• Berita
  • BANDUNG HARI INI: Mengenang Konferensi Asia Afrika yang Mengusung Semangat Antipenjajahan

BANDUNG HARI INI: Mengenang Konferensi Asia Afrika yang Mengusung Semangat Antipenjajahan

Relevansi Konferensi Asia Afrika menemukan momentumnya ketika Timur Tengah terus bergolak akibat kolonialisme berkepangangan Israel terhadap Palestina.

Peserta unjuk rasa mengutuk serangan Israel ke Palestina di depan Gedung Konferensi Asia Afrika Bandung, 12 Mei 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Salma Nur Fauziyah18 April 2024


BandungBergerak.idHari ini, 69 tahun yang lalu, para delegasi Konferensi Asia Afrika (KAA) berjalan beriringan menuju Gedung Merdeka, Bandung. Bersama-sama mereka melangkah demi satu tujuan mulia: mewujudkan perdamaian dan menolak penjajahan. 

Pada sidang umum PBB ke-78 yang diselenggarakan dari tanggal 19-26 September 2023 lalu, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi memulai pidatonya dengan menyebut soal Bandung Spirit atau Semangat Bandung.

Keadaan dunia menurut Retno berada di persimpangan strategis, maka sepatutnya solidaritas global dan tanggung jawab kolektif menjadi jawaban atas defisit kepercayaan, ketidaksetaraan, dan kurangnya solidaritas global yang mulai muncul ke permukaan. Dalam pidato berdurasi 12 menit itu, Retno sempat menyinggung secara singkat beberapa permasalahan global yang menjadi sorotan Indonesia seperti konflik di Palestina, Afghanistan, hingga Myanmar.

Seakan-akan mengingatkan masyarakat global, poin-poin yang dikemukakan dalam sidang tersebut diambil dari nilai inti yang terkandung dari hasil Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 silam. Hal ini pertanda, meski sudah 69 tahun berlalu, nilai-nilai KAA yang terangkum dalam Bandung Principles atau Dasasila Bandung masih sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini. Semangat Bandung pun pada akhirnya kembali digaungkan dalam kancah internasional.

Membicarakan Konferensi Asia-Afrika ternyata bukan hanya mengenai penyelenggaraanya yang sukses di Bandung. Bukan pula soal bagaimana Indonesia menjadi sorotan dalam kancah perpolitikan internasional. Lebih dari itu, Konferensi Asia Afrika merupakan sebuah perwujudan cita-cita negara-negara Asia dan Afrika dalam menghalau segala bentuk kolonialisme dan imperialisme, serta membantu mewujudkan perdamaian dunia.

Relevansi Konferensi Asia Afrika menemukan momentumnya ketika Timur Tengah terus bergolak, yang diawali dengan kolonialisme berkepangangan Israel terhadap Palestina. Terbaru, perang semakin di depan mata di saat Iran masuk dalam pusaran konflik demi membela Palestina.

Aksi unjuk rasa mendukung kemerdekaan Palestina di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, 18 Mei 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Aksi unjuk rasa mendukung kemerdekaan Palestina di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, 18 Mei 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Perjalanan Negara Asia Afrika Mewujudkan Solidaritas Bersama

Dalam buku Konferensi Asia-Afrika: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme, Wildan Sena menarik kembal titik mula dari gagasan-gagasan ini berasal. Gagasan mengenai solidaritas dengan para negara bekas jajahan sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum Konferensi Asia Afrika digelar.

Tepatnya pada awal abad 20-an, saat para gerakan internasionalisme dan gerakan antiimperialisme melancarkan kritik terhadap praktik westernisme. Hal ini menjadikannya embrio semangat perjuangan untuk melawan dan terlepas dari pengaruh negara-negara barat (dekolonisasi).

Salah satu puncaknya adalah Kongres Melawan Penindasan Kolonial dan Imperialisme yang diadakan di Brussel tahun 1927. Di sana berkumpulah tokoh-tokoh dari negara-negara Asia dan Afrika membicarakan mengenai imperialisme dan penindasan kolonial. Tiap-tiap delegasi yang hadir dipersilakan menyampaikan pandangannya mengenai soal imperialisme beserta dampaknya.

Berakhirnya Perang Dunia II menandai era baru bagi para negara jajahan yang ada di dunia. Banyak dari negara Asia dan beberapa dari Afrika mulai mendapatkan kemerdekaannya. Namun, saat itu pula perang ideologis antarnegara adidaya (Amerika dan Uni Soviet) mulai menyeret negara-negara di Dunia Ketiga (Asia dan Afrika).

Melihat kondisi internasional yang mulai memanas di kawasan Asia, Sir John Kotelawala berinisiatif untuk membuat sebuah pertemuan informal dan mengundang lima negara Asia yang baru merdeka untuk datang dan membahas persoalan ini. Di sinilah gagasan mengenai KAA mulai dikemukakan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Meski semula gagasan KAA ini sempat diragukan, tetapi dengan kegigihan dan tekad yang kuat dari Ali, gagasan ini kemudian dimasukkan ke dalam Komunike Konferensi Kolombo di bagian akhir.

Pembahasan lebih lanjut kemudian dibicarakan dalam Konferensi Bogor pada 28-29 Desember 1954. Saat itu kelima negara yang menghadiri Konferensi Kolombo membahas mengenai enam poin penting seperti tujuan KAA, sponsor KAA, rentang waktu pelaksanaannya, tingkat delegasi yang dimintai hadir, agenda konferensi, dan negara mana saja yang akan diundang. Perdebatan sengit tidak terelakkan, apalagi saat gagasan mengundang RRC untuk datang.

Meski demikian, KAA tetap pada hakikatnya sebagai tempat untuk menyuarakan pandangan dari negara yang memiliki perbedaan kebudayaan, pandangan ideologi, politik. Penyampaian pandangan tidak serta merta harus disepakati oleh semua negara yang hadir, tetapi proses memahami pandangan orang lain menjadi poin utama.

Maka setelah pergerakan solidaritas yang banyak menemui hambatan dan perdebatan panjang, Konferensi Asia-Afrika berhasil dilaksanakan dari tanggal 18-24 April 1955 dengan menghasilkan 10 poin penting yang dirangkum dalam Dasasila Bandung, yaitu:

  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam piagam PBB.
  2. Menghormati kedaulatan dan integritet teritorial semua bangsa-bangsa.
  3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa-bangsa besar maupun kecil.
  4. Tidak melakukan Intervensi atau campur tangan dalam soal negeri negara lain.
  5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesyai dengan piagam PBB.
  6. a) Tidak mempergunakan oeraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar; b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritet teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.
  8. Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, eperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim atau pun lain-lain cara damai lagi menurut pilihhan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesyai dengan piagam PBB.
  9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
  10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional. 

Baca Juga: BANDUNG HARI INI: Spirit Konferensi Asia Afrika dalam Perangko dan Radio
BANDUNG HARI INI: Palagan Perang Kota Kembang
BANDUNG HARI INI: Mang Ohle Coretan Didin D Basoeni Menjadi Perangko Seri Kartun Indonesia

Diorama suasana pertemuan kepala negara dalam Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan April 1955 menjadi latar diskusi Museum Konfererensi Asia Afrika (MKAA) Menyapa, Bandung, Jumat (24/2/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Diorama suasana pertemuan kepala negara dalam Konferensi Asia Afrika yang diselenggarakan April 1955 menjadi latar diskusi Museum Konfererensi Asia Afrika (MKAA) Menyapa, Bandung, Jumat (24/2/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Warisan KAA Bagi Perdamaian Dunia Saat Ini

Pengaruh yang diberikan Konferensi Asia Afrika pada politik internasional sangat besar. Para negara Asia Afrika seakan-akan menunjukkan taringnya kepada negara-negara adidaya bahwa mereka dapat berdiri sendiri tanpa campur tangan pengaruh barat.

Warisan yang dihasilkan ini berhasil menjadi pemicu munculnya Gerakan Non-Blok. Selain itu perubahan struktur anggota PBB terjadi setelah konferensi ini selesai. Banyak negara Asia dan Afrika dapat merepresentasikan suaranya di kancah politik internasional tanpa diwakilkan oleh negara-negara barat.

Kembali pada pidato Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam Sidang Umum PBB ke-78, yang menyatakan hal-hal yang terkandung dalam Dasasila Bandung dapat menjadi pedoman bagi negara di dunia untuk bersama-sama menjaga perdamaian dunia dan solusi dari konflik yang terjadi di dunia saat ini.

Retno menekankan bahwa kepemimpinan global seharusnya tidak menggunakan kekuatan dan mendikte negara lain dalam menghadapi tantangan global. Sebaliknya, lewat Dasasila Bandung, kepemimpinan global harus mampu mendengarkan, menjembatani, menghargai secara konsisten hukum internasional, dan menganggap setara semua negara.

Retno mendeklarasikan bahwa Indonesia siap untuk mewujudkan persatuan global dan tanggung jawab kolektif dengan membawa Semangat Bandung kembali ke kancah internasional.

*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Bandung Hari Ini

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//