GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #54: Gunung Bubut dan Pasir Bedil, Sisa Gunungapi Tua di Selatan Soreang dengan Pemandangan Memesona dari Puncaknya
Gunung Bubut menderita alih fungsi lahan yang cukup masif. Dari puncaknya, terbentang pemandangan kaldera gunungapi purba yang memesona.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
2 April 2024
BandungBergerak.id - Sebuah kompleks gunungapi purba berada di sebelah selatan Soreang, tepatnya di perbatasan Kecamatan Cangkuang dan Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung. Dalam buku lama berbahasa Belanda “Geologische beschrijving van Java en Madura” atau Gambaran Geologi Jawa dan Madura, tulisan Dr. R. D. M. Verbeek dan R. Fennema yang diterbitkan tahun 1896, termuat nama Gunung Bubut-Tanjaknangsi Vulkaan. Verbeek ketika itu menjabat sebagai Kepala Insinyur Industri Pertambangan Hindia-Belanda.
Dituliskan dalam buku tersebut bahwa di sebelah barat Malabar, di seberang lembah Ci Sangkuy, terdapat pegunungan vulkanik yang relatif rendah dan memanjang. Dua puncak yang paling terkenalnya disebut Bubut dan Tanjaknangsi.
Beberapa gunung yang berada di kompleks pegunungan ini di antaranya adalah Gunung Tanjaknangsi sebagai puncak tertingginya, Gunung Bubut, Gunung Panenjoan, Gunung Puncaklingga, Gunung Puncakjaya, dan Pasir Batubedil. Ada pun satu gunung yang disebut oleh Verbeek di bukunya, yaitu Gunung Pangawungan, saat ini tidak lagi dikenali lokasi keberadaanya.
Kali ini akan dibahas tentang Gunung Bubut dahulu, sedangkan Gunung Tanjaknangsi pada tulisan berikutnya.
Lokasi dan Akses
Gunung Bubut berada di perbatasan beberapa desa. Sisi barat dan selatannya, termasuk puncak, berada di wilayah Desa Cukanggenteng, Kecamatan Pasirjambu. Sisi bagian timur berada di wilayah Desa Bandasari, Kecamatan Cangkuang, sedangkan sisi utara sebagian besar berada di wilayah Desa Sukajadi, Kecamatan Soreang. Seluruh wilayahnya termasuk ke dalam bagian wilayah administratif Kabupaten Bandung.
Ketinggian Gunung Bubut adalah 1.341 meter di atas permukaan laut (Mdpl), berdasar peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar peta 1208-633 edisi I-1999, dengan judul peta : Soreang , skala 1:25.000. Ada pun ketinggian populernya di kalangan pendaki adalah 1.333 Mdpl.
Untuk menuju Gunung Bubut, kita bisa melintas di Jalan Raya Soreang lalu berbelok ke arah jalan baru yaitu Jalan Al Fathu. Dari sana, kita masuk ke jalan yang lebih kecil yaitu Jalan Campaka dan terus menyusuri Jalan Sukanagara hingga sampai di Kampung Gunung Bubut. Perjalanan juga bisa ditempuh melalui Jalan Raya Soreang-Ciwidey, lalu berbelok kiri ke arah Jalan Mekarwangi hingga ke Kampung Ciberecek di kaki Gunung Bubut.
Jika ingin menggunakan bantuan petunjuk secara daring, kita bisa mengetikkan kata kunci “Gunung Bubut” ke kotak pencarian di Google atau mesin pencari lain. Nanti rute dan peta menuju ke sana akan tersedia.
Toponimi Gunung Bubut dan Pasir Bedil
Gunung Bubut memiliki beberapa versi sejarah penamaannya. Setidaknya ada dua versi yang dianggap paling relevan.
Versi toponimi yang paling populer berhubungan dengan sejenis burung yang dahulu banyak hidup di kawasan tersebut, yaitu burung bubut. Pakar geografi T. Bachtiar, dalam artikel “Perkampungan di Dalam Kawah Purba Gunung Bubut” di Bandungbergerak.id, menuliskan bahwa ada enam spesies burung bubut di dunia dan lima di antaranya terdapat di Indonesia. Dari lima spesies tersebut, dua di antaranya sering muncul di wilayah Jawa Barat. Kedua spesies yang dimaksud memiliki nama ilmiah centropus sinensis dan centropus bengalensis.
Burung bubut dewasa memiliki ukuran sekitar 46-56 sentimeter. Centropus bengalensis dikenal dengan nama bubut alang-alang, sedangkan centropos sinensis dikenal pula dengan nama bubut besar. Perubahan habitat asli di Gunung Bubut karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan permukiman membuat populasinya menjadi jauh berkurang.
Versi kedua toponimi Gunung Bubut datang dari cerita warga Kampung Ciseupan yang berada di selatan kaki gunung. Kata “bubut” diyakini berasal dari bahasa Sunda yaitu “burubut” atau “murubut” yang dalam bentuk kata kerjanya, “ngaburubut”, berarti benda-benda berjatuhan dalam jumlah yang banyak. Peristiwa murubut ini terjadi di masa lampau dan sekarang, ketika terjadi longsor yang membawa jatuh material berupa pohon, tanah, dan batuan yang menimpa lereng dan kaki gunungnya.
Memang kawasan di lereng dan kaki Gunung Bubut rawan mengalami pergerakan tanah dan erosi yang mengakibatkan longsor. Pada Bulan November 2018, misalnya, terjadi bencana longsor ke arah Desa Bandasari yang memaksa 64 jiwa dari 16 kepala keluarga (KK) mengungsi.
Sebagai informasi tambahan, saat ini warga setempat menyebut Gunung Bubut sebagai Gunung Pilar, dan puncaknya disebut dengan nama Puncak Pilar.
Tidak jauh dari puncak Gunung Bubut, terdapat sebuah puncakan lagi yang disebut dengan nama Pasir Bedil. Menurut Pak Unang, warga setempat yang rumahnya tidak jauh dari Puncak Pilar, ada cerita dari sesepuh yang menyebut bahwa Gunung Bubut yang sebenarnya justru adalah Pasir Bedil walaupun puncaknya lebih rendah dari Gunung Bubut yang sekarang.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #53: Gunung Nini Ciparay dengan Pemandangan 360 Derajat nan Memikat dari Puncaknya
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #52: Mendaki Gunung Batu Ciwidey, Menyusuri Dua Perkebunan Teh Bersejarah
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #51: Gunung Padakasih Cimahi, Puncak Tertinggi Pegunungan Pematang Tengah
Mendaki Gunung Bubut dan Pasir Bedil
Gunung Bubut bukanlah gunung dengan ketinggian menjulang. Bukan pula gunung dengan hutan tropis yang lebat. Gunung ini mengalami banyak peralihan fungsi. Hampir setiap bagian tanahnya sudah bersalin rupa menjadi lahan perkebunan maupun pemukiman.
Lantas apa yang menjadi daya tarik dari Gunung Bubut? Dari puncaknya, kita bisa menikmati bentang alam berupa penampakan kaldera gunungapi purba yang sangat menawan, membentang seperti benteng alami di bagian selatan dengan Gunung Tanjaknangsi sebagai titik tertingginya.
Demikian pula jika kita mengamati lapisan tanah yang dilewati. Kita akan menemui lapisan-lapisan material produk dari letusan gunungapi di masa yang lalu, seperti batuan tuff yang mulai melapuk, batuan plutonisme yang muncul ke permukaan, dan batuan bekas endapan lava.
Pendakian menuju puncak Gunung Bubut bisa dimulai dari beberapa titik awal. Yang paling dekat adalah dari Kampung Ciberecek yang berada di sebelah timur serta dari Kampung Gunung Bubut yang ada di sisi selatan. Kendaraan dapat kita titipkan kepada warga setempat untuk diparkirkan di halaman rumah atau di halaman masjid. Sebelum mendaki, jangan lupa melapor atau meminta izin terlebih dahulu.
Waktu perjalanan menuju puncak tidak terlalu lama, yakni sekitar satu jam saja. Itu pun berupa perjalanan santai sembari beberapa kali berhenti untuk beristirahat atau mengambil foto. Tidak ditemui tugu atau patok penanda puncaknya, tapi per Maret 2024, di area puncak terdapat sebuah saung atau bangunan dari bambu berukuran sekitar 3x3 meter.
Sebelum mencapai lokasi saung tersebut, terdapat pagar besar terbuat dari besi berwarna hijau yang harus dilewati. Menurut informasi dari Kang Wiwit yang tinggal di Kampung Gunung Bubut, memang ada rencana untuk membuka tempat wisata alami dan camping ground di sekitar puncak.
Dari puncak Gunung Bubut, alangkah baiknya perjalanan dilanjutkan ke puncak Pasir Bedil yang memiliki ketinggian 1.266 Mdpl. Jaraknya sekitar 500 meter ke arah utara. Butuh waktu 10-15 menit untuk sampai ke Pasir Bedil dengan jalan setapak yang dilewati berupa alang-alang dan perkebunan sayuran.
Di Pasir Bedil, terdapat beberapa bongkah batu dengan diameter 50-90 sentimeter yang berserakan sedemikian rupa. Sekitar 10 meter dari sana, ada sebuah batu besar yang sekilas terlihat berbentuk bulat memanjang. Batu berukuran panjang sekitar dua setengah meter dan diameter sekitar satu meter inilah yang dinamakan dengan Batu Bedil karena bentuknnya yang menyerupai bedil atau pistol. Ada pun bongkah-bongkah batu yang dilewati sebelumnya dianggap sebagai pelurunya, atau Batu Pelor. Sebagian warga setempat bercerita bahwa dinamakan Batu Bedil karena di bawahnya terdapat bedil atau pistol yang dikuburkan.
Jika diperhatikan, Batu Bedil dan Batu Pelor tersebut bisa menjadi bukti tambahan yang memperkuat pendapat bahwa pernah terdapat gunungapi yang kemudian meletus di kawasan tersebut. Menurut Verbeek (1896), di Gunung Bubut dan Tanjaknangsi yang memanjang dengan titik tertinggi 1.300 hingga 1.500 Mdpl, ditemukan tanah liat berwarna merah dengan balok andesit. Bukan tidak mungkin dibentuk oleh letusan zaman Tersier yang berbatasan dengan jaman Kuarter dari Gunungapi Patuha, meskipun hal tersebut tidak bisa dipastikan.
Dari Tugu Kalpataru ke Tradisi Ruwatan
Kurang lebih 800 meter ke arah barat dari puncak Gunung Bubut, tepatnya di Kampung Manggu dekat pertigaan Jalan Kampung Ciberecek dan Jalan Mekarwangi, terdapat sebuah tugu yang menarik pandangan mata. Tugu tersebut berupa patung replika Piala Kalpataru berukuran besar berwarna emas yang dipasang di atas tembokan berwarna coklat kombinasi hitam dengan prasasti berwarna keemasan. Pada prasasti tersebut terdapat tulisan penghargaan KALPATARU yang diberikan olah Presiden Republik Indonesia bagi Perintis Lingkungan Oday Kodariyah.
Oday menerima penghargaan ini pada tahun 2018. Dia mampu berjuang melawan penyakit yang dideritanya dengan mengandalkan tanaman obat tradisional. Setelah sembuh, dia membuat Kebun Tanaman Obat (KTO) yang terus berkembang dan terus membesar dampaknya. Sekarang Kebun Tanaman Obat-nya telah memiliki sekitar 900 jenis tanaman obat dengan luas kebun mencapai 21,35 hektare.
Yang tidak kalah menarik juga adalah kegiatan adat berupa Ruwatan Cai Hulu Wotan di salah satu kaku Gunung Bubut yang dikenal dengan nama Pangaminan. Di lokasi tersebut, dulunya terdapat mata air yang cukup besar. Ketika kegiatan adat ruwatan ini berlangsung, digelar pertunjukan kesenian tradisional dengan alat musik kecapi, sementara warga menikmati makan bersama. Dalam salah satu tayangan akun Youtube Bumi Creative Indonesia, kita dapat menyaksikan suasana prosesi kegiatan adat tersebut.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)