• Opini
  • NKRI Harga Mati, untuk Siapa?

NKRI Harga Mati, untuk Siapa?

Jargon “NKRI Harga Mati” bukan untuk menyerang kelompok atau agama tertentu, bukan pula untuk melindungi kepentingan politis sepihak.

Farouq Syahrul Huda

Alumni Program Studi Hukum Pidana Islam UIN Surakarta.

Ilustrasi. Kemanusiaan mesti ditempatkan di atas segalanya, melampaui kepentingan politik atau apa pun. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

30 April 2025


BandungBergerak.id – Sesuatu yang mengganjal di otak harus diutarakan, meskipun ini hanya tulisan pendek paling tidak ini adalah soal kualitas, bukan tentang kuantitas. Seperti kita pada umumnya sebagai manusia yang berdedikasi dan berintegritas. Kita bukan manusia bodoh yang buta tentang kebenaran hanya karena fanatisme dan obsesi kekuasaan, apalagi menghamba pada jargon-jargon manipulatif, kita semua bangga pada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Semuanya bangga pada Indonesia, mungkin ada juga yang sampai cinta pada NKRI. Sampai-sampai bikin istilah “NKRI HARGA MATI!” sekilas itu adalah jargon yang bagus dan terlihat nasionalis, tapi banyak juga bajingan-bajingan yang menggunakan jargon itu untuk kepentingan dan ambisi kelompok mereka sendiri.

Jargon “NKRI Harga Mati” tersebut selanjutnya saya singkat saja menjadi NKRIHM agar simpel menyebutnya. Kenapa disebut jargon? Atau kenapa bukan disebut slogan? Jawaban sederhananya adalah bahwa kalimat tersebut (NKRIHM) tidak memenuhi syarat ataupun unsur sebagai kalimat slogan (bersifat menarik). Lebih mendekati kalimat jargon (bersifat identik dengan kelompok-kelompok atau golongan tertentu), karena kalimat “NKRI Harga Mati” tersebut identik diucapkan oleh kelompok tertentu dan tidak mewakili realitas yang ada ataupun sebagian mayoritas masyarakat. Sehingga secara terminologi lebih tepat disebut jargon daripada slogan.

Jargon tersebut sering muncul pada nyanyian selawatan sebagai lirik lagu. Tak jarang juga menjadi mars ataupun yel-yel di kalangan militer. Asal muasal dan pencetus jargon ini adalah seorang kiai karismatik dan cukup dihormati di kalangan para ulama yaitu almarhum K.H. Muslim Rifai Imampuro, yang sering akrab disapa Mbah Liem. Beliau juga pendiri Pondok Pesantren Pancasila Sakti di Klaten, Jawa Tengah. Saya hormat kepada beliau karena patriotisme dan nasionalisme beliau terhadap bangsa ini, bahkan saya juga sering ziarah ke makam beliau di saat waktu renggang. Tetapi kembali lagi bahwa saya adalah manusia yang dididik untuk kritis terhadap sesuatu.

Baca Juga: Politik Mbajingisme
Bangsa Indonesia, dari Masyarakat Klenik Menuju Masyarakat Rasional

Paradoks NKRI Harga Mati

Saya adalah seseorang yang mungkin dari sedikit orang yang paling berat mengucapkan jargon NKRIHM, berat rasanya. Bahkan mungkin lebih berat dari puasa sehari tanpa sahur. Melihat keadaan Indonesia saat ini sangat paradoks dengan jargon tersebut, NKRIHM itu bukan hanya sekadar mempertahankan unsur teologis tetapi juga unsur-unsur humanisme, egalitarianisme, anti-feodalisme, dan lain-lain. Selama ini bagi kalangan fanatik religius, jargon NKRIHM dibuat menjadi alat untuk gebuk Islam kanan, Islam kiri, Islam garis keras, Islam garis bujur vertikal horizontal, dan sebagainya yang tidak sepaham pada mereka yang moderat. Propaganda penguasa juga membuat jargon tersebut untuk melindungi kepentingan politis sepihak dan menjadikan Islam garis “ini itu” sebagai musuh bersama.

Lebih mudahnya bahwa jargon NKRIHM dibuat untuk melindungi oligarki serta para penguasa yang saat ini menjabat di kabinet maupun parlemen, fokus jargon NKRIHM hanya untuk menyerang target kelompok masyarakat yang kritis terhadap kebijakan penguasa. Mengendalikan persepsi publik, bahwa Islam yang mempunyai garis aliran tertentu harus dimusuhi bersama dan opini serta propaganda yang dibangun adalah bahwa keberadaan mereka mengancam ideologi Pancasila serta keutuhan bangsa. Intinya bahwa Islam aliran tertentu yang tak sejalan dengan pemerintah akan ditentang dan dijadikan The Common Enemy akibat tindakan kritis mereka terhadap pemerintah lalu dibuat isu bahwa mereka akan mendirikan khilafah atau negara Islam (teokrasi).

Sedangkan oligarki yang jelas-jelas menghancurkan keutuhan bangsa justru malah didiamkan dan bahkan dilindungi oleh jargon tersebut. Oligarki merusak lingkungan, mengancam keberadaan flora dan fauna, menghabisi habitat satwa hutan, mengusir penduduk lokal dan masyarakat adat, serta menimbulkan bencana alam yang berdampak pada keberlangsungan hidup manusia. Jadi lebih berbahaya mana antara oligarki dan Islam garis “ini itu” yang kritis terhadap pemerintah? Lagi pula di negara ini apa yang harga mati? Definisi NKRI Harga Mati yang konkret dan rasional itu seperti apa? Jika negara ini harga mati, maka seharusnya harga-harga kebutuhan pokok seperti BBM (Bahan Bakar Minyak) dan sembako tidak naik. Bukankah lebih tepat disebut NKRI Harga Naik?

Jika memang benar kalau NKRI itu harga mati seharusnya fasilitas pendidikan dan kesehatan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, bukan malah dipersulit. Jargon NKRIHM itu juga terkesan memaksa rakyat untuk wilayah-wilayah yang ingin merdeka seperti Papua dan Aceh, menyatakan referendum justru dianggap separatis. Berikan ruang dan pendapat di wilayah-wilayah pada masyarakat yang ingin referendum dan merdeka, tindakan mereka bukan tanpa sebab. Tidak adanya keadilan dan kesejahteraan adalah penyebab beberapa wilayah ingin melepas diri dan merdeka, sering kali pilihan mereka untuk merdeka dianggap makar terhadap negara. Upaya penguasa untuk mempertahankan wilayah yang ingin merdeka memaksa masyarakat harus berhadapan dengan aparat militer.

Pendekatan Militeristik

Pendekatan militeristik ini selalu jadi andalan utama penguasa dalam menyelesaikan masalah, meskipun pada kenyataannya timbul masalah baru lagi. Cara ini sama ketika masa kolonial Belanda yang menggunakan metode militerisme untuk mengekspansi suatu wilayah. Pendekatan kolonialisme seperti itu justru memperkeruh suasana dan menciptakan konflik horizontal baru antara masyarakat sipil dengan kelompok adat atau kelompok organisasi masyarakat tertentu, dengan cara politik adu domba (devide et impera), sama seperti yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Biarkan NKRI berjalan sesuai semestinya, tidak perlu memaksakan suatu hal yang tidak kompatibel dengan masyarakat. Penuhi dulu distribusi keadilan dan kemakmuran untuk masyarakat, jalankan perintah konstitusi untuk seluruh rakyat. Jargon NKRIHM terlalu berat untuk masyarakat sipil, menyiksa keadaan mereka. Karena ini bukan urusan mempertahankan posisi ideologis tetapi mempertahankan sikap etis sebagai manusia.

Yang menjadi poin utama adalah bahaya ancaman oligarki terhadap keseimbangan alam dan pengaruh hidup sehari-hari masyarakat. Islam garis “ini itu” tidak merusak lingkungan, tidak mengancam perekonomian nasional, tidak juga menjadikan krisis moral, bahkan juga tidak mengancam demokrasi. Jargon NKRIHM harus dipahami dengan logika rasional, tidak serta merta keluar dari mulut sebagai ucapan tanpa konteks. Bukan juga untuk menyerang kelompok atau agama tertentu, bukan pula untuk melindungi kepentingan politis sepihak. Daripada teriak-teriak NKRI Harga Mati, alangkah lebih baiknya kita mengatasi suatu masalah yang ada di sekitar kita terlebih dahulu, tak perlu jauh-jauh mempertahankan sesuatu yang besar bahkan kita saja tidak tahu apa maksud dari diksi tersebut.

Kalau ingin terlihat nasionalis dan patriotis, ya baca sejarah. Mengimplementasikan egalitarianisme baik kesetaraan gender maupun kesetaraan warga negara, tidak patriarkis terhadap kaum perempuan, melawan penguasa yang zalim, menjadi oposisi atas dasar kesadaran etis dan moral, melawan ketidakadilan dan masih banyak yang bisa dilakukan. Bukan dengan pencitraan lalu mencari objek untuk melemparkan jargon tersebut, boleh-boleh saja kita dengan lantang mengucapkan harga mati, Pancasila sakti, atau apa pun jargon sejenisnya tetapi kita juga harus paham konteks. Memahami premis dan substansi apa yang kita ucapkan dan kita dengarkan. Tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan pihak mana pun dan memusuhi siapa pun.

Kita semua adalah seorang yang terpelajar dan terdidik, kita dibekali integritas dan etika intelektual. Semua hal yang terjadi harus dilihat secara kritis dan tidak serta merta ditelan mentah-mentah. Jargon NKRIHM adalah salah satu dari sekian rangkaian peristiwa sejarah yang harus dianalisis dan ditelaah ataupun ditinjau ulang lebih dalam lagi agar menjadi pelajaran baru di kemudian hari bahwa persoalan-persoalan ini tidak datang secara tiba-tiba. Banyak yang terjadi sejak hulu hingga hilir peristiwa sejarah yang datang di kehidupan manusia sebagai fakta dan realitas untuk melihat jati diri manusia di masa lalu sebagai kendaraan awal untuk mempelajari peristiwa sejarah di masa depan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//