran yang sentral dalam mengarahkan dan memotivasi umat untuk menggunakan tempat ibadah sebagai alat pembebasan. Sebagai figur yang dihormati dan dipercaya, mereka (semestinya) bukan cuma bertugas untuk menyampaikan ajaran agama, tetapi juga menjadi pemandu moral dalam menghadapi ketidakadilan sosial. Pemuka agama mesti mampu melihat realitas sosial sekitar, tidak cuma terkonsentrasi pada urusan pribadi atau dogma semata, tetapi juga peka terhadap penderitaan umat dan lingkungan yang termarginalkan.
Melalui pengaruh dan otoritas moralnya, pemuka agama bisa mengajak umat untuk tidak sekadar menaati ritual ibadah, tetapi juga untuk memperjuangkan nilai-nilai keadilan yang lebih luas. Misalnya, pemuka agama di pelbagai tempat ibadah telah mengadakan forum diskusi, seminar, dan doa bersama yang mengangkat isu-isu sosial yang relevan, seperti ketidakadilan ekonomi, lingkungan hidup, dan hak-hak masyarakat adat. Hal ini bisa menjadi pendorong utama dalam gerakan-gerakan sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang tertindas atau termarginalkan.
Dalam sejarahnya, Indonesia pernah mempunyai sosok pemuka agama yang hebat, yakni Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, alias Romo Mangun, dikenal karena perjuangannya dalam memperbaiki kehidupan sosial masyarakat kurang mampu. Melalui keterlibatannya di kawasan Kali Code dan Kedungombo, ia membantu warga yang terancam penggusuran dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi mereka.
Sebagai seorang rohaniwan dan arsitek, ia menggunakan pengetahuan dan empatinya untuk keberpihakan kepada mereka yang tertindas dan termarginalkan, ia memperbaiki pemukiman, menyediakan akses pendidikan, serta membangun solidaritas di kalangan warga. Karya-karya sosialnya diakui secara internasional, termasuk dengan penghargaan The Aga Khan Award. Hingga kini, masyarakat mengenangnya melalui nama "Kampung Romo Mangun" sebagai penghargaan atas perubahan yang ia bawa.
Pun pada era kini, ada seorang agamawan-cum-aktivis, yakni Roy Murtadho. Ia secara konsisten lantang menyuarakan dan berpihak kepada mereka yang papa dan liyan. Melalui pelbagai platform, ia tidak cuma mengajarkan nilai-nilai agama (dari paradigma kritis), tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial dengan mengajak umat untuk lebih peka terhadap realitas sosial yang mereka hadapi. Ia melihat tempat ibadah sebagai ruang untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia. Tentu, Romo Mangun dan Roy Murtadho merupakan sebagian kecil dari banyaknya agamawan yang bersama umat dan rakyat memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Itulah sejatinya peran dan fungsi agamawan: berpihak dan “melawan” kebatilan.
Dengan demikian, tempat ibadah sejatinya memiliki potensi besar sebagai alat pembebasan, bukan sekadar ruang ritual. Sebagai tempat yang dihormati, ia dapat membangun kesadaran sosial, menegakkan keadilan, dan memperjuangkan hak-hak yang termarginalkan. Pemuka agama pun berperan sentral dalam mengarahkan umat untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, menjadikan tempat ibadah sebagai ruang untuk bertindak. A luta continua, viva comrades!
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara