• Berita
  • Kartini dan Semangat Kesetaraan dalam Refleksi 70 Tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung

Kartini dan Semangat Kesetaraan dalam Refleksi 70 Tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung

Momen Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung diperingati dengan mendiskusikan buku Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja.

Kartini (kiri), Kardinah dan Roekmini. Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April 2021. (Sumber: KITLV 15467)

Penulis Salma Nur Fauziyah25 April 2025


BandungBergerak.idPeringatan Hari Kartini tahun ini bertepatan dengan momentum 70 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA). Di Museum KAA Bandung, Sahabat Museum KAA (SMKAA) bersama Asian-African Reading Club (AARC) menggelar diskusi reflektif dengan tajuk "Panggil Aku Kartini Saja dan Perempuan dalam Konferensi Asia Afrika 1955". Acara ini menjadi ruang membedah semangat kesetaraan yang diwariskan Kartini dan nilai-nilai Dasa Sila Bandung (Bandung Spirit) yang digaungkan KAA tahun 1955.

Acara berlangsung pada Senin, 21 April 2025, di salah satu ruang galeri Museum KAA yang tertutup untuk umum karena hari libur. Meski museum tampak sepi dari luar, di dalamnya penuh dengan antusiasme, terutama dari para peserta perempuan yang sebagian mengenakan kebaya dan batik. Tepat pukul 13.30, diskusi dibuka oleh Seny Soniati selaku moderator.

Sebelum masuk ke diskusi utama, peserta menyanyikan lagu “Indonesia Raya” tiga stanza, dipandu iringan gitar oleh Adew Habsta—musisi, penulis, dan Sekjen AARC. Setelah itu, Adew juga membawakan lagu ciptaannya berjudul “Egaliter”, yang mengangkat pesan kesetaraan dan semangat persaudaraan universal, selaras dengan nilai-nilai Kartini dan Bandung Spirit dari KAA 1955.

Sesi berikutnya menampilkan pembacaan pengantar buku "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya Ananta Toer oleh dua anggota AARC. Lagu “Ibu Kita Kartini” juga dinyanyikan dalam tiga stanza, kali ini diiringi petikan gitar dari Franky. Suasana menjadi reflektif sekaligus emosional, mengantar diskusi menuju pokok bahasan.

Diskusi Buku Panggil Aku Kartini Saja dan Perempuan dalam Konferensi Asia Afrika 1955, di Museum KAA, Bandung, 21 April 2025. (Foto: Alisya Darmayanti/BandungBergerak)
Diskusi Buku Panggil Aku Kartini Saja dan Perempuan dalam Konferensi Asia Afrika 1955, di Museum KAA, Bandung, 21 April 2025. (Foto: Alisya Darmayanti/BandungBergerak)

Kartini di Mata Pramoedya Ananta Toer

Diskusi diawali oleh Yostiani Noor Asmi Harini, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia (FPBS UPI), yang membedah buku "Panggil Aku Kartini Saja" dari sudut sastra. Ia menyoroti dua aspek utama dalam karya tersebut.

“Pertama untuk membahas tentang citra perempuan feminisme. Kemudian tanggapan dan juga bagaimana sosok Kartini ini itu direpresentasikan sebagai sosok perempuan yang memiliki moral sangat tinggi dan juga sangat kuat keinginannya juga dalam memperjuangkan pendidikan,” ujar Oci, sapaan akrabnya.

Ia mencatat bagaimana Pramoedya menyusun interpretasi yang sangat subjektif terhadap surat-surat Kartini, salah satunya dalam menonjolkan kedekatan Kartini dengan ayahnya dan nyaris tak menyebut ibunya. Lewat pendekatan ini, Oci menangkap adanya indikasi konflik keluarga, terutama berkaitan dengan sistem permaduan yang pada masa itu marak terjadi.

Menurutnya, pendekatan biografis Pramoedya yang tematis dan tidak kronologis justru menjadi bentuk gugatan terhadap narasi sejarah dominan yang cenderung linier. Hal ini terlihat jelas dari struktur isi bukunya yang lebih menekankan pada peristiwa ketimbang urutan waktu.

“Di sini juga selain itu kita bisa lihat adanya manifestasi politik ya, yang paling menonjol memang kritikan terhadap feodalisme Jawa,” katanya.

Gugatan itu hadir bahkan dalam judul buku: “Panggil Aku Kartini Saja”, tanpa embel-embel Raden Ajeng. Pramoedya menempatkan Kartini sebagai perempuan biasa, bukan bangsawan. Sebuah pernyataan yang memotret upaya meruntuhkan hierarki sosial yang diwariskan kolonialisme dan feodalisme.

Diskusinya ditutup dengan kalimat puitis yang menyimpulkan keseluruhan semangat refleksi tersebut. “Habis gelap terbitlah terang, Barakan semangat di hati, Kartini hadirkan pemikiran tenang, Pramoedya suguhkan karya sejati.”

Baca Juga: Menilik Peristiwa Sejarah Konferensi Asia Afrika 1955 Melalui Bandung Historical Study Games
Menuju 70 Tahun Konferensi Asia Afrika, Membumikan Spirit Bandung
BANDUNG HARI INI: Mengenang Konferensi Asia Afrika yang Mengusung Semangat Antipenjajahan

Diskusi film dokumenter mengenai KAA 1955 di Ruang Audiovisual Museum KAA, Bandung,  22 April 2025. (Foto: Alisya Darmayanti/ BandungBergerak.id)
Diskusi film dokumenter mengenai KAA 1955 di Ruang Audiovisual Museum KAA, Bandung, 22 April 2025. (Foto: Alisya Darmayanti/ BandungBergerak.id)

Sejak Perempuan dalam KAA 1955

Diskusi dilanjutkan Elisabeth Dewi, dosen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, yang memaparkan hasil risetnya bersama Dyah Ayunda terkait peran perempuan dalam KAA 1955. Riset ini sebelumnya telah dipublikasikan di Majalah Parahyangan.

Novi, sapaan akrab Elisabeth, menyatakan bahwa dokumen resmi mengenai keterlibatan perempuan dalam KAA cukup minim. Namun, dari berbagai sumber arsip yang berhasil dikumpulkan, terlihat bahwa perempuan memainkan peran penting dalam bidang sosial dan budaya sepanjang konferensi berlangsung.

“Perempuan ternyata banyak sekali terlibat di aktivitas sosial dan budaya. Sepertinya ini salah satu yang biasa juga ya ditempelkan kepada perempuan untuk kegiatan-kegiatan sosial budaya,” ujar Novi.

Dari komite lokal hingga pelaksana pertunjukan budaya seperti angklung, perempuan berada di garda depan. Mereka juga menjalankan tugas sebagai pengelola "ladies program" dan pendamping tamu negara. Salah satu contohnya adalah Ceu Popong, yang kala itu masih remaja namun sudah menjadi pendamping tamu negara berkat kemahirannya berbahasa Inggris.

Dari temuan tersebut, Novi menyimpulkan bahwa perempuan adalah aktor utama dalam diplomasi "soft power", meskipun peran mereka dalam negosiasi dan pengambilan keputusan hampir tidak ada.

“Keterlibatan perempuan dalam proses negosiasi dan pengambilan keputusan itu hampir sangat terbatas dan hampir tertinggal. Tidak ada. It's all men,” tegasnya.

Selain di bidang sosial budaya, perempuan juga hadir dalam liputan media. Banyak jurnalis perempuan meliput perhelatan internasional ini, mempertegas peran mereka dalam lalu lintas informasi dan dokumentasi sejarah. Novi menekankan bahwa meski tidak tampil sebagai aktor utama dalam diplomasi formal, perempuan memegang peran sentral dalam keberhasilan keseluruhan KAA 1955.

Tiga tahun setelahnya, muncul Konferensi Perempuan Asia-Afrika pada 1958. Di sinilah perempuan kulit berwarna mulai merumuskan identitas feminis anti-imperialis yang mendobrak dominasi narasi barat. Konferensi ini mempertegas bahwa perempuan di Asia dan Afrika memiliki hak politik dan domestik yang sama pentingnya dengan perempuan kulit putih.

“Perempuan di Asia dan di Afrika itu punya hak publik dan juga domestik yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan perempuan kulit putih. Dan yang ketiganya bagaimana gerakan Afro Asian Women Conference ini juga membentuk identitas feminis yang anti-imperialis sesuai dengan yang Bandung Spirit. Yaitu mendukung gerakan kemerdekaan,” jelas Novi. Ia juga menambahkan bahwa Gerwani turut terlibat dalam konferensi ini.

Rangkaian peringatan KAA di Museum KAA tidak berhenti pada diskusi. Keesokan harinya, 22 April 2025, SMKAA menggelar pemutaran dan diskusi film dokumenter bersama mitra museum, LayarKita. Film berdurasi 15 menit tersebut menampilkan momen-momen penting KAA 1955, dari kedatangan para delegasi di bandara hingga pidato para pemimpin negara.

Setelah pemutaran, diskusi dipandu oleh Senore Arthomy Amadeus, Koordinator Eksekutif SMKAA, dan Tobing dari LayarKita. Diskusi ini menegaskan kembali pentingnya dokumentasi visual dalam menjaga ingatan kolektif atas peristiwa historis sekaligus menyambung semangat reflektif dari Kartini hingga Bandung Spirit.

*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Konferensi Asia Afrika

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//