• Opini
  • Refleksi Lebaran, Apa Salah Masyarakat Sipil?

Refleksi Lebaran, Apa Salah Masyarakat Sipil?

Kritik seharusnya dianggap sebagai bentuk partisipasi publik dan bukan sebagai ancaman yang perlu direspons dan ditanggapi dengan nada sindiran atau ejekan.

Ignatius Bintang Bala Surya

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Kekuasaan cenderung korup jika tidak diawasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

31 Maret 2025


BandungBergerak.id – Momen kehangatan lebaran tidak hanya dapat dirasakan oleh umat Islam saja, lebih dari itu momen hangatnya lebaran dapat dirasakan oleh semua Masyarakat di Indonesia. Dengan adanya momen lebaran, seluruh masyarakat di Indonesia dapat berkumpul bersama sanak saudara, menikmati momen liburan, dan bermaaf-maafan dengan sesama. Selain sebagai ajang untuk merayakan kemenangan setelah satu bulan berpuasa, lebaran juga menjadi saat yang tepat untuk kita dapat merenungkan dan merefleksikan berbagai aspek kehidupan yang selama ini pernah terjadi dan kita rasakan dampaknya pada kehidupan sehari-hari.

Sebagai masyarakat sipil kita perlu merenungkan dan merefleksikan apa yang sebetulnya kita pernah perbuat sehingga menciptakan suasana negara seperti yang sekarang ini kita rasakan. Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi bagaimana masyarakat sipil berkontribusi secara positif atas adanya kebijakan-kebijakan yang nyeleneh dari para pemangku kebijakan dan pemegang jabatan strategis, serta bagaimana pemerintah dan wakil rakyat sebagai pelayan masyarakat menyikapi hal tersebut.

Baca Juga: Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Gemuknya Kabinet Prabowo, Memuluskan Transaksi Politik?
Cacat Logika Komunikasi Publik Pemerintah

Peran Masyarakat Sipil

Dua rangkaian pesta demokrasi yang diselenggarakan 2024 lalu, menuntut masyarakat Indonesia untuk memilih siapa pemimpin yang layak bagi mereka untuk memimpin negara Indonesia, memimpin daerah provinsi mereka, memimpin daerah kota/kabupaten mereka, serta siapa yang layak untuk mewakili masyarakat duduk di parlemen mulai dari pusat sampai ke tingkat daerah tingkat dua.

Rangkaian pertama di momen pesta demokrasi 2024 adalah dinamika pemilihan Presiden, yang menghasilkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka keluar sebagai pemenang di Pemilu tahun 2024. Menurut suara sejumlah 58% mereka berdualah yang layak berkantor di Istana Presiden selanjutnya. Pasangan ini mengalahkan dua pasangan calon lain yaitu, Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar yang memperoleh suara sebanyak 25%, dan Ganjar Pranowo - Mahfud Md yang memperoleh suara hanya 16%. Ini menjadi indikasi bahwa banyak masyarakat sipil yang senang/luluh/setuju dengan gaya kampanye yang dibawakan oleh Prabowo dan Gibran, dibanding dengan kedua calon pasangan yang lain.

Selain memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, masyarakat sipil juga dituntut untuk menggunakan hak suaranya memilih calon legislatif mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat pusat hingga daerah tingkat dua (kota/kabupaten). Dari dinamika tersebut menghasilkan 580 anggota DPR tingkat pusat, angka ini sedikit lebih banyak dari periode sebelumnya yaitu 575 anggota DPR, ada pula 4 anggota DPD per provinsi yang terpilih, dan pelbagai jumlah anggota legislatif di daerah.

Rangkaian kedua momen pesta demokrasi 2024 adalah pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat provinsi dan tingkat kabupaten atau kota. Dari 38 provinsi di Indonesia, pilkada dilakukan serentak di 37 provinsi karena hanya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak melakukan pilkada. Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 508 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pilkada serentak, sebab terdapat pengecualian pemilihan langsung yang berlaku di enam kota/kabupaten di Provinsi Daerah Khusus Jakarta, karena wilayah jakarta tidak memiliki kabupaten/kota yang berstatus sebagai daerah otonom seperti layaknya di provinsi lain.

Peran masyarakat sipil dalam kontestasi pemilihan umum menimbulkan proses sosial baik yang bersifat asosiatif (kolaborasi), maupun yang bersifat disasosiatif (konflik). Umumnya didasari karena persoalan dukung-mendukung atau memilih untuk tidak mendukung sama sekali calon/pasangan calon tertentu dalam pemilihan umum. Hal tersebut sebetulnya lumrah adanya dalam negara demokrasi, dan harus dipahami dalam konteks untuk belajar meningkatkan partisipasi aktif masyarakat sipil. Dengan itu sebetulnya masyarakat diajak untuk lebih kritis dalam menentukan siapa calon yang akan di pilih dan yang di rasa membawa perubahan semakin baik untuk Indonesia ke depan.

Dengan tuntasnya peran masyarakat sipil dalam menunaikan tugas untuk ikut terlibat aktif dalam pemilihan umum , masyarakat berarti punya harapan besar pada sosok yang dipilihnya secara langsung. Sosok yang diharapkan dapat hadir nyata dan membantu kehidupan sehari-hari masyarakat sipil lewat kebijakan yang dibuat dan program yang telah dijanjikan.

Timbal Balik untuk Masyarakat Sipil

Faktanya semenjak Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden tertanggal 20 Oktober 2024 justru banyak hal-hal janggal yang dialami masyarakat sipil. Prabowo menjanjikan pembentukan kabinet yang zaken atau kabinet dengan susunan jajaran menteri yang berasal dari kalangan ahli. Tetapi rasanya yang terjadi hari ini tidak merepresentasikan makna zaken itu sendiri. Penunjukan perangkat pembantu presiden seperti menteri, wakil menteri, dan tenaga khusus presiden terlihat lebih kental dengan nuansa politik akomodatif, tanpa mempertimbangkan rekam jejak, integritas, dan kompetensi.

Hal ini dapat dilihat dari 18 orang menteri dan wakil menteri pada era kabinet Jokowi yang punya catatan buruk ketika menjabat. Kejadian ini bisa dimaknai dalam dua hal. Pertama, nama-nama ini hanya sebatas titipan untuk menempati jabatan pada pos-pos strategis tertentu. Kedua, nama-nama ini memang punya kinerja yang baik pada era sebelumnya, sehingga dipilih kembali di era pemerintahan sekarang. Dari kedua poin tersebut, rasa-rasanya kecil harapan untuk melihat poin kedua.

Terdapat 109 orang yang ditunjuk Prabowo untuk menjadi pembantunya menjalankan negara, terdiri atas 7 menteri koordinator, 41 menteri, 56 wamen, dan 5 pejabat setingkat menteri. Jumlah ini terbilang sangat besar dan menjadi “kabinet tergemuk” sejak era reformasi. Belum dengan penasihat khusus, utusan khusus presiden, dan staf khusus di masing-masing kementerian.

Kabinet gemuk Presiden Prabowo Subianto yang tidak didasarkan pada penjelasan yang berbasis data atau analisis kebutuhan untuk menjawab tantangan dan permasalahan negara ke depan, berdampak pada konsekuensi aspek birokrasi yang semakin rumit dan anggaran yang semakin membengkak. Ternyata tidak hanya itu saja, dampaknya juga terlihat dari kualitas kinerja para pejabat negara ini.

Mulai dari menteri koordinator hukum dan hak asasi manusia (HAM), Yusril Ihza Mahendra yang memberi pernyataan kontroversial terkait peristiwa 1998, Yusril menyebutkan bahwa tragedi tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM. Menurutnya pelanggaran HAM yang masuk ke dalam klasifikasi pelanggaran HAM berat adalah seperti genosida dan pembersihan etnis yang tidak terjadi pada masa itu.

Pernyataan ini jelas menuai kritik dari berbagai pihak termasuk Komnas HAM dan organisasi masyarakat sipil. Kritik datang salah satunya dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang menyebut bahwa pernyataan Yusril tidak mencerminkan pemahaman yang benar tentang undang-undang HAM. Setelah viral, barulah Yusril mengklarifikasi bahwa ucapannya pada hari pelantikan tidak sepenuhnya jelas karena tidak mendengar pertanyaan wartawan dengan baik. Yusril menjelaskan bahwa pemerintah Prabowo akan mengkaji kembali rekomendasi-rekomendasi dan temuan terkait peristiwa 1998 yang dikeluarkan oleh pemerintah sebelumnya,

Jurus andalan Prabowo dan Gibran dengan mencetuskan program makan bergizi gratis (MBG), dinilai terburu-buru dalam penyelenggaraannya. Hal ini terbukti dari sejumlah testimoni yang dirasakan oleh para siswa-siswi mulai dari yang duduk di bangku sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas atau kejuruan (SMA/SMK), ada makanan yang mentah, ada yang tidak sesuai dengan selera anak-anak, bahkan 40 siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo diberitakan mengalami keracunan usai menyantap menu MBG.

Belum lagi polemik kenaikan PPN 12% yang memicu banyak komentar dan protes di masyarakat. Kebijakan ini seperti terkesan hanya ‘cek ombak’ saja, karena setelah melempar wacana kenaikan PPN 12% dan melihat respons masyarakat sipil yang tidak setuju, pemerintah akhirnya mengambil jalan tengah. PPN tetap naik tetapi hanya untuk barang mewah. Sementara barang dan jasa kena pajak lainnya tetap menggunakan tarif lama 11%.

Masuk ke Tahun 2025, Prabowo melakukan pemangkasan anggaran dengan mendorong efisiensi atau penghematan belanja APBN 2025 hingga Rp306,69 triliun. Dilalahnya penghematan anggaran itu dilakukan di tengah terbatasnya ruang fiskal dan difokuskan untuk janji program hasil kampanye populisnya, seperti MBG. Kejadian-kejadian tersebut yang membuat masyarakat merasa jengah, dan melatar belakangi munculnya tagar #indonesiagelap.

Jangan kira kita bisa berharap juga pada lembaga yang seharusnya mengawasi kinerja Eksekutif. Legislatif dalam hal pembahasan dan pembentukan suatu rancangan undang-undang (RUU) atau undang-undang (UU) DPR sering kali menyampingkan peran dan keterlibatan masyarakat sipil. Dampaknya, pembahasan dan pembentukan suatu undang-undang minim pengawasan dari masyarakat sipil. Rapat Paripurna DPR RI Ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024–2025 menyetujui 176 rancangan undang-undang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025–2029 dan 41 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2025.

Meskipun telah ada Prolegnas 2025, masih saja ada undang-undang yang sengaja di kebut untuk di bahas oleh DPR yang justru tidak masuk ke dalam prioritas Prolegnas 2025. Di antaranya adalah revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba), dan tentu Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menimbulkan gejolak amarah di kalangan masyarakat. Seperti yang kita tahu bahwa pembahasan RUU yang tidak masuk ke dalam Prolegnas harus di bahas dengan cara kumulatif terbuka.

Apalagi agenda pembahasan RUU TNI yang terdapat banyak sekali kejanggalan baik dari segi formil pembuatannya sampai materil muatannya. Draft RUU yang tidak bisa diakses dari mana pun oleh masyarakat sipil, belum lagi pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan diam-diam di sebuah hotel di Jakarta. Ini mengisyaratkan kalau DPR ingin membahas revisi undang-undang TNI secara tertutup tanpa melibatkan masyarakat sipil. Teman - teman Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) bahkan di dorong keluar ketika mendesak masuk untuk memprotes tindakan tersebut.

Apa Salah Masyarakat Sipil?

Masyarakat Sipil yang sudah jengah dengan berbagai tingkah laku nyeleneh para pejabat negara membuat berbagai macam gerakan perlawanan. Di Media Sosial beredar tagar Indonesia Gelap, Kabur aja dulu, tolak PPN 12%, dan masih banyak lagi. Bahkan massa aksi di sejumlah daerah turun untuk berdemonstrasi di depan gedung-gedung pemerintahan.

Di Bandung sendiri, aksi demonstrasi dilakukan di depan gedung kantor DPRD Provinsi Jawa Barat. Aksi yang cukup besar terjadi ketika Isu Indonesia Gelap dan Revisi undang-undang TNI di angkat. Hal ini dapat menjadi peringatan bagi pemerintah sekaligus indikator bahwa masyarakat sipil marah dan kesal terhadap kebijakan-kebijakan merugikan yang dikeluarkan oleh pejabat negara yang telah mereka pilih.

Bukannya menjadi perenungan dan bahan untuk berefleksi, pemerintah seolah tidak terima dengan upaya-upaya perlawanan yang dilayangkan oleh masyarakat sipil. Padahal Prabowo pernah mengatakan sendiri di akun X pribadi miliknya bahwa unjuk rasa adalah bagian dari demokrasi dan hak konstitusional setiap warga negara. Tapi lewat pernyataan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi hal itu tampak kontradiktif, karena ia menyatakan kalau Prabowo alergi didemo.

Untuk merespons isu Kabinet Gemuk misalnya, Prabowo ketika berpidato di acara Ulang Tahun Partai Gerindra ia melontarkan kata “ndasmu”, karena banyak kalangan akademisi dan aktivis yang mengkritik program dan kabinet Merah Putih bentukannya. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan bahkan merespons soal tagar Indonesia gelap dengan menyatakan “kau yang gelap!”.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan Imanuel Ebenezer dalam menyikapi tagar kabur aja dulu merespons "Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi," Padahal tagar #KaburAjaDulu adalah bentuk ekspresi kekecewaan dan kritik dari masyarakat sipil terkait persoalan di dalam negeri, terutama karena mahalnya pendidikan di Indonesia dengan lapangan pekerjaan yang begitu minim.

Pernyataan nyeleneh dan absurd pemerintah juga bukan hanya dalam hal menanggapi Kritik yang datang dari masyarakat sipil, tapi juga beberapa pernyataan dalam menjawab isu permasalahan yang beredar di masyarakat.

Misalnya tentang pernyataan Prabowo yang menanggapi masalah deforestasi perluasan lahan karena penanaman kelapa sawit di Indonesia. Prabowo mengatakan kelapa sawit juga bisa menyerap karbon dioksida sehingga tidak perlu takut. “Nggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestasi, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Ada daunnya kan?”. Jawaban aneh ini menjadi pernyataan yang kontroversial di kalangan pemerhati lingkungan. Alih-alih menyerap karbon dioksida, justru perluasan perkebunan sawit akan memicu deforestasi dalam jumlah yang lebih besar. Alhasil pernyataan publik Prabowo berbuah kontroversi karena tidak didasari kajian yang matang.

Dalam hal lain misalnya Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, pernah mengatakan bahwa ia lebih baik kehilangan jabatan daripada melihat ribuan karyawan PT Sritex terkena PHK. Ia mengatakan, "Saya lebih baik kehilangan jabatan saya dari pada saya melihat saudara-saudara saya harus di PHK". Namun kenyataannya PT Sritex tetap pailit dan ribuan karyawannya tetap terkena PHK. Ini hanya sekedar lip service saja untuk menyejukkan para karyawan Sritex yang ketika itu sedang berada di ujung tanduk.

Yang paling parah adalah respons terhadap kejadian yang menimpa para wartawan di Tempo. Kantor Tempo di Palmerah Jakarta Selatan pada hari Rabu, 19 Maret 2025 menerima paket berisi kepala babi tanpa telinga. Paket tersebut dikirim oleh kurir yang memakai atribut aplikasi pengiriman barang. Paket ditujukan untuk Francisca Christy Rosana, wartawan desk politik dan host siniar Bocor Alus Politik. Ketika di tanya tanggapannya soal ini, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menanggapi “ya sudah di masak saja”. Dalam pidato peresmian kawasan ekonomi khusus Industripolis di Batang, Jawa Tengah Prabowo bahkan mengatakan “Biar anjing menggonggong, kita akan maju terus.”

Respons yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk menanggapi kritik dari masyarakat sipil menunjukkan adanya kemunduran dalam hal membangun komunikasi politik. Kritik seharusnya dianggap sebagai bentuk partisipasi publik dan bukan sebagai ancaman yang perlu direspons dan ditanggapi dengan nada sindiran atau ejekan. Padahal Prabowo sendiri yang pernah meminta para anak buahnya untuk memperbaiki komunikasi publik dan media. Prabowo mewanti-wanti jangan sampai masyarakat mendapat opini atau narasi yang tidak benar.

Dosa apa yang telah diperbuat masyarakat sipil di Indonesia sehingga harus menanggung begitu peliknya punya peran sebagai rakyat Indonesia di tengah situasi yang kacau seperti ini. Pada akhirnya kehidupan masyarakat sipil yang dirugikan dari hasil kebijakan, ketentuan, dan program bentukan Pejabat Negara ngawur yang dipilih langsung oleh Masyarakat Sipil. Sudah susah cari kerja, makan bergizi gratis tidak sesuai, harga bahan pokok mahal, mengkritik pemerintah malah kena ejek dan sindir bahkan dianggap sebagai binatang yang menggonggong, media pers jadi korban represi dan di ancam dengan dikirim kepala babi dan bangkai tikus seperti para wartawan di tempo.

Refleksi Bersama

Situasi hari ini Prabowo dan kabinetnya memang menguasai Negara ini, tetapi secara praktis mereka tidak mampu menjalankan fungsi negara. Banyak kebijakan-kebijakan ngawur yang terjadi semenjak masuk pada era pemerintahannya. DPR sebagai lembaga legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, sekarang hanya menjadi tukang stempel pemerintah dan aparat negara. Hal seperti ini rentan untuk disalahgunakan, membuat peraturan perundang-undangan hanya untuk mengakomodir kepentingan sejumlah pihak, serta menjadikan lembaga keadilan sebagai alat pemuas kekuasaan.

Pola kejadian itu yang membuat masyarakat gundah serta memicu berbagai reaksi dan respons publik, termasuk melalui maraknya berbagai demo dan aksi. Memang belum semua Masyarakat merasakan dampak dari rusaknya sistem yang terjadi sekarang ini. Tentu banyak faktor yang mendasari hal itu, mulai dari faktor internal seperti latar belakang pendidikan sampai pada faktor eksternal seperti konten-konten yang dibuat oleh buzzer. Pada akhirnya ada masyarakat yang memilih untuk sadar kemudian bergerak, ada yang sadar namun bingung untuk bergerak, ada yang memilih untuk biasa saja dalam menanggapinya, ada yang tidak peduli, bahkan lebih parah ada yang masih menganggap ini baik-baik saja dan tidak ada yang salah dengan apa yang terjadi di Negara ini.

Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ihya' Ulumuddin menekankan bahwa pemimpin merupakan cerminan dari masyarakat yang dipimpinnya. Bahwa untuk melihat kualitas dan suatu karakter masyarakat maka lihatlah pada pemimpin mereka. Jika rakyat berperilaku baik, maka pemimpin mereka pun akan baik, dan sebaliknya.

Melihat beragamnya tanggapan masyarakat sipil, perlu rasanya masyarakat sipil berefleksi bersama, mulai dari peran mereka dalam menghadirkan wajah para pejabat hari ini, bagaimana timbal balik yang pemerintah berikan untuk masyarakat sipil lewat kebijakan, sampai luka-luka yang diberikan pemerintah kepada warga negaranya lewat balasan yang cenderung mengejek. Runtutan kejadian tersebut mesti direnungkan sampai pada akhirnya masyarakat sipil punya rasa yang sama, bahwa yang terjadi hari ini adalah sebuah kemunduran dalam sistem tata kelola Negara yang dilakukan oleh para pejabat. Sudah banyak contoh dan pelajaran yang bisa diambil dari sikap sembrono Pemerintah dalam membuat kebijakan.

Bila ada orang yang tidak suka dan tidak peduli dengan diri saya, begitu pun sebaliknya. Dampak yang paling dapat terjadi di antara kedua pihak adalah “saya tidak ganggu kamu, kamu tidak ganggu saya.” Tetapi dalam kebijakan politik, rumusnya tidak begitu. Jika kita tidak suka dan tidak peduli dengan kebijakan politik, bagaimanapun caranya politik tetap masuk dan memengaruhi kehidupan kita.

Rousseau dalam teorinya tentang kontrak sosial menekankan bahwa legitimasi kekuasaan politik berasal dari kesepakatan rakyat. Pemerintah yang sah adalah hasil dari persetujuan rakyat, dan oleh karena itu, pejabat publik harus mencerminkan kehendak dan kebutuhan masyarakat. Jika pejabat tidak memenuhi harapan rakyat, maka rakyat memiliki hak untuk mengganti mereka.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//