Merefleksikan Kebebasan di Belantara Media Sosial Melalui Lagu dr.alialfakir
Lagu Do What You Want dari dr.alialfakir bukan sekadar tentang kebebasan, tapi juga sebuah refleksi bagaimana kita harus menyikapi kebebasan itu.

Rayhan Yuditra Fawwaz
Mahasiswa jurusan Sastra Inggris Universitas Pasundan (Unpas) Bandung
11 April 2025
BandungBergerak.id - Pada 7 Februari 2025, musisi dr.alialfakir merilis single berjudul Do What You Want, yang mengangkat fenomena perempuan di era digital. Lagu ini menyoroti aktivitas di media sosial, gaya hidup, dan berbagai isu perempuan yang berkembang saat ini. Solois asal Bandung ini telah merilis 11 single sejak debutnya pada 2023, termasuk Do What You Want, yang menjadi bagian dari album pertamanya.
Sebagai guru musik di SMK LPPM RI Bandung, dr.alialfakir mengungkapkan bahwa lagu ini terinspirasi dari keresahannya terhadap TikTok, khususnya pada awal kemunculannya yang dipenuhi konten joget tanpa makna. Menurutnya, banyak dari konten tersebut hanya menampilkan lekuk tubuh perempuan tanpa nilai yang bisa diambil.
Fenomena perempuan di era digital juga menjadi benang merah dalam liriknya. Ia menyoroti berbagai hal, mulai dari kehamilan remaja hingga influencer yang membahas topik tabu dengan dalih edukasi.
Dari segi musik, dr.alialfakir terinspirasi oleh Red Hot Chili Peppers. Sentuhan funky-blues dalam lagu ini membuatnya terdengar easy listening dan menarik bagi pendengar.
Kebebasan Jadi Boomerang di Dunia Maya
Di era digital yang serba cepat ini, kebebasan berekspresi di media sosial telah menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube memberi ruang bagi individu untuk berkreasi, menyuarakan opini, dan bahkan meraup keuntungan finansial. Namun, di sisi lain, kebebasan yang terlalu luas tanpa batasan yang jelas sering kali melahirkan fenomena yang memprihatinkan.
Dr.alialfakir melihat bahwa batas antara kreativitas dan eksploitasi semakin kabur. Konten yang awalnya hanya sekadar hiburan kini berkembang menjadi ajang komodifikasi tubuh. “Yang mengkhawatirkan adalah ketika banyak orang mulai menganggap wajar hal-hal yang seharusnya masih dipertanyakan secara etika dan moral,” ujarnya.
Fenomena ini pun semakin diperparah oleh algoritma media sosial yang mendukung engagement tinggi, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap audiens, terutama generasi muda. Ia menekankan bahwa kebebasan bukan berarti bisa melakukan segalanya tanpa konsekuensi.
“You can do everything you want, but you cannot get anything you want,” begitu bunyi reff dalam lagunya, sebuah pengingat bahwa setiap tindakan memiliki batasan dan tanggung jawab yang menyertainya.
Bebas tapi Kok Seenaknya?
Dalam dunia maya, setiap individu pada dasarnya adalah pencipta konten, baik secara sadar maupun tidak. Dari unggahan sederhana seperti foto dan status, hingga konten video yang dikonsumsi jutaan orang, semua memiliki dampak. Dr.alialfakir mengajak pendengarnya untuk lebih kritis dan tidak hanya menjadi penikmat pasif dari arus informasi yang deras ini.
“Setiap klik, setiap like, setiap komentar yang kita berikan, semua itu membentuk algoritma dan menentukan jenis konten yang terus bermunculan,” ujarnya. “Jadi kalau kita tidak bijak dalam berinteraksi, kita sendiri yang akhirnya membentuk lingkungan digital yang toxic.”
Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya kesadaran akan etika digital. Dalam lagu Do What You Want, pesan yang ia ingin sampaikan bukanlah untuk membatasi kebebasan, melainkan untuk mengajak pendengarnya berpikir ulang tentang konsekuensi dari kebebasan yang tidak terkontrol. “Bebas itu bukan berarti tanpa aturan. Ada norma, ada tanggung jawab yang harus kita emban,” tegasnya.
Sayangnya, tidak semua orang menyadari hal ini. Banyak pengguna media sosial yang masih terjebak dalam ilusi kebebasan mutlak tanpa menyadari bahwa apa yang mereka bagikan dapat berdampak luas. Fenomena ini dapat dilihat dalam tren-tren viral yang sering kali tidak memiliki nilai edukatif, bahkan terkadang berbahaya. Dari tantangan-tantangan ekstrem yang mempertaruhkan nyawa hingga konten eksplisit yang hanya mengejar sensasi, semuanya menjadi bagian dari konsumsi sehari-hari masyarakat digital.
Musik Nggak Cuma Buat Joget, Bisa Buat Nyelekit!
Sebagai seorang musisi sekaligus pendidik, dr.alialfakir memahami bahwa musik memiliki kekuatan lebih dari sekadar hiburan. Musik bisa menjadi sarana refleksi, media kritik sosial, dan bahkan alat perubahan. Dengan balutan musik funky-blues yang terinspirasi dari Red Hot Chili Peppers, ia ingin menyampaikan kegelisahannya tentang fenomena digital dengan cara yang lebih universal dan mudah dicerna.
“Kalau bicara di kelas, audiensnya terbatas. Tapi kalau lewat musik, pesannya bisa lebih luas, bisa masuk ke siapa saja yang mendengarkan,” ungkapnya. Ia berharap Do What You Want bisa menjadi pengingat bagi generasi muda bahwa di balik layar digital yang tampak penuh kebebasan, ada tanggung jawab besar yang harus diemban.
Lebih jauh, ia juga menyoroti bagaimana industri musik saat ini tidak terlepas dari pengaruh media sosial. Banyak musisi yang berlomba-lomba menciptakan lagu yang viral, sering kali mengorbankan kualitas lirik dan pesan di dalamnya. “Banyak lagu yang cuma mengejar tren, tapi tidak memberikan makna lebih bagi pendengarnya,” katanya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi musisi seperti dirinya yang ingin tetap idealis di tengah arus industri yang semakin komersial.
Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Menutup dengan Menggelinding 1
PROFIL KOMUNITAS PKL KEMBANG TANJUNG: Pedagang Kaki Lima yang Bersolidaritas
MAHASISWA BERSUARA: Squid Game Season 2 Mencerminkan Rupa Manipulatif Demokrasi Indonesia
Internet Bukan Hutan Belantara
Pada akhirnya, era digital adalah tentang bagaimana kita memilih untuk menggunakannya. Apakah kita hanya menjadi penonton yang pasif atau justru menjadi bagian dari perubahan menuju ekosistem digital yang lebih sehat? Dr.alialfakir telah memilih jalannya, dan kini giliran kita untuk menentukan pilihan kita sendiri.
Untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih baik, dibutuhkan kesadaran kolektif dari semua pihak. Pengguna media sosial harus lebih selektif dalam mengonsumsi konten dan tidak hanya mengejar hiburan semata. Platform media sosial juga harus lebih bertanggung jawab dalam mengatur algoritma agar tidak hanya memprioritaskan konten yang bersifat sensasional.
Selain itu, edukasi digital menjadi kunci penting dalam menghadapi tantangan ini. Literasi digital harus lebih diperkuat, baik melalui institusi pendidikan maupun komunitas. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana media sosial bekerja dan dampaknya terhadap kehidupan nyata, diharapkan masyarakat bisa lebih bijak dalam menggunakannya.
Dr.alialfakir percaya bahwa perubahan dimulai dari hal kecil. “Kalau kita mulai dari diri sendiri, dari lingkaran kecil kita, efeknya bisa besar. Kita tidak bisa mengubah semua orang dalam semalam, tapi kita bisa mulai dengan membangun kesadaran di sekitar kita,” ujarnya.
Lagu Do What You Want bukan hanya sekadar lagu tentang kebebasan, tapi juga sebuah refleksi tentang bagaimana kita harus menyikapi kebebasan itu sendiri. Dengan lirik yang tajam dan aransemen yang khas, dr.alialfakir berharap lagunya bisa menjadi suara bagi mereka yang ingin melihat perubahan dalam ekosistem digital yang semakin kompleks ini.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan lain dari Rayhan Yuditra Fawwaz, atau tentang Musik Bandung