NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #4
Tak cukup dengan wijkenstelsel, kompeni mensyaratkan imigran Tionghoa menggunakan “passport” lokal. Beragam aturan tak menyurutkan komunitas etnis ini membesar.

Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
22 Maret 2025
BandungBergerak.id – Khawatir akan berulangnya pemberontakan imigran Tionghoa, VOC membuat sebuah sistem pembatasan yang disebut sebagai Wijkenstelsel; sebuah aturan ketat yang memaksa para imigran Tionghoa tinggal terpisah dari etnis lainnya. Sentralisasi permukiman yang saat itu disebut sebagai Chineesche kamp menjadi cikal bakal pecinan atau pecinaan, yang merupakan kampung-kampung khusus etnis Tionghoa di Nusantara, hingga kini.
VOC memang pantas resah. Pemberontakan yang berawal dari Batavia merembet ke kota-kota lain di sepanjang pesisir Pulau Jawa. Perlawanan dari imigran Tionghoa terus berkobar, terutama setelah kelompok-kelompok mereka bersatu dan mulai bersekutu dengan para pemuka Jawa untuk bersama-sama melawan bangsa kompeni. Wijkenstelsel yang terus diperbaiki rupanya tidak cukup membatasi para imigran untuk terus bergerak.

Pemberlakuan Passenstelsel
Pemberontakan yang dilakukan oleh imigran Tionghoa benar-benar membuat kompeni paranoid. Wijkenstelsel yang diberlakukan untuk mempersempit gerak mereka dianggap tidak cukup efektif. Terbukti beberapa kelompok etnis Tionghoa melakukan pergerakan dan membentuk aliansi dengan para pemuka Jawa. Perang lokal di kota-kota pesisir Jawa tak terhindarkan. Bersama dengan para bupati, mereka terus mengadakan perlawan, hingga tahun 1743 (Yohannes, 1988 ; Kustedja, 2012).
Maka untuk memutus aliansi para imigran Tionghoa dengan para pemuka daerah atau bahkan kelompok-kelompok lain dari bangsa bumiputra, kompeni memperketat aturan wijkenstelsel. Para imigran yang sudah dibatasi permukimannya dikenakan lagi aturan untuk menghambat mereka keluar dari ghetto-ghetto buatan VOC. Diberlakukanlah aturan yang dinamakan passenstelsel.
Dalam setiap perkampungan atau Chineesche kamp diangkatlah seorang pemimpin yang disebut wijkenmesteer. Tugas pemimpin ini mengatur segala hal yang berkaitan dengan para pemukim, termasuk mengeluarkan semacam kartu atau surat yang disebut pass jalan, yang berfungsi semacam passport lokal. Dengan kartu pass jalan inilah penduduk mendapatkan izin untuk sekadar keluar dari perkampungan mereka. Melanggar passenstelsel dapat dikenakan denda belasan gulden hingga hukuman penjara (Ong Hok Kam, 2005).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #1
NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #2
NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #3

Pembatasan Dibuat, Komunitas Tionghoa Semakin Membesar
Begitulah VOC membuat aturan wijkenstelsel dan passenstelsel agar kelompok-kelompok etnis Tionghoa tidak dapat berhubungan erat dengan bangsa bumiputra. VOC khawatir terulangnya pemberontakan para imigran. Namun, VOC sendiri sebenarnya tidak cukup konsisten dengan aturan yang dibuatnya. Pemicu terjadinya “geger Pacinan” adalah kekisruhan yang terjadi akibat VOC tak mau kalah saing secara ekonomi dengan para imigran Tiongkok yang datang ke Nusantara untuk berniaga. Kepalang butuh, sikap VOC pun mendua.
Dalam menjalankan roda perekonomiannya, kompeni sebagai produsen sekaligus penguasa berkepentingan agar barang-barang produksi mereka sampai pada konsumen akhir. Mereka membutuhkan kelompok-kelompok pedagang untuk melakukan direct selling, dan mereka tidak bisa melakukannya sendiri karena gengsi. Para pedagang asal Tiongkok inilah yang berjasa menjual produk-produk tersebut guna memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk bumiputra. Sehingga orang-orang Tionghoa ini dikenal sebagai penjual kelontong keliling (Kustedja, 2012). Mereka menjual produk-produk mereka dengan cara dipikul.
Begitulah yang berlaku terhadap para pendatang dari Tiongkok. Kebutuhan akan keberadaan mereka jelas tak diragukan. Tidak hanya untuk menjalankan roda perekonomian namun kompeni membutuhkan jasa mereka sebagai pemungut pajak bagi VOC. Ketakutan VOC terhadap keberadaan orang-orang Tionghoa yang mereka anggap dapat menguasai ekonomi ini pun merembet hingga pembatasan yang lebih besar.
Pada tahun 1764, diberlakukan pelarangan orang-orang Tionghoa memasuki wilayah Priangan. Saat itu Perkebunan kopi mulai bertumbuh, lagi-lagi VOC khawatir monopoli perdagangan yang mereka lakukan terganggu oleh para pendatang dari timur jauh ini (Lohanda, 1996). Peraturan passenstelsel dan wijkenstelsel terus mengalami bongkar pasang bahkan setelah VOC bangkrut pada tahun 1799. Sempat dicabut saat Inggris menguasai Nusantara, dan kembali diberlakukan saat Belanda kembali berkuasa pada tahun 1818 (Kustedja,2012).
Ketika peraturan wijkenstelsel kembali diberlakukan pada vreemde oosterlingen atau masyarakat timur asing, pemerintah kolonial menerbitkan peraturan baru lagi. Mereka mengangkat tokoh masyarakat sebagai pemimpin yang bertanggung jawab terhadap ketertiban masing-masing kelompok etnis. Pemimpin diberikan pangkat kehormatan ala militer, seperti letnan, mayor, dan kapiten. Dengan jabatan itu diharapkan masyarakat akan dengan mudah mematuhi aturan yang ditetapkan pemerintah melalui pejabat dari golongan etnis mereka sendiri.
Aturan pembatasan terhadap imigran Tiongkok semakin jauh panggang dari api. Pemerintah justru mengalami ketergantungan terhadap keberadaan para imigran Tiongkok untuk membantu menggerakkan ekonomi. Aturan terus dibuat, pemimpin di wilayah pecinan semakin punya pangkat, kebutuhan masyarakat akan barang-barang ekonomi pun semakin meningkat. Sesuai hukum ekonomi, ketika demand meningkat maka supply harus mengalir dengan deras di pasaran. Situasi ini disambut oleh kelompok-kelompok pedagang yang menyambut dengan baik sehingga wilayah sebar penjualan semakin jauh.
Persebaran wilayah para pedagang menyebabkan mereka keluar jauh dari kampung, hingga memaksa mereka untuk tinggal dan kemudian menetap di tempat mereka berniaga. Hal itu salah satu yang menyebabkan peraturan pembatasan baru ditetapkan pada tahun 1835. Aturan tersebut menyatakan bahwa setiap 25 rumah yang berdiri di luar Chineese kamp harus dikepalai oleh seorang wijkmeester sebagai penanggung jawab (Kustedja, 2022 ; Lohanda, 1996).
Aturan baru itulah yang memungkinkan kelompok-kelompok etnis tersebut hidup di luar kampung-kampung isolasi atau Chineesche kamp yang ditentukan. Hal inilah yang menjadi sebab mengapa di Bandung kelompok etnis Tionghoa tidak terkonsentrasi di suatu wilayah khusus. Begitulah, aturan pembatasan dibuat pada awalnya karena ketakutan bangsa kolonial untuk bersaing dalam ekonomi. Namun seberapa keras kolonial menerapkan aturan pada akhirnya gagal dan komunitas etnis Tionghoa semakin membesar di seantero Jawa.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak dengan Komunitas Djiwadjaman