GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #56: Gunung Tanjaknangsi, Gunungapi Purba dengan Kekayaan Vegetasi dan Situs-situs Batu Keramat
Gunung Tanjaknangsi tidak hanya menawarkan keindahan alam dan udara sejuk pegunungan, tetapi juga menyimpan warisan sejarah dan spiritual yang kuat.

Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
19 April 2025
BandungBergerak - Tak banyak yang tahu bahwa di selatan Bandung, tepatnya di Kecamatan Pasirjambu, terdapat sebuah gunung yang menyimpan jejak geologis masa lalu: Gunung Tanjaknangsi. Dengan ketinggian 1.505 meter di atas permukaan laut (Mdpl), gunung ini bukanlah gunung biasa, melainkan bagian dari gunungapi purba yang terbentuk sejak masa Tersier menuju Kuarter. Gunung Tanjaknangsi dan tetangganya yaitu Gunung Bubut merupakan satu kesatuan kompleks peninggalan sebuah gunungapi purba. Ahli geologi R.D.M. Verbeek dalam buku Geologische beschrijving van Java en Madura (Gambaran Geologi Jawa dan Madura) yang terbit tahun 1896 menyebutnya sebagai "Tanjaknangsi-Bubut Vulcano" .
Pada era kolonial Belanda sekitar tahun 1890, Gunung Tanjaknangsi disebut pula dalam buku Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het jaar sebagai tanda alam yang membatasi wilayah Distrik Cisondari dan Banjaran. Masih dalam buku ini, tertera keterangan bahwa Afdeeling (setingkat Kabupaten) Bandung memiliki tujuh (7) Distrik (setingkat Kecamatan) dengan perincian batas-batasnya yg cukup jelas.
Ketujuh distrik itu adalah Distrik Rajamandala, Distrik Cilokotot, Distrik Ujungberung Kulon, Distrik Ujungberung Wetan, Distrik Rongga, Distrik Cisondari, dan Distrik Banjaran.
Menambah daya tariknya, Gunung Tanjaknangsi menyimpan situs-situs batu unik seperti Batu Korsi, Batu Kasur, Sakembaran, dan Balungtunggal. Keberadaan batu-batu ini memunculkan beragam pertanyaan: apakah itu merupakan peninggalan leluhur? Tempat ritual? Atau sekadar formasi alam yang membentuk kisahnya sendiri?
Lokasi dan Akses
Gunung Tanjaknangsi berada di Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, di antara wilayah Soreang dan Ciwidey. Berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar 1208-633 berjudul Soreang edisi I-1999 skala 1:25.000, gunung ini tercatat memiliki ketinggian 1.505 Mdpl. Jika ditarik garis lurus dari pusat Kota Bandung, jaraknya sekitar 23 km ke arah barat daya.
Dari Kota Bandung, perjalanan dapat ditempuh melalui Jalan Raya Ciwidey. Setibanya di Pasirjambu, arahkan kendaraan ke kiri (timur) menuju kawasan Perkebunan Gambung, kemudian berbelok ke kiri menuju Desa Cibodas. Jalan ini akan membawa kita melewati perumahan warga dan hamparan lahan pertanian juga perbukitan dengan udara yang semakin sejuk.
Desa Cibodas menjadi pintu masuk utama. Dari sini kita melanjutkan perjalanan menuju dua kampung, yaitu Kampung Ciseupan dan Kampung Cigandawesi yang akan menjadi titik awal pendakian. Di Kampung Cigandawesi, terdapat Warung Kang Ana yang dapat dijadikan tempat menitipkan kendaraan baik sepeda motor maupun mobil. Warung ini juga menyediakan makanan, minuman, serta jajanan ringan bagi para pendaki.
Tepat di samping warung tersebut terdapat sebuah kolam yang dikenal dengan nama Situ Gandawesi, tempat warga biasa memancing atau sekadar bersantai menikmati suasana. Diberi nama demikian karena dahulunya di dasar kolam terdapat sebuah batu besar yang bisa digunakan sebagai pemantik api atau batu gandawesi.
Untuk memudahkan pencarian lokasi, kita bisa mengetikkan “Situ Cigenewesyi” atau “Cigandawesi” atau bisa juga “Kampung Ciseupan, Desa Cibodas Pasirjambu” di mesin pencari seperti Google. Rute dan peta akan tersedia secara daring.

Pendakian Unik dari Dasar Kaldera Purba
Gunung Tanjaknangsi menawarkan jalur pendakian yang relatif mudah dan cocok bagi pendaki pemula. Suasana hutan yang rindang dan udara sejuk menjadikannya tempat ideal untuk mencari ketenangan sekaligus petualangan.
Beberapa jalur yang dapat digunakan antara lain jalur utara dari Gunung Bubut dan Banenjoan, jalur selatan dari Gunung Tikukur, jalur barat dari Gunung Puncaklingga, serta jalur barat laut dari Ciseupan–Cigandawesi. Jalur terakhir ini yang paling direkomendasikan.
Meski belum ada jalur resmi maupun pos pendakian, pendaki tetap bisa menjelajahi Gunung Tanjaknangsi dengan bantuan warga setempat. Terdapat dua puncak yang bisa dicapai, yakni Puncak Tanjaknangsi dan Puncak Balungtunggal. Puncak Balungtunggal, menurut warga, adalah puncak sebenarnya dari Gunung Tanjaknangsi, sedangkan puncak yang tercantum dalam peta dikenal sebagai Puncak Awi Rarangan.
Perjalanan ke puncak utama membutuhkan waktu sekitar 1–2 jam dengan tempo santai, dan tambahan 30–45 menit untuk mencapai Balungtunggal.
Yang membedakan Gunung Tanjaknangsi dari kebanyakan gunung lainnya adalah jalur pendakiannya yang dimulai dari dasar sebuah kaldera purba. Umumnya, pendakian dimulai dari lereng luar, tetapi di sini, Anda memulai perjalanan dari “kaldera” gunungapi purba yang telah lama tidak aktif. Ada pun pengertian kaldera menurut USGS (United States Geological Survey) adalah “A caldera is a large depression formed when a volcano erupts and collapses. It is usually more than 1.6 kilometers (1 mile) in diameter.” Artinya, kaldera adalah depresi besar (cekungan) yang terbentuk akibat erupsi besar di mana atap ruang magma runtuh, menciptakan struktur yang luas berdiameter lebih dari 1,6 kilometer. Sedangkan yang lebih kecil disebut kawah (crater). Namun ada juga yang menetapkan bahwa diameter kaldera minimalnya adalah 2 kilometer.
Kampung Ciseupan dan Kampung Cigandawesi berada tepat di dasar kaldera. Peta kontur dan geologi memperlihatkan jelas bahwa kampung-kampung ini berada di cekungan hasil letusan dahsyat jutaan tahun lalu. Pendakian pun terasa berbeda karena kita akan merasakan sensasi berjalan di lembah yang dikelilingi perbukitan dengan kontur yang menanjak perlahan menuju puncak.
Jika datang pada musim tanam perkebunan, pendakian akan semakin menarik. Pendaki akan melintasi kebun labu milik warga yang membentuk lorong alami nan rindang. Daun-daun lebar dan batang rambat membentuk naungan menyerupai terowongan, memberikan pengalaman unik yang jarang ditemukan di jalur pendakian lainnya.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #55: Gunung Majapait Cililin, Pesona Sisa Gunungapi Cililin Purba yang Memukau
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #54: Gunung Bubut dan Pasir Bedil, Sisa Gunungapi Tua di Selatan Soreang dengan Pemandangan Memesona dari Puncaknya
Kekayaan Vegetasi
Nama Gunung Tanjaknangsi berasal dari dua kata, yaitu tanjak dan nangsi. Tanjak adalah tanjakan, sementara nangsi adalah nama sejenis tumbuhan yang bernama nangsi atau nama ilmiahnya adalah Villebrunea rubescens.
Gunung Tanjaknangsi memang menyimpan kekayaan vegetasi yang beragam, mencerminkan perpaduan antara lahan budidaya masyarakat dan hutan tropis pegunungan. Di lereng bagian bawah hingga menengah, tanaman yang paling mendominasi adalah kopi. Pohon-pohon kopi ini tumbuh mengikuti kontur tanah, dengan kondisi yang lebih terawat di bagian bawah, menunjukkan peran aktif para petani dalam merawat tanaman mereka. Namun, semakin ke atas, tanaman kopi mulai tampak kurang terpelihara, ditandai dengan semak liar yang menyela.
Selain kopi, kebun sayuran juga menghiasi lereng bawah hingga pertengahan Gunung Tanjaknangsi. Tanaman labu atau waluh dalam bahasa Sunda, menjadi salah satu komoditas utama. Dulunya, petani menggunakan kayu dan bambu sebagai eréng atau parangon tempat rambat tanaman labu. Kini, demi kepraktisan dan efisiensi, banyak petani yang beralih menggunakan tambang plastik atau nilon sebagai struktur penyangga. Perubahan ini menjadi penanda bergesernya praktik bertani tradisional menuju pendekatan yang lebih modern.
Memasuki wilayah yang lebih tinggi, lanskap Gunung Tanjaknangsi berubah menjadi hutan tropis yang lebih lebat dan alami. Pohon-pohon kayu keras seperti rasamala, ki hiur, serta tumbuhan merambat seperti rotan dadak—yang dikenal warga lokal dengan nama hoé bubuai—mewarnai kanopi hutannya. Keanekaragaman ini menunjukkan karakteristik khas hutan hujan pegunungan.
Ada juga tumbuhan lainnya seperti ubi ungu dan sejenis timun mini menyerupai semangka. Ukuran buahnya berdiameter sekitar 2 sentimeter, bernama ilmiah Neochamandra japonica.
Menjelang puncak, vegetasi didominasi oleh jejeran pohon pinus, menciptakan pemandangan yang berbeda namun tetap sejuk dan rindang. Tak ketinggalan, rumpun-rumpun bambu juga tumbuh di beberapa titik, menambah keragaman flora yang ada di sepanjang jalur pendakian.

Situs-situs Batu Keramat
Gunung Tanjaknangsi tidak hanya menawarkan keindahan alam dan udara sejuk pegunungan, tetapi juga menyimpan warisan sejarah dan spiritual yang kuat. Di jalur pendakiannya, terdapat beberapa situs batu keramat yang dipercaya sebagai peninggalan para sesepuh terdahulu. Situs-situs ini menjadi saksi bisu perjalanan spiritual masyarakat setempat dan hingga kini masih dihormati keberadaannya.
Beberapa situs yang bisa dijumpai di antaranya adalah Batu Kasur, Batu Sakembaran, dan Batu Balungtungga. Sebutan Batu Kasur berasal dari bentuknya yang menyerupai kasur berukuran 1x2 meter dengan posisi terhampar di atas permukaan tanah. Konon, batu ini merupakan tempat peristirahatan spiritual salah satu tokoh keramat dan menjadi simbol kenyamanan serta ketenangan batin.
Batu Sakembaran dipercaya berkaitan dengan prosesi penyatuan dua kekuatan kembar leluhur atau sakembaran (penyatuan). Lokasinya sering dijadikan tempat semedi atau merenung.
Sementara Batu Balungtunggal dinamai berdasarkan tokoh Eyang Balungtunggal, yang diyakini sebagai sosok sakti dengan kekuatan dan keunikannya. Dinamai Balungtunggal karena menurut cerita, ia merupakan sosok sakti yang tidak memiliki pusar atau bujal dalam bahasa Sunda.
Tokoh-tokoh seperti Eyang Mangkubumi, Mbah Jambrong, Eyang Gerendelnyenggel, dan Eyang Balungtunggal menjadi bagian dari cerita turun-temurun yang dipercaya masyarakat sebagai penjaga gaib kawasan Gunung Tanjaknangsi. Para peziarah atau pendaki yang memiliki keyakinan tertentu kadang singgah sejenak untuk mendoakan atau sekadar menunjukkan rasa hormat.
Terpisah cukup jauh dari ketiga situs tersebut, terdapat satu lagi batu yang tak kalah menarik, yaitu Batu Korsi. Batu ini berbentuk seperti kursi dan berada di lokasi yang agak tersembunyi. Dalam tradisi lisan masyarakat, batu ini kerap dikaitkan dengan ritual "Katiga", sebuah praktik spiritual yang bertujuan memperkaya diri. Ritual ini dipercaya melibatkan perjanjian dengan makhluk halus penunggu batu tersebut. Meski terdengar mistis, keberadaan Batu Korsi menambah sisi misteri dan daya tarik Gunung Tanjaknangsi sebagai tempat yang penuh kisah.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi Bandungbergerak dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)