• Narasi
  • Nuansa Spiritualitas Bahasa dan Memori Ilahiah

Nuansa Spiritualitas Bahasa dan Memori Ilahiah

Memori Ilahiah merupakan kemampuan daya sadar kita akan eksistensi Tuhan dalam setiap momentum yang terjadi di alam raya.

Jundighifari

Mahasiswa Jurusan Antropologi Budaya ISBI Bandung

Santri tunarungu membaca Al Quran memakai bahasa isyarat di Rumah Quran Isyaroh di Bandung, 6 Maret 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

27 April 2025


BandungBergerak.id – Dari obrolan di teras rumah suatu malam, berasama mang Dian –paman saya, pak Asep Saeful Azhar alias Asbek dan juga mas Joko– keduanya sahabat ngopi kami di halaman rumah, saya membungkus pulang sebuah pertanyaan. "Apa kaitan antara kemampuan berbahasa yang dimiliki manusia dengan tingkat kesadaran Ilahi?"

Ya, di antara berbagai topik yang perbincangan  malam itu, perhatian saya tertuju kepada pembahasan tentang bahasa. Ini dipicu oleh pertanyaan mas Joko: "Siapa ya, yang pertama membuat bahasa?" Paman saya kemudian coba menjawabnya dengan mengutip ayat Al-Quran: "Dan Dia (Allah) ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya" (Q.S Al-Baqarah: 31). 

Jadi menurut kepercayaan Islam, kemampuan berbahasa itu Allah sendiri yang mengajarkannya. Kemampuan berbahasa adalah salah satu ciri yang membedakan manusia dengan spesies hewan lainnya. Kalaulah waktu itu tidak ada peristiwa pengajaran (ta'lim) kepada Nabi Adam, mungkin sekarang tidak ada bedanya manusia dengan kodok, monyet, atau kerbau. 

Lebih lanjut, perlu dipahami secara mendasar bahwasanya bahasa tidak hanya sebatas alat untuk komunikasi belaka, bahasa memiliki aspek-aspek yang sangat luas dalam kehidupan sosial dan budaya. Menurut seorang filsuf kenamaan Prancis Henri Bergson, tujuan bahasa diciptakan adalah untuk beradaptasi dengan lingkungan.

Baca Juga: Kerangka Bahasa dan Worldview: Sebab-sebab Terjadinya Konflik dan Perdamaian
Bahasa Hukum dan Titik Balik Sebuah Keadilan
Malam Membaca di IFI Bandung, Ajakan Berliterasi dalam 3 Bahasa

Memori Ilahiah

Apa maksudnya Memori Ilahiah? Ia merupakan kemampuan daya sadar kita akan eksistensi Tuhan, baik Keberadaannya sebagai Dzat yang Wujud, ataupun eksistensi dalam setiap momentum yang terjadi di alam raya. Eling kalau dalam bahasa Sunda, atau mudahnya yang sering kita sebut dzikr (mengingat Allah). Supaya lebih keren saya akan menggunakan istilah memori ilahiah, merujuk pada segala bentuk ingatan tentang Tuhan.

Di dalam tradisi sufisme, seorang salik (pejalan spiritual) untuk mencapai tingkat kedekatan dengan Tuhan, maka dia harus berusaha mengakses kesadarannya agar selalu mengingat Tuhan di setiap saat. Hal ini dilakukan dengan berbagai latihan atau tirakat yang bermacam-macam. Salah satunya lewat cara bertafakur. Orang-orang tasawuf berkeyakinan bahwa: apa pun yang mereka saksikan, yang mereka  alami itu semua adalah atas kehendak Allah. Angin yang berhembus membuat sejuk, awan-awan yang menaungi membuat teduh, helai daun yang jatuh, sampai tetangga yang selalu menguji kesabaran, semuanya adalah perbuatan (kehendak) Allah. Karena Ia Maha  Kuasa, Maha Mencipta setiap saat, setiap waktu. Ada satu anekdot yang cukup populer di kalangan para praktisi spiritual yang kira-kira selaras dengan hal ini.

Satu waktu seorang  alim sedang berjongkok di sawah. Di tengah sedang asyik kencing ada yang menimpuknya dari belakang sampai-sampai dahinya terluka karena tersungkur ke sawah. Si pemilik sawah mengira bahwa yang dipukulnya adalah maling. Tapi setelah dia tahu bahwa yang ia pukul ternyata seorang alim, dia segera meminta maaf lalu membawanya ke dokter. Setelah diobati lukanya, kemudian perawat pun memberinya susu. Sampai sini sang alim pun mulai buka suara: "Wahai Tuhan, engkau ini aneh. Tadi di sawah Kau pukul aku, sekarang di sini Kau malah memberiku segelas susu". Si petani pun keheranan hingga ia meminta maaf lagi. " Loh, tidak apa-apa, tak perlu meminta maaf, lagi pula pukulan yang kamu maksudkan itu kan untuk maling bukan untuk diriku."

Dalam khazanah keislaman, fenomena di atas bisa dikategorikan sebagai kejadian kasyaf, satu keadaan terbukanya hijab kebendaan yang menutupi pandangan terhadap eksistensi Tuhan, sehingga dalam kesadaran penuhnya yang ia pandang hanyalah Kuasa Tuhan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apa kaitannya dengan kemampuan berbahasa yang dimiliki manusia?  

Nuansa Spiritual, Sebuah Refleksi

Kita ini sebagai manusia, terkadang merasa menjadi makhluk paling mulia di antara makhluk-makhluk lainnya. Mungkin karena bangga menyandang khalifatullah fil ardh, padahal belum pasti. Merasa paling unggul karena memiliki kemampuan yang tidak dimiliki makhluk lain, merasa paling dekat dengan Tuhan, merasa paling disayang, padahal belum tentu.

Siapa tahu dalam urusan mengingat Allah, tumbuhan dan hewan mungkin memiliki memori Ilahiah yang lebih kuat daripada kita. Mereka mungkin lebih bisa menyadari bahwa apa yang mereka saksikan di alam ini adalah perbuatannya Tuhan. Sehingga insting mereka terhadap hal-hal yang tak kasat mata (gaib) pun bisa lebih tajam daripada kita. Misalnya  dalam keterangan agama disebutkan bahwa ayam mampu melihat malaikat yang turun ke bumi, sehingga membuatnya berkokok seolah-olah ayam itu sedang berzikir kepada Allah. Keledai mampu melihat setan sampai-sampai ia meringkik, meminta Perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Ini semua mungkin Karena mereka tak punya atribut bahasa seperti manusia.

Sementara kita sudah kadung terjebak dengan berbagai materi keduniawian; uang, perhiasan, makanan, pakaian, dan segala bentuk capaian hidup sehingga memori Ilahiah kita tertumpuk-tumpuk oleh memori material yang sebenarnya hanyalah remeh temeh. Saya kira jangan-jangan ini semua adalah salah satu dampak dari kemampuan berbahasa kita. Makin hari kita makin pandai membahasakan berbagai hal, makin pandai membual, hingga memori kesadaran kita pun makin penuh oleh materi, bukan Tuhan.

Atau jangan-jangan kita kurang tepat dalam mempersepsikan kemampuan bahasa hanya sebagai keunggulan yang dapat dibanggakan bukan sebagai cobaan yang perlu dilalui.

Makhluk-makhluk lain tidak diajarkan nama-nama benda seperti Adam, sehingga memori mereka hanya memori Ilahiah. Sedangkan Adam diajarkan nama-nama benda seluruhnya sehingga memori kita, anak turunan adam, lebih penuh oleh benda ketimbang memori tentang Tuhan. Mungkin ini juga mengapa sebagai muslim kita diperintahkan untuk sedikit berbicara, bukan semata-mata karena agar tidak menyakiti orang lain, melainkan karena semakin kita banyak bicara pikiran kita akan semakin penuh dengan apa yang kita bicarakan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain mengenai bahasa

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//