Cacat Logika Komunikasi Publik Pemerintah
Carut marut komunikasi publik pemerintah mengindikasikan dua hal. Pertama, pemerintah merasa kekuasaannya tidak tersentuh. Kedua, munculnya semangat antikritik.

Pratama Wasisto Aji
Akademisi Ilmu Komunikasi
28 Maret 2025
BandungBergerak.id – Komunikasi idealnya menjadi jembatan bagi pemerintah untuk menyampaikan maksud dan tujuan kebijakannya. Menjelaskan secara ilmiah dan objektif tentang apa yang sedang dilakukan, sehingga rakyatnya mengerti, dan bisa melakukan kontrol sebagai bentuk demokrasi. Namun, belakangan ini pemerintah justru membakar jembatan itu. Dengan sejibun permasalahan yang mengawali pemerintahan Prabowo-Gibran, mereka seolah abai terhadap komunikasi publik dan kerap melakukan blunder yang menyulut kemarahan rakyat.
Buruknya komunikasi publik oleh pemerintah bisa dikatakan sudah mencapai titik nadir ketika Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, memberi respons pada teror kepala babi yang menimpa Tempo dengan nada selengean. Nasbi menyarankan agar kepala babi itu dimasak saja. Dia juga menyatakan bahwa pengiriman kepala babi itu bukanlah sebuah bentuk ancaman kebebasan pers. Beberapa hari berselang, kantor Tempo kembali mendapat teror paket berisi enam tikus mati dengan kepala yang sudah terpenggal. Hal yang jamak dilakukan saat orde baru, seperti dialami Peter Apollonius Rohi yang dikirim kepala manusia saat memberitakan kasus penembak misterius di Media Indonesia.
Memang benar, ikan busuk dari kepalanya. Tak beda dari staf bidang komunikasinya, Presiden Prabowo beberapa kali menanggapi kritik dengan nada sumbang. Dia mengucap “Ndasmu” berkali-kali ketika menanggapi kritik tentang kabinet yang gemuk, makan bergizi gratis, dan kedekatannya dengan mantan presiden Jokowi saat berpidato di acara ulang tahun Partai Gerindra.
Dalam kesempatan pidato lain, Presiden Prabowo justru menyatakan peribahasa “Biarlah anjing menggonggong” dalam peresmian Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang. Pasalnya pernyataan itu disampaikan ketika demonstrasi sedang meradang di penjuru Indonesia menanggapi pengesahan revisi UU TNI.
Selain itu, masih banyak pernyataan dari pejabat lain yang menyulut emosi. Seperti yang disampaikan Stafsus Menhan Bidang Komunikasi Publik, Deddy Corbuzier, ketika menanggapi kasus makan bergizi gratis dan pembahasan revisi UU TNI, yang justru men-gaslight kritik dari rakyat.
Luhut Binsar Panjaitan yang berujar “Kau yang gelap!” ketika menanggapi demonstrasi Indonesia Gelap. Juga tanggapan atas permasalahan ketidakpastian kerja dengan tagar #kaburajadulu yang direspons Wamenaker Immanuel Ebenezer, dengan menyuruh “Kalau bisa jangan kembali” ditambah tanggapan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, yang menyatakan mereka yang kabur tidaklah nasionalis.
Carut marut komunikasi publik ini mengindikasikan dua hal. Pertama, pemerintah yang merasa kekuasaannya tidak tersentuh, sehingga mengabaikan aspek komunikasi untuk mendapatkan dukungan publik. Kedua, munculnya semangat antikritik, yang menganggap kritik sama dengan musuh.
Baca Juga: Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Tawa dalam Meme Politik dan Persoalan Kebijakan Negara yang Tidak Ada Lucu-lucunya
Reformasi Kepolisian Menjadi Keniscayaan di Tengah Merosotnya Kepercayaan Publik pada Penagakan Hukum
Kecacatan Logika Pemerintah dalam Komunikasi Publik
Pepatah bijak mengatakan “Ucapan adalah cerminan kepribadian.” Hal itu menyiratkan hubungan antara ucapan atau bahasa dengan logika berpikir seseorang. Hubungan bahasa dengan logika berpikir diteorikan oleh Ludwig Wittgenstein yang mengungkapkan bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna (Narwaya, 2021). Artinya, bahasa menjadi sarana manusia untuk merepresentasikan pemikirannya.
Apa yang sedang dipikirkan manusia tak mungkin dipahami ketika tidak dikomunikasikan dengan bahasa, baik yang bersifat simbolik atau verbal. Sedangkan logika berpikir menuntun proses berbahasa itu sendiri, seperti menyusun konsepsi, penentuan, pertimbangan, dan penyimpulan. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan oleh seseorang berbanding lurus dengan logika yang digunakannya.
Penyampaian informasi dengan bahasa yang serampangan pastilah mengandung kecacatan logika. Hal itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya: ketidaksengajaan karena kurangnya pengetahuan, ketidakcermatan dalam bernalar, kesengajaan mengingkari kebenaran, kesengajaan menyembunyikan kebenaran, dan kesengajaan ideologis untuk memanipulasi kebenaran (Narwaya, 2021). Dalam kaitannya dengan komunikasi publik yang dilakukan oleh pemerintah, faktor terakhir merupakan alasan paling kuat. Karena bahasa tidak berdiri dalam posisi netral. Bahasa selalu erat dengan dimensi kepentingan dan kekuasaan.
Terkonsolidasinya semua kekuatan–partai, militer, polisi, artis/influencer–dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, seolah menjadi antibodi dan anggapan bahwa kekuasaan mereka tidak dapat tersentuh. Hal itu mungkin menjadi faktor utama mengapa mereka berani terang-terangan berbicara tanpa logika. Dukungan publik tampaknya hanya dibutuhkan ketika pemilu saja. Setelah itu, pemerintah lebih percaya menggunakan buzzer dan influencer untuk memoles citra mereka.
Kecacatan dalam komunikasi publik oleh pemerintah menunjukkan wajah asli mereka dalam memimpin. Jika menganggap kritik itu ancaman, maka memang pemerintah anti terhadap kritik. Jika menganggap teror babi dan tikus itu bukanlah ancaman kebebasan pers, maka pemerintah memang tak serius melindungi kebebasan pers. Jika aspirasi rakyat melalui tagar #kaburajadulu dianggap angin lalu dan dianggap tidak nasionalis, maka memang tak ada solusi konkrit untuk menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan.
Terlebih pernyataan yang mengandung cacat logika itu dilakukan oleh seseorang yang ditugaskan di lembaga khusus komunikasi. Nada menghardik rakyat seperti yang dilakukan Deddy Corbuzier ketika menanggapi kritikan program makan siang gratis dan digerebeknya rapat tertutup revisi UU TNI oleh koalisi masyarakat sipil, menegaskan dimensi kekuasaan dalam bahasa bekerja. Alih-alih menjelaskan langkah strategis kebijakan itu, dia justru menyalahkan protes yang terjadi. Seolah program pemerintah adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat diganggu gugat.
Pasalnya makan bergizi gratis memang mengandung banyak masalah dan harus dikritik. Bahkan siswa di Papua yang sering menjadi percontohan perlunya program itu, lebih memilih pendidikan gratis daripada makan gratis. Selanjutnya, tindakan koalisi masyarakat sipil yang dianggap sebagai “orang yang tidak dikenal” itu menurut Deddy Corbuzier adalah tindakan ilegal, melanggar hukum, dan bukanlah kritik yang membangun. Dia lupa bahwa pembahasan revisi UU TNI tidak melibatkan partisipasi publik, tidak ada draft yang pasti, diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi, dan terburu-buru. Lantas siapa yang sebenarnya ilegal dan melanggar hukum?
Komunikasi: Pembungkus Keburukan Pemerintah?
Di tengah carut marut dan kecacatan logika ini, diskusi terjadi di kalangan akademisi ilmu komunikasi. Banyak yang berpandangan bahwa komunikasi publik pemerintah harus dibenahi dengan rangkaian briefing atau kursus-kursus kehumasan, namun apakah hal itu dapat memecahkan sumber masalah?
Praktik kehumasan kerap digunakan untuk menyolek citra institusi. Ulaş Başar Gezgi̇n (2019) mengungkapkan bahwa peran humas atau public relation sering abai terhadap kepentingan umum. Lebih lugas, Kunczik (2009) mengatakan bahwa public relations sering dianggap sebagai seni kamuflase dan penipuan institusi kepada masyarakat. Hal itu menyebabkan hilangnya kredibilitas humas karena lekat dengan kecurangan, pelanggaran, kebohongan, dll. Dampaknya masyarakat menaruh kecurigaan terhadap praktik kehumasan. Dukungan buta oleh ilmu kehumasan arus utama pada sebuah institusi, pada akhirnya menihilkan tujuan humas sebenarnya yaitu kepercayaan publik.
Praktik kehumasan seharusnya berperan untuk menjelaskan apa yang menjadi maksud dan tujuan kebijakan pemerintah. Hal itu bisa meminimalisir adanya kesalahpahaman tentang kebijakan yang diambil. Jika memang kebijakan itu untuk rakyat –seperti yang sering disampaikan Presiden Prabowo dalam pidato– maka keterbukaan pemerintah adalah langkah strategis untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Ketika terdapat kritikan atas sebuah kebijakan, humas berperan sebagai penyambung kepada pemerintah untuk dapat mempertimbangkan kritikan itu. Bukan sekuat tenaga mempertahankan status quo dengan komunikasi manipulatif yang cacat logika!
Dengan adanya media sosial dan keterbukaan informasi, kesalahan pengambilan kebijakan dapat dideteksi sejak dini melalui diskusi-diskusi di berbagai platform. Oleh karena itu, melalui praktik kehumasan, pemerintah seharusnya belajar mendengar dan tidak alergi terhadap kritik. Sikap antikritik justru akan memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyatnya. Terlebih menggunakan jawaban yang serampangan ketika ada permasalahan sosial justru memupuk sikap skeptis dan apatis terhadap pemerintah.
Komunikasi bukanlah parfum bagi keburukan pemerintah. Sebaik apa pun bangkai disimpan, hanya tinggal menunggu waktu untuk baunya tercium. Kebijakan yang ngawur tak bisa menjadi benar dengan manipulasi komunikasi. Memang, pemerintahan sekarang dibangun dari gimmick dan kebijakan populis. Kemenangan Pemilu dengan strategi itu seolah menjadi parameter bahwa rakyatnya mudah dibodoh-bodohi. Namun demonstrasi yang terjadi di penjuru negeri dalam bulan Ramadan ini, menjadi sinyal alarm, bahwa pemerintah mesti hati-hati dan belajar mendengar.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang politik