MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Trial by The Press Berbahaya Bagi Integritas Sistem Peradilan Pidana?
Pengaruh media dapat menciptakan tekanan. Pemberitaan yang terus menerus dapat menarik opini masyarakat.

Rio Satya Happrabu
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
24 Maret 2025
BandungBergerak.id – Manusia pada dasarnya memiliki rasa keingintahuan yang cukup besar tentang apa saja yang terjadi di dalam maupun di luar publik. Sehingga wajar saja jika masyarakat mencari info lewat berita pers. Pemberitaan yang lebih menekankan pada penciptaan opini publik dibanding fakta yang ada di lapangan adalah salah satu utama masalah ini. Pemberitaan pers atas suatu kasus pidana atau perdata yang tengah berjalan merupakan hak pers sebagai jembatan dalam menyampaikan informasi perihal jalannya proses penegakan hukum kepada masyarakat. Lahirlah Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yaitu kewenangan pers dalam mengakses jalannya penegakan hukum dengan mudah. Akan tetapi, dalam menjalankan praktiknya sering kali telah melewati batas sehingga menyebabkan praktik trial by the press. Oleh karena itu praktik trial by the press bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana salah satunya asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan hak untuk mendapat proses hukum yang adil
Berdasarkan kepada asas praduga tak bersalah ini, maka bagi seseorang sejak disangka melakukan tindak pidana tertentu sampai mendapat putusan yang mempunyai kekuataan hukum tetap (inkracht) dari pengadilan (Abdoel Djamali; Pengantar Hukum Indonesia, 2005; hal. 200), ia masih tetap memiliki hak-hak individunya sebagai warga negara, dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dinyatakan bahwa:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap (tidak bersalah) sebelum adanya putusan pengadilan yang mengatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Peranan media dalam memberikan informasi kepada masyarakat yang memberikan penekanan pada tersangka seolah-olah dia sudah memiliki putusan kekuatan hukum tetap, justru memberikan cara berpikir masyarakat yang menandakan seseorang sudah pasti bersalah merupakan mindset praduga bersalah (presumption of guilty), adanya common opinion seolah menjadi pengadilan yang menghukum sebelum proses pengadilan yang berjalan berdasarkan peraturan undang-undang.
Salah satu contoh kasus O.J Simpson yang diduga membunuh istrinya, menjadi contoh menarik yang mempengaruhi asas praduga tak bersalah, meskipun masih dalam proses hukum namun pemberitaan dari media menciptakan opini yang kuat atas keterlibatan O.J Simpson dalam kasus tersebut. Sering kali media memberikan kasus ini dalam sudut pandang sensasional, terutama menyoroti harta kekayaan pribadi dan gaya hidup yang mewah.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Puasa, Perlawanan terhadap Sistem Ekonomi yang Menindas
MAHASISWA BERSUARA: Sistem Pendidikan Indonesia, dari Kenyamanan yang Membelenggu Menuju Perubahan yang Membangun
MAHASISWA BERSUARA: Tempat Ibadah sebagai Alat Pembebasan
Tekanan Publik
Pengaruh media dapat menciptakan tekanan, serta pemberitaan yang terus menerus dapat menarik opini masyarakat dan mengakibatkan trial by the press yang sangat berpengaruh pada terhadap putusan hakim jika itu kasus korupsi rata-rata putusannya adalah bersalah dan sangat jarang terdakwa diputuskan bebas. Yang kemudian bermunculan pandangan-pandangan yang kuat bahwa trial by the press adalah sosok yang sangat takut di kalangan koruptor. Kekecewaan masyarakat muncul karena tidak terpenuhinya harapan pengadilan dalam memvonis apabila hasil mengatakan sebaliknya maka timbul sentimen dari masyarakat yang mengatakan bahwa adanya praktik-praktik koruptif.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, di mana kebebasan pers dijamin dan dilindungi, bahkan dikatakan sebagai hak asasi warga negara. Namun, kebebasan pers yang besar ini memiliki adanya batasan-batasan yang dibuat sendiri oleh Dewan Pers dengan adanya Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik, yang menuangkan salah satu pasal di antaranya:
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”
Ada banyak penyebab mengapa trial by the press kini menjadi panglima penegak hukum di negeri ini. Pertama, ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak hukum di Indonesia, kasus suap dan korupsi memberikan stigma negatif terhadap penegak hukum di Indonesia. Kedua, regulasi yang justru membuka peluang terjadinya praktik trial by the press dan lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menyampaikan kepada masyarakat tanpa filter sedikit pun. Ketiga rendahnya pendidikan politik di masyarakat, harus diakui masyarakat Indonesia selalu mencerna informasi secara mentah-mentah tanpa disaring atau mencari sumber nya secara langsung. Keempat pers mampu mengemas suatu kasus menjadi lebih menarik. Dengan dimuatnya berita secara berlebihan-lebihan dan tata bahasa menjadi lebih menarik, serta membuat pembaca menjadi penasaran dan setelah itu akan terprovokasi sehingga mulai membentuk opini mereka sendiri.
Ada Sanksi
Sebenarnya, untuk mengantisipasi adanya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam setiap pemberitaan, sudah terdapat setidaknya beberapa sanksi-sanksi, baik itu sanksi pidana maupun sanksi yang berasal dari kode etik jurnalistik karena terdapat pelanggaran di dalamnya. Dalam pasal 10 Kode Etik Jurnalistik disebutkan:
“Bahwa sanksi bagi para wartawan yang memberikan suatu informasi yang kurang tepat adalah dengan segera mencabut dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, atau pemirsa.”
Dan oleh sebab itu peran media dalam memberikan informasi memang harus sesuai dengan fakta yang ada di lapangan bukan berasal dari opini sendiri, serta peran masyarakat diperlukan berpikir kritis dalam menerima informasi. Mereka tidak boleh di hakimi atas penghakiman media tetapi harus menunggu putusan dari pengadilan.
Kasus O.J Simpson mengingatkan kita akan pentingnya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam pemberitaan media. Meskipun media memiliki peran penting dalam mengawasi proses hukum, pemberitaan yang tidak bertanggung jawab dapat merugikan pihak yang diduga terlibat, terutama jika mereka akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Kebebasan pers, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, seharusnya menjadikan media independen dan tidak memihak. Namun, kenyataannya sering kali media justru menjadi alat penghakiman melalui trial by the press, yang menimbulkan stigmatisasi, tekanan psikologis, dan sosial terhadap tersangka, terdakwa, serta keluarganya, seharusnya trial by the press tidak mengganggu prinsip asas praduga tak bersalah. Selain itu, pemberitaan yang tidak berimbang dapat mempengaruhi opini publik dan mengganggu jalanya sistem peradilan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara