• Berita
  • SABTU SORE #19: Warga Sukahaji Melawan, Bersolidaritas Menolak Penggusuran

SABTU SORE #19: Warga Sukahaji Melawan, Bersolidaritas Menolak Penggusuran

Diskusi bertajuk “Sukahaji Menolak Padam: Membaca Akar Konflik, Merawat Perlawanan”, menunjukkan alasan mengapa warga memilih bertahan di ruang hidupnya.

Perang pernyataan di deretan pagar seng di kampung Sukahaji. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Fitri Amanda 24 April 2025


BandungBergerak.idKonflik yang melilit warga Kampung Sukahaji bukan semata perebutan lahan, melainkan perjuangan mempertahankan ruang hidup. Ini adalah pertarungan mempertahankan tempat yang telah mereka rawat dan huni selama puluhan tahun, dari tekanan yang datang dalam berbagai bentuk: klaim sepihak, intimidasi, hingga kekerasan terbuka. Wajah paling ekstrem dari konflik ini muncul dalam insiden kebakaran rumah-rumah warga yang sampai saat ini penyebabnya masih misteri.

Isu ini menjadi pokok pembahasan dalam diskusi bertajuk “Sukahaji Menolak Padam: Membaca Akar Konflik, Merawat Perlawanan” yang digelar pada Sabtu, 20 April 2024. Diskusi menghadirkan berbagai narasumber mulai dari warga terdampak, mahasiswa pendamping, hingga peneliti agraria. Forum ini menjadi ruang untuk membaca kasus Sukahaji secara lebih dalam—tidak hanya sebagai konflik legalitas, tetapi sebagai perwujudan ketimpangan struktural yang menyasar ruang hidup masyarakat.

Dalam perspektif agraria, tanah bukanlah sekadar aset yang bisa diperdagangkan atau dikuasai melalui dokumen hukum, melainkan ruang kehidupan yang menyatu dengan warga. Ratu Tammi dari Agraria Research Center (ARC) Bandung menegaskan bahwa agraria mencakup relasi antara manusia dan sumber daya—bukan hanya tanah, tapi juga air, udara, dan ruang tempat manusia hidup bersama.

Konflik agraria, kata Tammi, memiliki lapisan yang saling terkait. Permukaan yang terlihat bisa berupa intimidasi, kekerasan, dan penggusuran. Di bawahnya terdapat sengketa klaim kepemilikan yang kerap membenturkan warga dengan pengklaim, dan lebih dalam lagi, terdapat kebijakan negara yang cenderung berpihak pada kepentingan modal.

“Konflik ini berakar pada orientasi ekonomi-politik negara yang memang sejak awal lebih mengutamakan kepentingan modal dibanding melindungi ruang hidup rakyatnya sendiri,” ujar Tammi, di acara yang berlangsung di Perpustakaan Bunga di Tembok.

Kampung Sukahaji mencerminkan semua lapisan tersebut. Di permukaan, warga menghadapi tekanan langsung dalam bentuk kekerasan dan intimidasi. Di tengah, mereka berhadapan dengan konflik legalitas terhadap klaim tanah. Dan di dasar, terlihat bagaimana kebijakan negara tak memihak warga, melainkan memperkuat posisi pemodal.

Zakky, perwakilan mahasiswa dari jaringan solidaritas, menambahkan bahwa pola-pola seperti ini bukan hal baru dalam konflik penggusuran. Menurutnya, konflik di Sukahaji menunjukkan adanya kepentingan besar yang melibatkan aparat negara sampai di tingkat kewilayahan.

Baca Juga: SABTU SORE #14: Melihat Kerusakan Lingkungan dari Kacamata Politik Hijau
SABTU SORE #13: Mendengar Kekhawatiran Warga Tampomas di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor Geothermal
SABTU SORE #15: Menunggu Wali Kota Bandung Punya Terobosan Mengatasi Kemacetan, Banjir, dan Sampah

Di tengah tekanan yang datang dari berbagai arah, warga Sukahaji tidak menyerah. Mereka bertahan, dengan kesadaran bahwa yang mereka pertahankan bukan hanya rumah, tapi juga nyawa, martabat, dan masa depan. Felix, seorang pemuda setempat, menjelaskan bahwa konflik ini sudah berlangsung sejak 2009. Klaim atas tanah mereka terus berulang, dan pada 2025, untuk keenam kalinya, pihak Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar kembali mengklaim lahan mereka.

Menurut Felix, peristiwa paling menyakitkan terjadi pada 2018 dan kembali terulang pada 2025, ketika kebakaran besar meluluhlantakkan rumah-rumah warga. “Di situlah saya dan pemuda lainnya menganggap ini bukan kebakaran, tapi dibakar. Kita secara tidak langsung mau dibunuh secara masa dengan cara dibakar gitu. Karena logisnya gak akan mungkin lah ada kebakaran di tengah malam dengan api yang langsung gede gitu,” ujarnya.

Namun dari peristiwa kelam itu, tumbuh kesadaran kolektif yang semakin menguat. Setelah insiden pembakaran, warga mulai memandang perjuangan mereka bukan sekadar mempertahankan tanah, tapi juga mempertahankan hak hidup yang layak.

Solidaritas tumbuh di berbagai lini. Kegiatan trauma healing rutin digelar setiap sore di posko Sukahaji, terutama untuk anak-anak yang mengalami ketakutan dan trauma. Forum-forum warga terbentuk secara organik, menjadi ruang untuk saling mendukung, berbagi informasi, dan merumuskan strategi bertahan. Sekat-sekat antartetangga mulai runtuh, digantikan rasa kebersamaan untuk menghadapi tekanan dari luar.

Peran mahasiswa dalam perjuangan ini juga krusial. Mereka hadir bukan sebagai penonton, tetapi sebagai bagian dari warga yang berjuang. “Kita datang bukan karena rasa kasihan. Kita datang itu justru karena kita merasa ada warga yang perlu didampingi dan dibantu,” ujar Zakky.

Kehadiran mereka tidak hanya membantu advokasi hukum, tetapi juga memperkuat kampanye narasi. Melalui media sosial dan kanal informasi alternatif, warga mulai membalikkan stigma yang selama ini dilekatkan pada mereka sebagai penghuni liar. Mereka merebut ruang narasi, membangun citra yang sebenarnya: warga yang sah dan berdaulat atas tanah yang mereka tempati.

Jaringan solidaritas ini juga membentuk forum warga yang memperluas perjuangan, tidak hanya dalam mempertahankan tanah secara fisik, tapi juga membangun kemandirian sosial dan ekonomi. Sukahaji tidak lagi hanya dipahami sebagai tempat tinggal, melainkan simbol perlawanan terhadap ketimpangan yang dilanggengkan negara dan pasar.

Dari kampung kecil di tengah kota, Sukahaji menjadi medan perjuangan yang mencerminkan konflik agraria di banyak tempat di Indonesia. Di tengah gempuran kekuasaan dan kepentingan modal, warga tidak menyerah. Mereka menunjukkan bahwa solidaritas, keberanian, dan kebersamaan adalah fondasi utama untuk mempertahankan ruang hidup bersama.

*Kawan-kawan yang baik bisa mengunjungi karya-karya lain dari Fitri Amandaatau tulisan lain tentang Sabtu Sore

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//