Menyulam Demokrasi Akar Rumput
Festival Bandung Menggugat menjadi aksi kolaborasi warga bersama aktivis, komunitas, mahasiswa, dan seniman untuk membangun demokrasi sendiri.
Penulis Tim Redaksi22 April 2025
BandungBergerak.id - Di balik semarak mural dinding-dinding lorong Dago Elos, Festival Bandung Menggugat mekar sebagai ruang bersama yang dirajut dari keresahan atas langit mendung demokrasi. Lebih dari sekadar perayaan, festival ini adalah pernyataan politik: bahwa perlawanan bisa tumbuh dari bawah, dari suara-suara kecil yang tak terwakili, dari tubuh-tubuh yang berjejal di lorong-lorong kampung yang melawan penggusuran.
Festival ini adalah kulminasi dari rangkaian enam bulan Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara, di mana mahasiswa, warga, komunitas seni, dan organisasi advokasi bertemu, berdiskusi, dan menulis. Kampus, warung kopi, hingga balai RW telah menjadi titik temu gagasan. Semua berujung di sini: di ruang publik yang masih bisa dihidupi, di tanah yang belum sepenuhnya dirampas, di akar rumput.
Salah satu sorotan utama festival adalah pameran foto "Melawan sebagai Keseharian”, dikurasi Arif Hidayah dan Iqbal Kusumadirezza, menampilkan karya dua jurnalis visual, Prima Mulia dan Virliya Putricantika. Foto-foto ini bukan sekadar arsip tapi fragmen sejarah rakyat. Wajah-wajah anak yang berlari dari gas air mata, tubuh-tubuh yang mengadang alat berat, ibu-ibu yang membawa bendera dalam pelukan, semua menjadi bukti bahwa perlawanan tidak selalu lahir di depan gedung parlemen. Ia bisa tumbuh di depan rumah sendiri, di tanah kampung halaman yang harus dipertahankan.
Festival ini juga menjadi ruang berbagi refleksi dari para penulis. Cindy Veronica Rohanauli, mahasiswi dan anggota UKM LPPMD Universitas Padjadjaran, mengurai dilema mahasiswa hari ini. Bagi Cindy, universitas bukan lagi tempat lahirnya pemikir bebas, melainkan pabrik tenaga kerja yang tunduk pada logika pasar. Kondisi ini akan sulit melahirkan mahasiswa yang mampu berpikir kritis dan bersolidaritas.

Penulis esai di Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara itu menyoroti kecenderungan aktivisme mahasiswa yang cenderung menyentuh isu-isu nasional yang populer. Ini menciptakan jarak antara kampus dan rakyat. Di sisi lain ada isu-isu lokal di sekitar lingkungan mereka yang juga memerlukan perhatian. Mahasiswa juga menghadapi realitas kemiskinan masyarakat sekitar yang memerlukan dukungan.
Bivitri Susanti, dosen dan peneliti hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, melengkapi analisis itu. Ia menggarisbawahi beban administratif dosen yang kian besar, menjadikan ruang akademik lebih mirip birokrasi daripada laboratorium pemikiran. Dosen yang ingin kritis sering kali dihadapkan pada risiko stagnasi karier. Pendidikan tinggi, kata Bivitri, kini lebih mengabdi pada pasar daripada demokrasi.
Di sisi lain, Zen RS, penulis dan jurnalis, melihat keberanian sebagai keterampilan yang dilatih, bukan bawaan. Dalam pandangannya, gerakan mahasiswa yang kuat tak mungkin lahir dari kampus yang tunduk pada struktur ekonomi-politik yang korup. Tanpa perubahan sistemik, sikap kritis hanya menjadi pengecualian, bukan budaya.

Melalui diskusi dan orasi, Festival Bandung Menggugat mengangkat pula ancaman militerisme yang kini menguat kembali melalui UU TNI. Asfinawati, pegiat HAM dan dosen dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, menyoroti pasal-pasal yang membuka jalan bagi militer masuk ke ranah sipil. Ini, baginya, adalah kemunduran besar menuju era dwifungsi militer.
Dari sisi lapangan, KontraS mencatat puluhan kasus kekerasan militer terhadap warga sipil dalam setahun terakhir, termasuk korban tewas. Dimas dan Virdinda La Ode Achmad dari KontraS menegaskan bahwa eskalasi kekerasan ini tidak lepas dari pembiaran negara yang justru memperbesar anggaran pertahanan dibanding sektor sipil. Demokrasi semakin menyempit, ruang kritik direpresi, dan supremasi sipil kian rapuh.
Baca Juga: Perempuan di Balik Layar, Merawat Festival Bandung Menggugat
FESTIVAL BANDUNG MENGGUGAT: Napas Perlawanan dari Pinggiran Utara Kota
Festival Bandung Menggugat: Mahasiswa dan Dosen Sulit Kritis karena Terkungkung Komersialisasi

Heri Pramono dari LBH Bandung menunjukkan bagaimana pembangunan infrastruktur digunakan sebagai dalih penggusuran dan kekerasan terhadap warga. Dalam situasi ini diam jelas bukan solusi. Perlawanan hari ini selain dengan cara turun ke jalan, juga bisa mulai dilakukan di semua ruang: media sosial, dapur umum, diskusi RT, bahkan ruang seni.
Solidaritas menjadi kunci dari semua itu. Ayang, warga Dago Elos, melihat festival ini sebagai pemantik semangat kolektif. Perlawanan Dago menyulut nyala solidaritas untuk warga di tengah konflik seperti di Sukahaji.

Festival ini juga menunjukkan keberagaman medianya. Musik dan seni menjadi alat komunikasi yang efektif. Dari orasi budaya Herry “Ucok” Sutresna hingga pentas teater dan musik jalanan, setiap panggung menjadi ruang artikulasi keresahan. Alectroguy alias Cipoy dari band Sukatani menyanyikan lagu tentang solidaritas palsu, kritik terhadap wajah aktivisme yang terlalu elitis dan menjual empati.
Ucok, musisi dan pendiri Grimloc Records, dalam refleksinya menolak konsep mahasiswa sebagai koboi penyelamat seperti dianjurkan Soe Hok Gie. Baginya, analogi itu usang. Perlawanan hari ini bukan tentang datang-membasmi-pergi, tapi tinggal, hidup, dan membangun dari dalam komunitas. Aktivisme bukan lagi milik segelintir elite moral, tapi kerja harian warga: memasak untuk sesama, menciptakan sistem informasi sendiri, mengatur ruang hidup tanpa perlu bantuan negara.

Kalis Mardiasih, penulis dan aktivis dari Yogyakarta, menegaskan bahwa setiap ketidakadilan selalu berdampak lebih dalam bagi perempuan dan anak. Ia mengingatkan bahwa kekerasan negara tidak pernah netral gender. Dari Merauke hingga Morowali, perempuan memikul beban paling berat dari perampasan ruang hidup. Namun mereka juga yang paling gigih dalam melawan, meski sering dikorbankan dan diperalat oleh politik populis dan patriarki.

Festival ini pun menjadi tempat bersemainya gagasan demokrasi yang tak lagi bergantung pada negara dan partai. Politik yang ditawarkan bukan politik elektoral, tapi politik sebagai kerja kolektif menjaga hidup bersama. Dari koperasi pangan, perpustakaan jalanan, komunitas seni mandiri, hingga musyawarah warga digital, semua adalah bentuk demokrasi langsung yang tumbuh dari bawah, dari kedekatan, bukan kekuasaan.

Ucok dan Kalis, bersama ratusan warga lainnya, menegaskan bahwa kita tidak perlu menunggu lima tahun dan bilik suara untuk mengambil keputusan tentang hidup kita. Demokrasi bisa dimulai di ruang tamu, dapur umum, atau galeri kampung. Asalkan ada niat untuk mendengar, menyusun keputusan bersama, dan menolak lupa bahwa keadilan lahir dari mereka yang menjalaninya.

Festival Bandung Menggugat menjadi lanskap kolektif dari perlawanan yang bersahaja namun mendalam. Ia bukan letupan heroik, tapi aliran terus-menerus dari kerja-kerja jangka panjang yang membangun fondasi yang menolak ketidakadilan penguasa. Ini bukan tentang menunggu penyelamat, tapi tentang menciptakan ruang hidup bersama, hari demi hari.
*Narasi berita visual ini disarikan dari liputan reporter-reporter BandungBergerak,id, kawan-kawan bisa mengunjungi artikel-artikel lain tentang Festival Bandung Menggugat dalam tautan ini