PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Menutup dengan Menggelinding 1
Buku Menggelinding 1 ditulis Pramoedya Ananta Toer setelah ia keluar dari pengasingan di Pulau Buru, ketika ia masih diawasi ketat dan dilarang berbicara.
Penulis Rayhan Yuditra Fawwaz5 Maret 2025
BandungBergerak.id - Klub Buku Laswi menutup rangkaian perayaan seabad Pramoedya Ananta Toer dengan membedah kumpulan esai berjudul Menggelinding 1, Jalan Garut, Bandung, Rabu, 26 Februari 2025. Klub ini begitu antusias merayakan seabad sastrawan kelahiran Blora. Sejak akhir 2024 hingga Februari 2025, mereka telah menggelar enam diskusi bertema Pram. Namun, rasanya waktu tak akan pernah cukup untuk membahas karya-karya dan kehidupan sang sastrawan yang penuh perlawanan.
Buku Menggelinding 1 pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada 1995, penerbit yang juga membawa Tetralogi Buru (1980) dan Menggelinding 2 (1996) ke publik. Penerbitan buku ini adalah upaya mempertahankan suara Pram di tengah represi Orde Baru, saat kebebasan berpendapat masih dibatasi. Berbeda dengan Tetralogi Buru yang langsung dilarang, Menggelinding 1 tidak pernah dinyatakan ilegal tetapi tetap dianggap “berbahaya” bagi rezim. Buku ini lahir setelah Pram keluar dari Pulau Buru. Waktu itu ia masih diawasi ketat dan dilarang berbicara di ruang publik.
Acara diskusi dibuka oleh Deni Rachman, seorang pengagum Pram sekaligus pengelola Toko Buku Bandung, dengan sambutan hangat. Langit sudah gelap, hujan tampak akan turun, tetapi semangat peserta tetap menyala—seperti Pram yang terus menulis bahkan saat dipenjara. Awalnya, diskusi direncanakan berlangsung di teras belakang Toko Buku Bandung. Namun, hujan yang kian deras memaksa pemindahan lokasi ke Kedai Jante, tepat di seberang toko.

Pram Adalah Perlawanan
Dyah, pemantik diskusi kali ini, langsung mengangkat mikrofon dan mengupas isi Menggelinding 1 dengan suara lantang, mengalahkan gemuruh hujan di atap. Menurutnya, kumpulan esai ini adalah refleksi pribadi Pram atas periode-periode penting dalam hidupnya.
Sejak remaja, sekitar 1940-an, Pram sudah menulis. Cerpen pertamanya, Sepoer Kecil, diterbitkan oleh Post Oemoem pada 1942 saat ia berusia 17 tahun. Namun, novel pertamanya yang benar-benar memperkenalkan dirinya sebagai penulis adalah Kranji dan Bekasi Jatuh (1947). Dari awal, tulisannya selalu membawa perlawanan. Seiring waktu, pemikirannya berkembang, terutama setelah menjadi jurnalis dan bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ia meninggalkan humanisme universal dan beralih ke realisme sosialis: sastra bukan sekadar seni untuk seni, melainkan seni untuk rakyat.
Ajip Rosidi, seorang sastrawan sekaligus kawan Pram, pernah berpendapat bahwa kemiskinan membuat Pram menjadi pragmatis. Pada 1950-1960-an, ketika ketegangan ideologi antara nasionalis, komunis, dan antikomunis memuncak serta kondisi ekonomi sulit, pandangan Pram pun ikut beradaptasi. Namun, pendapat Ajip ini menuai pro dan kontra. Deni sendiri menilai ini sebagai mitos.
Sebagai pemilik Toko Buku Bandung, Deni punya pandangan berbeda. Menurutnya, banyak mitos yang dilekatkan pada Pram, salah satunya bahwa ia adalah komunis hanya karena menjadi bagian dari Lekra, organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).
“Menurut saya, Lekra adalah komunitas yang mewadahi pemikiran bebas, radikal, dan progresif pada saat itu. Makanya Pram memilih Lekra,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa Pram bukan anggota PKI melainkan seorang sastrawan yang memanfaatkan ruang yang tersedia untuk tetap bersuara. “Dia bukan komunis, bukan anggota PKI. Dia cuma anggota komunitas—anggota Klub Buku Laswi,” lanjutnya, disambut tawa peserta.
Deni menambahkan, meski bergabung dengan Lekra Pram tetap mempertahankan sikap individualis dan introvertnya. “Dia tetap jadi manusia kamar, nggak gaul-gaul amat kayak Ajip,” katanya.
Seorang peserta pun menimpali, “Saya punya hipotesis. Pram itu bukan orang yang mudah terpengaruh. Dia mengumpulkan banyak gagasan dan mengolahnya menjadi pemikirannya sendiri.”
Diskusi semakin seru. Peserta satu per satu menyampaikan pandangannya. Seorang audiens di dekat bar kopi menilai Pram sebagai dokumenter terbaik, meskipun karyanya tetap perlu dikritik. Esai-esai dalam Menggelinding 1 menjadi bukti bahwa Pram memotret realitas sosial di sekelilingnya. Namun, idola berlebihan terhadap Pram juga perlu dihindari.
“Kita tetap harus mengkritiknya karena ada anomali dalam beberapa aspek kehidupannya,” ujarnya. Dari pengalamannya di Belanda hingga pemenjaraannya di era Orde Baru, Pram menulis dengan begitu tajam hingga membuat penguasa resah. “Individualis tapi humanis lewat karyanya,” kata peserta.
Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Klub Buku Laswi Edisi Spesial, Menulis Adalah Melawan
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Hidup Tua Bagai Pasar Malam
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Dari Pinggiran Bahasa Indonesia Lahir
Menutup Perayaan, Membuka Kesadaran
Menjelang akhir acara Dyah membacakan kembali kutipan dari sampul belakang Menggelinding 1: Di saat-saat awal ini, Pram tak ubahnya pengarang yang menggelinding. Dikirim oleh jiwa mudanya yang meraungkan cita-citanya yang arung itu. Dengan bahasa khas yang garang dan tidak bertele-tele, ia menulis tentang banyak hal yang menurutnya tidak beres dan harus diluruskan.
Deni pun menambahkan kutipan dari sebuah buku yang menggambarkan sosok Pram: “Ia adalah orang yang kukuh dalam pikirannya karena yang ia perjuangkan adalah nasib rakyat—nasib rakyat yang selalu dikekang.” Konsistensi Pram dalam menjaga jarak dengan penguasa adalah bukti nyata perjuangannya. Ia berguru kepada M. Natsir, dan mengagumi Sukarno, tetapi tetap dijebloskan ke penjara. Ia tak tunduk pada siapa pun.
Terlepas dari berbagai mitos tentang Pram, para pecintanya tetap teguh. Setinggi dan seterhormat apa pun sosoknya, Pram tetap bersuara untuk rakyat. Perlawanan adalah Pram—dan Pram adalah perlawanan.
Klub Buku Laswi memilih Menggelinding 1 sebagai penutup perayaan seabad Pram bukan tanpa alasan. “Biar tahu akar penulisannya Pramlah ya,” ujar Deni menutup diskusi sore itu.
*Kawan-kawan bisa menyimak reportase lain dari Rayhan Yuditra Fawwaz, atau tulisan lain tentang Perayaan Seabad Pram di Bandung