• Berita
  • PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Hidup Tua Bagai Pasar Malam

PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Hidup Tua Bagai Pasar Malam

Terasa ada lubang di baris kursi tempat para nenek membaca karya Pramoedya Ananta Toer. Salah seorang nenek yang paling semangat telah berpulang.

Perayaan seabad Pram di Bandung, membacakan buku Bukan Pasar Malam di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi, Bandung, Kamis, 27 Februari 2025. (Foto: Fauzan Rafles/BandungBergerak)

Penulis Fauzan Rafles 3 Maret 2025


BandungBergerak.idMasa kanak-kanak adalah masa di mana anak-anak sering dibacakan buku oleh orang tuanya. Namun, pernahkah terlintas di benak kebanyakan manusia untuk membacakan buku kepada orang tuanya ketika mereka sudah memasuki usia lanjut?

Banyak anak yang lupa. Orang tua yang sudah hidup dalam lanskap sunyi hanya merindukan suara kabar dari sang anak. Mungkin, hiruk pikuk duniawi sudah membuatnya lupa untuk mendongengi sang ibu yang sudah renta. Tapi, jangankan membacakan buku, menelpon saja sering luput.

Dihantui akan kesepian dan kesendirian, kehidupan lansia seakan hanya berkutat pada ibadah dan makan siang. Bukan makan siang bergizi gratis tentunya karena mereka tak lagi siswa sekolahan. Berkegiatan pun hanya dilakukan demi mencegah potensi demensia.

Indra Wardhana selaku pemilik perpustakaan Dr LongBook sangat menyadari hal itu. Berawal dari menonton film yang mengisahkan seorang anak yang memilih kerja sosial untuk membacakan buku kepada lansia. Ia pun jadi terinspirasi dengan hal yang sama.

Sadar akan kemampuan dan fasilitas yang dimiliki, ia menghubungi Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi untuk menjalin kerja sama mengadakan program pembacaan buku untuk lansia.

“Siapa yang akan menjangkau mereka? Gak ada kayaknya, ya saya inisiatiflah,” kata Indra.

Di samping terinspirasi oleh film yang ia tonton, Indra juga menyadari bahwa belum banyak orang yang membacakan secara rutin kepada lansia di panti.

“Banyak sih orang yang ngasih buku, jadinya mereka udah bosen. Mereka semangat akan adanya acara ini karena belum ada orang yang mau membacakan kepadanya,” jelas Indra.

Terkadang, kebaruan itulah yang membuat para lansia di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi ini antusias. Bangun pagi mereka jadi lebih semangat karena ada kegiatan yang mungkin dapat sedikit memberikan kilas balik kepada diri mereka di zaman muda dahulu; tumbuh besar dengan budaya baca membaca.

Rata-rata usia para lansia di panti sosial ini adalah sekitar 70 kecil hingga 90 besar. Mereka dapat disebut sebagai “adik tingkat”-nya Pramoedya Ananta Toer yang di tahun 2025 ini genap berusia 100 tahun. Dalam rangka merayakan seabad Pram juga, Dr LongBook mengadakan program membacakan buku Pram setiap hari Rabu dari tanggal 5 Februari hingga 26 Februari.

Acara pertama yakni membacakan buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Di acara tersebut ada nenek bernama Indri Candrawati. Ia adalah pembaca Pram sejak dahulu.

Dalam artikel yang ditulis oleh Salma Nur Fauziyah berjudul Bercerita Jalan Raya Pos di Panti Wreda nenek Indri bercerita mengenai pelarangan buku-buku Pram di zaman ia bersekolah. Ia harus rela bersembunyi bila ingin membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer.

Tiga hari berselang, seusai merayakan seabad Pram, nenek Indri menghembuskan napas terakhir. Perayaan seabad Pram yang diadakan oleh Dr LongBook seakan jadi rezeki sekaligus nostalgia terakhir dalam hidupnya.

Lengkap sudah perjalanan hidup dari sang pembaca Pramoedya. Ketika muda, nenek Indri sudah mengalami masa di mana sang sastrawan masih aktif menulis, kemudian membaca karyanya dalam diam. Lalu ketika sudah lansia, ia masih dapat menikmati perayaan 100 tahun kelahiran seorang Pram.

Kepergian Indri memberikan duka yang cukup panjang bagi panti sosial ini. Dua episode perayaan seabad Pram dijadwalkan pada hari Rabu 12 Februari dan 19 Februari harus dibatalkan karena duka panjang yang dialami Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi akibat kehilangan sosok baik hati yang sudah menetap sejak tahun 2022.

Sebetulnya, acara final dari seabad Pram yang membacakan buku Bukan Pasar Malam ini juga hampir batal. Namun, Indra sang pemantik mengusahakan agar acara ini tetap berlangsung walau harus diundur pada hari Kamis, 27 Februari 2025.

Antusiasme para nenek dan eyang belum menurun. Namun, terasa ada lubang di baris kursi tempat mereka duduk. Tidak ada lagi nenek Indri yang senantiasa aktif ketika acara tengah berlangsung. Tidak ada lagi nenek yang masih semangat memberikan pengalaman membaca Pram di masa lampau.

Lubang itu sedikit dapat dilingkupi oleh Indra yang juga turut menjadi pembawa acara ini. Ia beserta dua relawan lain, Adzkiyaa dan Cici dapat menghidupkan suasana panti dengan storytelling, pembacaan buku Bukan Pasar malam, dan sedikit membaca cerpen karya WS Rendra.

Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Mendengarkan Khataman Bumi Manusia ala Zen R. S., Menggeledah Sejarah Kelam Pramoedya
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Novel tentang Perempuan-perempuan yang Melawan Zaman
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Kembang Kata Book Club Edisi Gema Perlawanan Pramoedya Ananta Toer

Seorang peserta sedang membaca buku dalam acara Tadarus Buku Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer di Warkop Huemai, Baltos Lt D1 Blok P-01, Kota Bandung, Minggu (28/11/21). (Foto: Agil M Gilman Najib/BandungBergerak.id)
Seorang peserta sedang membaca buku dalam acara Tadarus Buku Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer di Warkop Huemai, Baltos Lt D1 Blok P-01, Kota Bandung, Minggu (28/11/21). (Foto: Agil M Gilman Najib/BandungBergerak.id)

Satu Buku Memancing Banyak Kenangan

Setelah membacakan buku Bukan Pasar Malam dan cerpen WS Rendra, Indra selaku pembawa acara juga ingin berbagi kisah cinta dari buku Iksaka Banu, Semua untuk Hindia. Di sesi ini Indra mencairkan suasana hangat panti.

Ia mengajak anak mahasiswa yang tengah menjalani praktik kerja lapangan (PKL) untuk bertukar cerita cintanya. Ada mahasiswa yang trauma dengan kisah cintanya, ada yang masih ingin lanjut dengan mantannya, dan segala rupa kelokan cinta remaja.

Satu ibu paruh baya berumur sekitar 80an, akrab dipanggil Eyang Sukasih ikut andil dalam berbagi kisah cinta. Setelah menyimak Indra dan beberapa mahasiswa yang bercerita, Eyang Sukasih mungkin merasa terpanggil rekaman masa lalunya. Kandasnya cinta terhalang oleh perjalanan dinas sang mantan kekasih.

“Saya juga mau cerita. Tapi, saya mah putusnya baik-baik. Dulu pacar saya itu ABRI. Dia harus dinas di Subang, jadi kami harus putus. Dia orangnya baik banget, saya selalu ingat sama dia. Hubungan kami juga selalu baik. Saya sampe namain anak saya pakai nama dia,” cerita sang Eyang.

Pemantik-pemantik seperti inilah yang diharapkan oleh Indra ketika mengadakan program pembacaan buku di panti sosial. Membacakan buku, menurutnya lebih besar pengaruhnya daripada hanya menyumbang buku. Setidaknya, pembacaan buku dapat memberikan ‘kehidupan’ untuk para nenek dari sumpeknya kehidupan panti yang monoton.

Selaras dengan buku Bukan Pasar Malam, menurut Indra, kehidupan panti ini mirip dengan kisah yang diceritakan Pram. Seseorang yang kesepian di panti karena sudah tidak lagi memiliki banyak kerabat atau keluarga, mirip dengan tokoh ‘ayah’ yang sedang lagi mengalami sakit keras dan kesendirian karena konfliknya dengan si tokoh ‘aku’ anaknya.

Meskipun jumlah anak dari sang ayah ini tergolong banyak, tetap saja bila satu anak tidak hadir menjenguknya, sang ayah tetap merasa kosong. Itulah yang dirasakan oleh penghuni Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi ini.

Perayaan seabad Pram memberikan magis yang cukup kuat. Bukan hanya apresiasi kepada sang legenda, tapi juga dapat menjadi ajang kebaikan sosial bagi sesama. Selaras dengan apa yang Pram perjuangkan semasa hidupnya dulu, bahwa setiap orang berhak berbahagia dalam hidupnya.

Acara ini juga turut dihadiri oleh audiens dari luar. Yura (29 tahun) namanya. Seorang freelance arsitek yang juga gemar membaca. Memiliki perpustakaan kecil di rumahnya, ia mengaku Bukan Pasar Malam adalah buku Pram favoritnya. Maka, itu juga yang membawanya hadir di panti ini.

“Ini pengalaman baru aja sih. Biasanya kan storytelling gini buat anak-anak ya. Tapi, sama aja sih. Orang tua sama anak-anak kan punya daya fokus yang tidak sekuat manusia di usia produktif kan. Dan itu yang harus dijaga,” kata sang arsitek.

Acara pembacaan buku dari Dr LongBook di Panti Sosial Tresna Wredha Budi Pertiwi ini rutin diadakan setiap hari Rabu maupun setelah perayaan seabad Pram usai. Di luar itu, Dr LongBook juga mengadakan program yang sama di Panti Sosial Tresna Werdha Nazareth Santo Yusuf, Kota Bandung setiap hari Selasa. Untuk info lengkapnya, silahkan pantau Instagram @dr.longbook. 

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain Pramoedya Ananta Toer 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//