Merawat Demokrasi dari Ancaman Kekuasaan Melalui Solidaritas Mahasiswa, Komunitas, dan Masyarakat Sipil di Festival Bandung Menggugat
Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Bandung menunjukkan bahwa merawat ruang demokrasi menjadi semakin mendesak. Memerlukan solidaritas.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah14 April 2025
BandungBergerak.id - Festival Bandung Menggugat yang digelar di Dago Elos, Bandung, Sabtu, 12 April 2025, menjadi panggung solidaritas bagi mahasiswa, komunitas, dan masyarakat sipil dalam merespons krisis demokrasi, perampasan ruang hidup, dan ketimpangan sosial. Acara puncak dari rangkaian kegiatan kritis yang telah berlangsung enam bulan terakhir terkait Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara ini dihadiri oleh lebih dari dua ribu partisipan dari berbagai latar belakang.
Warga, mahasiswa, seniman, aktivis, hingga peneliti berkumpul dan menyuarakan kegelisahan mereka terhadap menyempitnya ruang demokrasi dan kuatnya dominasi kekuasaan yang kian transaksional. Melalui diskusi, orasi politik, pertunjukan seni, hingga pasar ekonomi alternatif, mereka membangun solidaritas sebagai kekuatan utama dalam merawat ruang hidup dan demokrasi yang semakin rapuh.
Ayang, warga Dago Elos, menegaskan pentingnya acara Festival Bandung Menggugat atau sejenisnya dalam membangkitkan kembali semangat perjuangan warga. Bagi warga Dago Elos, festival ini memberi kesempatan untuk kembali mengaktivasi ruang yang terancam digusur sekaligus menghidupkan roda perekonomian warga. Tidak hanya itu, festival ini diharapkan menyuntik semangat warga Sukahaji yang sedang melawan pengklaiman tanah secara sepihak.
“Memberi kesempatan menggulirkan roda perekonomian warga untuk berjualan. Yang penting di sini, ada tamu dari Sukahaji yang kemarin mengalami kebakaran. Sudah ada benih-benih perlawanan dari warga Sukahaji, di mana warga Dago Elos ikut tersulut semangatnya untuk memperjuangkan ruang hidup,” kata Ayang.
Saat ini, warga Dago Elos sedang mengawal putusan gugatan Muller Cs di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung yang akan dibacakan pada 26 April 2025, serta melanjutkan proses hukum di tingkat kasasi (PK) 2. Ayang berharap perjuangan panjang ini akan membawa hasil berupa kepastian hak atas tanah bagi seluruh warga Dago Elos.
Ruang Demokrasi Semakin Sempit, Solidaritas Adalah Kunci
Dewi, mahasiswa berusia 21 tahun asal Subang, menilai Festival Bandung Menggugat menjadi contoh nyata bagaimana berbagai pihak bisa menyatu dalam solidaritas melawan ketidakadilan. “Solidaritas untuk bersatu melawan setiap apa pun yang menindas kita. Festival ini amat sangat baik, menggerakkan, meningkatkan solidaritas, gak ada kayak gini, rembukkan semuanya,” ujarnya.
Senada dengan Dewi, Bivitri Susanti, peneliti hukum, menekankan pentingnya solidaritas dalam menghadapi berbagai kebijakan yang merugikan rakyat. Ia menyoroti bahwa rakyat sering kali menjadi korban baik di tingkat nasional maupun global. Menurutnya, bersolidaritas menjadi sangat penting untuk mengkritisi peraturan yang tak berpihak pada rakyat.
Dosen STH (Sekolah Tinggi Hukum) Indonesia Jentera itu mengingatkan bahwa pembangunan ekonomi alternatif penting untuk diperkuat sebagai bagian dari respons terhadap krisis ekonomi yang mengiringi pelemahan demokrasi.
Musik dan Seni sebagai Medium Perlawanan
Festival Bandung Menggugat menampilkan berbagai pertunjukan seni, mulai dari Teater Bale Warga, tari oleh Tarang Taruna, hingga musik dari band-band lokal seperti Acceptable, Accident, Bendi Harmoni, dan Sukatani.
Cipoy, personel band Sukatani, membawakan lagu bertajuk "Jangan Bicara Solidaritas" yang menurutnya lahir dari keresahan terhadap praktik solidaritas palsu. “Lagu ini kritik dari realitas sosial yang saya temukan. Sering kali solidaritas dijual tapi malah memperkaya kantong pribadi,” ujarnya.
Band berbasis di Purbalingga yang lagu “Bayar Bayar Bayar” sempat melamung tempp hari, telah lama berjejaring dengan gerakan rakyat di berbagai daerah, seperti Tamansari dan Kulon Progo. Bagi Cipoy, membangun solidaritas harus dimulai dari lingkaran terkecil, dari keluarga dan tetangga sebelum ke lingkaran yang lebih besar.
Ia juga menekankan bahwa musik adalah medium yang jujur dan mudah diterima banyak orang. “Musik itu apa adanya. Musik itu penegas. Kejujuran itu kadang banyak orang gak menerima,” tambahnya.
Baca Juga: Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Bandung menunjukkan bahwa merawat ruang demokrasi menjadi semakin mendesak. Memerlukan solidaritas.
Dukungan Perempuan Warga Sukahaji Menggugat Pemagaran Kampung di PN Bandung
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA #28HARI28KRITIK: Orang-orang Muda, Menulislah!

Demokrasi Bukan Transaksi, Tapi Perjuangan Bersama
Festival Bandung Menggugat menjadi ruang pendidikan politik melalui orasi dari aktivis perempuan Kalis Mardiasih dan musisi sekaligus aktivis Herry Sutresna alias Ucok Homicide.
Kalis menyoroti bahwa perampasan ruang hidup tidak bisa dilepaskan dari kekerasan berbasis gender. “Ada perempuan dan anak-anak yang selalu menjadi bagian yang dipinggirkan dan menanggung dampak yang paling berat. Pada sebuah kampung atau hutan yang dibakar, ada Ibu hamil yang mengalami sesak napas, sekaligus ada Ibu yang menangis karena hal pertama yang ia pikirkan adalah seragam serta buku-buku sekolah anaknya,” ujarnya.
Ia menolak penyeragaman bentuk perlawanan perempuan yang sering kali bersumber dari narasi patriarki. “Orang-orang menyebut bahwa perempuan berdaya atau perempuan modern adalah mereka yang berargumen dengan rasional, menggunakan cara-cara yang tidak emosional atau sentimentil. Anggapan tersebut menihilkan berbagai daya resiliensi gerakan perempuan,” tegas Kalis.
Sementara itu, Herry Sutresna, atau yang akrab disapa Ucok, menekankan bahwa demokrasi bukanlah sekadar hasil kampanye politik atau negosiasi dengan sistem kekuasaan. “Demokrasi adalah ruang yang dibentuk oleh pertemuan, percakapan, kesepakatan, dan tanggung jawab bersama. Demokrasi yang mengalir dari logika otonomi warga, kemandirian komunitas, dan kerja-kerja politik,” katanya.
Ucok menolak demokrasi yang transaksional dan menyerukan praktik demokrasi langsung yang tumbuh dari komunitas. “Demokrasi langsung, dalam konteks ini, bukan eksperimen modern, tapi warisan lama yang terlupakan: bagaimana satu komunitas membuat aturan sendiri tentang kerja, tata ruang, pangan, waktu, dan relasi. Tanpa polisi, tanpa kampanye figur-figur, tanpa wakil,” jelasnya.
Baginya, keadilan hanya dapat lahir dari komunitas yang menjalani hidup bersama secara setara. “Bukan karena anti-negara, tapi karena mereka sudah tak butuh negara untuk tahu bahwa hidup bersama butuh aturan yang adil—dan aturan yang adil hanya bisa lahir dari mereka yang menjalaninya bersama,” tutupnya.
Melalui Festival Bandung Menggugat, mahasiswa, komunitas, dan masyarakat sipil menunjukkan bahwa solidaritas adalah benteng terakhir dalam menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan. Di tengah ancaman otoritarianisme dan politik yang kian transaksional, keberanian untuk bersatu dan merawat ruang demokrasi menjadi semakin mendesak.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Festival Bandung Menggugat