PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Mendengarkan Khataman Bumi Manusia ala Zen R. S., Menggeledah Sejarah Kelam Pramoedya
Bagi Zen R.S., Pramoedya Ananta Toer adalah penulis yang layak dipercaya secara literer. Merayakan seabad Pram bukan sekadar mengenang belaka.
Penulis Fauzan Rafles 27 Februari 2025
BandungBergerak.id – Jumat, 21 Februari 2025, Bukan Jumaahan menggelar acaranya yang ke-118. Terasa lebih hangat karena dikelilingi komunitas Pembebasan Bandung, ASAS UPI, dan Bandung Berpuisi. Semuanya datang hadir untuk menyaksikan dramatic reading dari Zaskia Putri dan ceramah khusyuk oleh Zen R.S.
Acara dimulai pukul 7.30 malam. Namun, sebagai “bukan khatib”, Zen sudah datang sejak 30 menit sebelum acara dimulai. Dari sini, Zen telah membuktikan kepada masyarakat bahwa seorang figur publik bisa tiba tepat waktu tanpa perlu menggunakan sirine di jalanan umum.
Seperti biasa, setiap acara pasti akan dimulai dengan yang namanya pembukaan. Jarjit, selaku peracik kopi andalan Kedai Jante membukanya dengan sangat ciamik. Mengantarkan kepada audiens bahwa akan ada sesosok wanita berambut merah yang akan melakukan pembacaan buku Bumi Manusia dengan lantunan indah.
Setelah dipersilahkan, lampu Jante Langsung dipadamkan dan hanya menyisakan satu lampu kuning tepat di atas tempat Zaskia duduk. Lantunan ayat-ayat indah dari Bab 18 buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang dibacakan oleh Zaskia menghangatkan Jumat malam yang dingin.
“Bab ini ngasih tau pembaca, wejangan sang Bunda kepada Minke sebelum nikah sama Ny. Ann,” kata Zaskia ketika ditanya mengapa memilih membacakan bagian itu.
Masih dalam perayaan seabad Pram, acara ini terasa lebih istimewa dari biasanya. Perayaan ini berbareng dengan digelarnya aksi massa “Indonesia Gelap” di Kota Bandung, peringatan seratus tahun Pram semakin kuat memancarkan semangat perlawanan. Suara lantang dan nada tinggi dari sang bukan khatib, Zen R. S., membuat nuansa Kedai Jante jadi semakin seperti massa yang sedang berada di depan gedung DPR.
Zen membuka ceramahnya dengan permintaan maaf. “Maaf kalau saya banyak liat hape, ya. Soalnya ada 10 reporter saya di lapangan dan eskalasinya agak panas. Jadi harus mantau,” tutur sang pemred Narasi itu.
Setelah bincang santai, Zen mengemukakan analisanya mengapa Bumi Manusia adalah novel yang sudah teruji oleh waktu. Bahkan baru masuk cetakan ketiga saja, novel ini sudah ditranslasi ke dalam Bahasa Inggris. Ia mengatakan, dalam proses penulisan novel tersebut, Pram telah dibantu oleh banyak nama. Proses kreatif buku tersebut lahir dari banyak kepala dan sumber. Tak heran, banyak yang dipenjara akibat buku ini. Dan, tidak sedikit juga yang menyebut kalau Pram adalah orang kiri, kata Zen.

Apakah Pram itu Kiri?
Ia memaparkan, cerita yang menempel di benak masyarakat bahwa Pram adalah orang miskin yang dibantu banyak seniman kiri sehingga menjadikannya seorang kiri. Sehingga, cerita itu menjadi pembabakan sejarah intelektual seorang Pram dari yang tidak kiri menjadi kiri karena menjadi miskin.
Bila membaca cerita seorang Pram yang melarat, maka itu adalah benar. Hidupnya memang pahit. Bapaknya menjadi penjudi dan ibunya kurus karena badannya digerogoti TBC. Serta cerita Pram yang harus rela berjualan kambing demi bertahan hidup.
Zen menyebutkan, cerita-cerita itu terabadikan dalam satu kutipan kuat “berbahagialah orang yang hidup dalam keringatnya sendiri.”
Dongeng soal pahitnya hidup Pram tergambar baik melalui kumpulan cerita non fiksinya. Namun, bila menyimpulkan bahwa Pram belum kiri sebelum menjadi miskin adalah kesimpulan yang harus kembali digeledah.
Menurut Zen, bila berbicara pengarang pascakolonial, Pram adalah salah satu yang terbaik. Pram bagian dari generasi yang sebagai pengarang tentu membutuhkan ruang-ruang soliter yang cukup aman untuk menulis apa pun yang menurutnya penting.
Bila menggunakan terminologi kiri secara historis yang berarti menjadi kiri adalah dia yang anti penindasan, antikolonialisme, menghendaki hubungan sosial yang legaliter, maka Pram tidak pernah tidak kiri.
Banyak karya Pram yang membicarakan politik. Pram memiliki banyak catatan tentang revolusi yang berjalan. “Menurut saya, Pram tidak pernah tidak kiri dan juga tidak apolitis. Dia hanya belum gabung ke dalam aktivisme politik sastra dan kebudayaan,” kata Zen.
Setelah selesai menceritakan soal apakah Pram itu kiri atau tidak, Kaana sebagai moderator yang disebut sebagai “al wasit” membelokkan diskusi ke arah relevansi Pram di zaman sekarang.
Zen dengan lugasnya menjawab pertanyaan tersebut. Relevansi Pram ia tunjukan dengan bercerita sejarah dari zaman yang membentuk Pram di awal-awal abad 20 lalu. Orang zaman sekarang tidak mengalami di mana suatu ide bisa diperjuangkan dalam waktu yang panjang karena perubahan zaman yang lambat di zaman dulu.
Dalam artian, Pram masih relevan hingga kini bila masyarakat modern mempelajari kelokkan-kelokkan dalam hidupnya. “Kita cuma mempelajari sejarah itu cuma dengan kesimpulannya. Makanya, itulah pentingnya belajar dilema di balik peristiwa yang terjadi di aman dulu,” kata Zen.
Menurutnya, relevansi Pram di zaman sekarang akan terasa bila orang-orang kini membaca karya-karya Pram dalam konteks tertentu. “Memaksa Pram untuk bicara tentang hari ini, buat saya justru gak relevan. Pram dipaksa untuk cocok dengan kebutuhan kita? Gak gitu cara belajar sejarah. Kita harus belajar konteksnya dulu,” jelas sang penceramah.
Bila ingin mengatakan Pram masih relevan di zaman ini, maka manusia era sekarang harus balik ke masa lalu untuk belajar konteks dan dilema apa yang dialami seorang Pram dalam membuat suatu karya. Proses berpikir dan proses kreatif apa yang diambil. Apa yang mesti dikorbankan dan sebagainya.
Dengan memahami sejarah bukan hanya dari kesimpulan, maka manusia modern bisa mencocokan Pram dengan apa yang tengah mereka alami sekarang. Ketika sudah memahami apa momen apa yang terjadi di zaman itu, manusia jadi dapat melakukan apa yang sudah Pram lakukan terhadap momen sama.
“Dengan mencari tahu dilema di balik sejarah, kita jadi bertanya-tanya ‘kenapa sih begini, kenapa sih begitu?’ Dan dengan begitu, kita jadi bisa mengatakan ‘oh iya saya merasakan dilema yang sama, makanya saya mengerti saya harus mengambil langkah apa’,” kata Zen.
Baca Juga: PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Novel tentang Perempuan-perempuan yang Melawan Zaman
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Kembang Kata Book Club Edisi Gema Perlawanan Pramoedya Ananta Toer
PERAYAAN SEABAD PRAM DI BANDUNG: Bercerita Jalan Raya Pos di Panti Wreda
Ceramah yang Menarik
Perayaan seabad Pram yang ada di Kota Bandung sepanjang bulan Februari 2025 sejatinya adalah acara yang sama dari tempat ke tempat lainnya. Namun, yang terjadi di Kedai Jante dalam edisi Bukan Jumaahan ke -118 ini sedikit berbeda. Faktor utamanya tentu dari sang bukan khatib Zen R.S.
Ceramah Zen di Bukan Jumaahan Seperti orator dan juga dapat menyederhanakan frasa atau istilah-istilah berat agar audiens dapat memahami dengan mudah. Mungkin sudah menjadi ciri khasnya, ia sering melontarkan diksi-diksi konyol membuat ceramahnya tidak membikin jamaahnya ngantuk.
Diksi seperti “Soekarno di cancel”, “skena tapol”, “kalimat nitah gawe”, “Pram itu sandwich generation”, dan “bapaknya Pram main judol” keluar dari mulutnya dalam mendeskripsikan cerita berat menjadi sangat sederhana.
“Dumb your words” mungkin adalah nama dari metode yang Zen R.S lakukan, menyederhanakan istilah rumit dengan kalimat yang mudah dipahami dan juga jenaka. Hasilnya? Meski Kota Bandung pada malam itu diguyur hujan yang tak kunjung reda sejak sore hari tidak juga meredakan semangat 20-pan orang yang hadir untuk mendengar ceramah Zen soal Pramoedya Ananta Toer.
Bagi Zen, Pram adalah penulis yang layak dipercaya secara literer. Pram banyak mencatat nama-nama besar yang tidak mendapat apresiasi lebih. Makanya, merayakan seabad Pram bukan sekadar mengenang belaka. Seabad Pram juga dipakai untuk mengenang orang-orang yang pundaknya pernah diinjak oleh Pram untuk menulis dan menghasilkan karya-karya yang tak lekang hingga kini.
Zen lalu menutup diskusi malam itu. “Geus ah urang cape ngomong wae,” akhir kata dari sang bukan khatib.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Fauzan Rafles, atau tulisan-tulisan menarik lain Pramoedya Ananta Toer