• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Demokrasi yang Mundur, Saat Kekuasaan Kembali ke Laras Senjata

MAHASISWA BERSUARA: Demokrasi yang Mundur, Saat Kekuasaan Kembali ke Laras Senjata

Pengesahan Revisi Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) adalah deklarasi bahwa prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi demokrasi kita telah dilemah

Salman Setyawan

Mahasiswa salah satu sekolah tinggi hukum di Bandung

Ilustrasi. Peran TNI di negara yang menjunjung supremasi hukum dan sipil adalah menjaga kedaulatan negara. (Foto: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

27 Maret 2025


BandungBergerak.id – Jika ada satu hal yang bisa kita pelajari dari sejarah, itu adalah bahwa kekuasaan yang terlalu besar di tangan militer selalu berujung pada represi. Reformasi 1998 bukan sekadar pergantian rezim, tetapi sebuah pernyataan tegas bahwa Indonesia menolak supremasi militer dalam politik dan pemerintahan. Lahirnya UU No. 34 Tahun 2004 menjadi bukti bahwa kita tidak ingin lagi hidup di bawah bayang-bayang dwifungsi ABRI –di mana tentara bukan hanya menjaga keamanan, tetapi juga ikut mengatur kehidupan sipil. 

Tapi kini, dua dekade setelahnya, kita justru melihat gerak mundur. Alih-alih memperkuat profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara, Revisi UU TNI ini malah memperluas peran mereka ke dalam sektor-sektor sipil, menghidupkan kembali praktik yang dulu sudah kita kubur. TNI bukan hanya menjaga keamanan, tetapi juga akan hadir di 14 sektor pemerintahan. Pertanyaannya sederhana: untuk apa? 

Dalam negara demokrasi, pemisahan antara sipil dan militer adalah prinsip fundamental. Militer berfungsi sebagai alat pertahanan, bukan pengambil kebijakan. Jika mereka masuk ke pemerintahan, apa bedanya dengan rezim lama di mana kebijakan diambil bukan berdasarkan suara rakyat, tapi berdasarkan kekuatan senjata? Kita bisa berdalih bahwa ini semua demi kepentingan nasional, tapi mari jujur –kita sedang membuka kembali pintu bagi militerisme yang dulu telah kita tolak. 

Lebih dari itu, revisi ini dilakukan tanpa partisipasi publik yang berarti. Demokrasi tidak hanya tentang pemilu setiap lima tahun, tapi juga tentang keterlibatan rakyat dalam setiap kebijakan yang berdampak pada kehidupan mereka. Ketika pemerintah takut akan perdebatan, ketika mereka menghindari diskusi terbuka, maka kita harus bertanya: Apakah ini masih demokrasi? Atau kita hanya hidup dalam ilusi, di mana demokrasi hanyalah nama tanpa substansi? 

Dan jangan lupa, sejarah tidak pernah benar-benar mati. Orde Baru meninggalkan luka yang masih terasa hingga hari ini. Sepuluh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu terjadi ketika militer memiliki kekuasaan tanpa batas. Apakah kita benar-benar ingin kembali ke masa itu? Di mana rakyat hanya punya suara, sementara mereka punya senjata? Sejarah sudah membuktikan apa yang terjadi ketika kekuasaan dikendalikan oleh mereka yang tidak bisa dikritik. 

Jadi, ini bukan sekadar revisi undang-undang. Ini adalah pertaruhan demokrasi. Jika kita membiarkan ini terjadi tanpa pertanyaan, tanpa kritik, tanpa perlawanan, maka kita sedang menggali kubur bagi demokrasi itu sendiri. Jangan sampai kita baru sadar ketika semuanya sudah terlambat –ketika suara rakyat tidak lagi terdengar karena tertutup oleh derap sepatu lars.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Sistem Pendidikan Indonesia, dari Kenyamanan yang Membelenggu Menuju Perubahan yang Membangun
MAHASISWA BERSUARA: Tempat Ibadah sebagai Alat Pembebasan
MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Trial by The Press Berbahaya Bagi Integritas Sistem Peradilan Pidana?

Dari Demokrasi Menuju Otoritarianisme

Demokrasi tidak pernah runtuh dalam semalam. Ia tidak tumbang dengan suara gemuruh atau kudeta besar-besaran. Ia mati perlahan –melalui revisi undang-undang yang tampak legal, melalui keputusan-keputusan yang dibungkus dengan retorika kepentingan nasional, melalui diamnya rakyat yang merasa tak berdaya. Dan hari ini, dengan disahkannya revisi UU TNI, kita sedang menyaksikan salah satu babak dalam perjalanan sunyi menuju kemunduran itu.

Pengesahan ini bukan sekadar perubahan teknis dalam struktur pemerintahan. Ini adalah deklarasi bahwa prinsip supremasi sipil yang selama ini menjadi fondasi demokrasi kita telah dilemahkan. TNI, yang seharusnya hanya fokus pada pertahanan negara, kini memiliki pijakan yang sah untuk masuk ke dalam ranah sipil. Dengan legitimasi ini, batas antara militer dan pemerintahan sipil semakin kabur, membawa kita kembali ke era yang dulu kita tolak dengan penuh perjuangan.

Dulu kita berkata, “Tidak akan ada lagi dwifungsi ABRI.” Tapi lihatlah sekarang. Dengan dalih efektivitas dan stabilitas, kita justru menghidupkan kembali praktik yang telah terbukti membawa lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Kita sedang menyaksikan bagaimana militer, yang seharusnya tunduk pada keputusan sipil, perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam pengambilan kebijakan. Pertanyaannya, berapa lama lagi sebelum mereka tak sekadar menjadi bagian dari pemerintahan, tetapi menjadi pemerintahan itu sendiri?

Dan seperti yang selalu terjadi dalam sejarah, penguatan militer dalam pemerintahan selalu datang dengan harga yang mahal: berkurangnya ruang kebebasan sipil. Dengan semakin kokohnya posisi militer dalam sistem politik, kita harus bertanya: masihkah kritik akan didengar, atau justru dianggap sebagai ancaman?

Ketika rakyat semakin sulit bersuara, ketika perdebatan dianggap sebagai gangguan, ketika oposisi dikriminalisasi dengan dalih stabilitas nasional, saat itulah kita harus sadar: demokrasi yang kita banggakan sedang berada di tepi jurang. Dan sayangnya, mereka yang ada di atas sana tidak akan berhenti mendorongnya ke dalam.

Mungkin hari ini kita masih bisa menertawakan ini semua, menganggapnya hanya sebagai satu kebijakan yang buruk di antara banyak kebijakan lainnya. Tapi ingat, sejarah selalu punya cara untuk mengejutkan kita. Sebelum kita sadar, sebelum kita sempat bereaksi, kita bisa saja bangun di suatu pagi dan mendapati bahwa kebebasan yang dulu kita anggap pasti telah lenyap –bukan karena dirampas secara terang-terangan, tetapi karena kita membiarkan pintunya terbuka bagi mereka yang menginginkan kontrol lebih besar atas hidup kita.

Dan pada saat itu, ketika suara rakyat tak lagi berarti dan keputusan diambil oleh mereka yang memegang senjata, bahwa pikiran tak bisa dilawan senjata dan senjata akan melawan senjata.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//