• Opini
  • Bangsa Indonesia, dari Masyarakat Klenik Menuju Masyarakat Rasional

Bangsa Indonesia, dari Masyarakat Klenik Menuju Masyarakat Rasional

Masyarakat Indonesia melanggengkan logika klenik. Pemuka agama kurang memperhatikan perkara deforestasi, pencemaran limbah di sungai, perampasan hak hidup warga lok

Farouq Syahrul Huda

Alumni Program Studi Hukum Pidana Islam UIN Surakarta. Koordinator Departemen Kaderisasi Pagar Nusa Padepokan Jabalahad Karanganom.

Ilustrasi. Feodalisme bertolak belakang dengan demokrasi di mana kekuasaan politik dikuasai oleh kelompok kecil. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

28 Januari 2025


BandungBergerak.idKehidupan manusia tidak bisa lepas dari unsur-unsur teologis baik dari segi akidah maupun muamalah. Ada banyak momentum di mana manusia menghadapi problem (masalah) sosial dan dihadapkan pada situasi yang cukup sulit. Di saat itulah akal sehat manusia dipertaruhkan, ilmu teologis tiba pada konteks tertentu dan tidak bisa sembarangan datang pada semua problem yang mendampingi kehidupan manusia. Salah satunya adalah kehidupan politis manusia atau lebih mudahnya disebut konteks politik kehidupan manusia, tanpa menyudutkan ilmu keagamaan dan saya akan mencoba lebih objektif dalam menulis pembahasan ini.

Bangsa Indonesia saat ini mungkin lebih cocok disebut “Bangsa Klenik” dalam konteks klenik teologis yang politis, perspektif politis mistik (metafisik) ini memang bumbu yang sangat ampuh untuk menangkal argumentasi ilmiah yang bersifat objektif. Seolah-olah tragedi politik itu sudah digariskan melalui takdir dan ketentuan Tuhan, padahal asumsi tersebut sangat relatif. Benar jika ini perkara catatan yang ada di Lauhul Mahfudz, dan sangat berpotensi salah jika nilai-nilai ilmiah serta landasan akademis diabaikan. Sekali lagi bahwa ini bukan hanya sekadar urusan klenik atau mistik, ini urusan logis atau tidak logis, ilimiah atau tidak ilmiah, dan apakah ini melanggar etika (moral) atau tidak.

Inilah yang terjadi di dalam paradigma masyarakat Indonesia, dan pada akhirnya menciptakan adagium kultur feodal dalam masyarakat teologis yang berpolitik. Sehingga jika memiliki argumentasi yang berlawanan dianggap tidak sopan hingga bahkan disebut su’ul adab. Hal seperti inilah yang dilanggengkan penguasa, membiarkan aktivitas feodal ini terus tumbuh dan mengakar sehingga menegasikan prinsip-prinsip egalitarian. Maka yang terjadi adalah gerak perubahan makin terhambat, eksploitasi kemanusiaan atas nama pembangunan terus meningkat imbas dari rendahnya kesadaran manusia karena hegemoni mistis yang meracuni paradigma masyarakat. Yang ada hanyalah kesadaran dan toleransi palsu hasil dari kongkalikong pemuka agama dan politisi yang demagog.

Sedangkan para pedagog dibatasi ruang geraknya, dibungkam pemikirannya, bahkan dihilangkan hak-hak konstitusionalnya dengan alasan tidak mempunyai legal standing yang kuat. Surplus pemikiran dan kepakaran ditekan sedemikian rupa agar propaganda dan ilusi yang dibuat penguasa ini bisa terus tertanam lebih dalam pada pola pikir masyarakat, hingga pada akhirnya jejak intelektual dan ilmu pengetahuan lama-lama mulai tenggelam seiring diremehkannya para akademisi ataupun para pakar di bidangnya oleh masyarakat karena kepercayaan mereka pada doktrin-doktrin teologis palsu oleh para pemuka agama.

Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah serta minimnya pendidikan logika membuat masyarakat masih terjebak pada alam pikir paradigma klenik yang dogmatis, apalagi kita masih sulit untuk lepas dari bayang-bayang kolonialisme. Militerisme di era pemerintah Hindia Belanda misalnya, kebijakan dengan gaya militeristik mempengaruhi gerak perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari serta mereduksi logika akal sehat masyarakat kala itu sehingga tingkat buta huruf pada masyarakat kolonial prakemerdekaan sangat besar, jika dikalkulasi tingkat buta huruf pada masyarakat kolonial mencapai 90 persen. Salah satu yang unik pada saat itu adalah sebagian masyarakat yang sadar akan literasi justru langsung dibekali ilmu progresif dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islamisme dan Marxisme.

Sarekat Islam pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto dan Samanhudi menjadi satu-satunya organisasi kemasyarakatan yang mampu memberangus kedunguan yang membelenggu pikiran masyarakat kolonial Hindia Belanda. Bagaimana tidak, organisasi ini menghasilkan anak didik dengan pemikiran yang sangat maju seperti Semaoen, Haji Misbach, Marco Kartodikromo, Alimin, Musso, dan Darsono. Tokoh progresif lainnya juga muncul serentak di era kolonialisme seperti Sukarno, Tan Malaka dan juga Kartosoewiryo. Di sini nilai-nilai Islam digunakan dengan sangat baik dan dipakai untuk perjuangan melawan ketertindasan, bukan dijadikan alat dogmatis untuk pro pada feodalisme ataupun berpihak pada kolonialisme.

Nilai-nilai Islam atau Islamisme di era kolonialisme juga tidak serta merta dijadikan alasan utama untuk melegitimasi paradigma klenik ataupun pola pikir mistik untuk suatu kepentingan yang bersifat politis. Kombinasi antarideologi juga terjadi di era kolonialisme seperti yang dikembangkan oleh Haji Misbach tentang perpaduan antara prinsip-prinsip Islam dan Marxisme yang menghasilkan sebuah pemikiran yang memiliki konsep perjuangan yang sama untuk melawan ketertindasan dan mengupayakan nilai kesetaraan atau egalitarianisme. Haji Misbach sangat paham betul tentang konsep ini sehingga ia tidak menegasikan unsur teologis dalam perjuangan empiris melalui metode Marxisme, bahkan menggabungkan kedua unsur tersebut.

Penempatan unsur teologis memang harus didasarkan pada konteks dan peristiwa tertentu, menolak persepsi klenik di dalam konteks politik bukan berarti mengedepankan nilai positivisme tetapi lebih mengedepankan akal dan logika yang objektif dan ilmiah dalam melihat suatu polemik ataupun kasak-kusuk politik. Ini juga menjadi edukasi bagi masyarakat luas agar lebih logis dalam menganalisis, tidak mengutamakan logika mistik yang terlalu berlebihan apalagi berkaitan dengan politik. Ruang-ruang politik harus steril dari pemikiran-pemikiran primitif, sumber daya manusia (SDM) yang tinggi adalah mereka yang berpendidikan dan mampu mengolah segala informasi dengan baik melalui akal sehat.

Baca Juga: Politik Mbajingisme
Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Demokrasi Rasa Feodalisme dan Dinasti Politik

Anggapan tentang “Bangsa Klenik” di dalam budaya masyarakat Indonesia akan terus ada jika masyarakat tetap stagnan pada pemahaman ini dan tidak melakukan transisi ke tahap masyarakat yang lebih rasional. Indonesia merupakan negara yang terjebak dalam logika materialisme, memunculkan transisi baru dari masyarakat kapitalis religius menuju masyarakat hedonis patriarkis. Tidak berlebihan untuk mengatakan jika masyarakat Indonesia pada akhirnya melanggengkan secara absolut praktik feodalisme, menormalisasi nilai-nilai feodalistik sebagai bagian integral dari kehidupan masyarakat antarkelas (borjuis dan proletar). Permisif terhadap kejahatan struktural yang dipraktikkan oleh birokrasi serta melanggengkan pragmatisme politik.

Terlebih lagi soal isu lingkungan, nilai-nilai teologis tidak dihadirkan oleh pemuka agama dalam perkara deforestasi, pencemaran limbah di sungai oleh korporasi, perampasan hak hidup warga lokal dan satwa hutan. Justru terjadi paradoks ketika ormas keagamaan ikut tenggelam dalam upaya perusakan lingkungan melalui perizinan konsesi tambang, yang hadir untuk melindungi lingkungan justru dari kultur lokal masyarakat adat yang diturunkan dari nenek moyang mereka bahwa begitu pentingnya menjaga kelestarian alam. Bahwa alam atau lingkungan punya hak untuk hidup, hak untuk bersemayam di atas tanah, hak untuk mendapatkan subjek hukum, dan hak untuk mempertahankan legitimasi keselamatan sesama makhluk hidup lainnya.

Di Indonesia kita gagal dalam memahami aspek kehidupan bernegara dan berpolitik, seorang pemimpin apalagi ia adalah seorang presiden maka wajib baginya untuk mendengar masukan atau saran dari para akademisi, dosen-dosen, kelompok intelektual, serta pakar yang membidangi suatu ilmu tertentu. Menjalankan sistem bernegara itu ada ilmunya, ada diskursusnya, dan juga ada kurikulumnya. Bukan sesuai selera pribadi ataupun kepentingan politik praktis, hal yang terpenting dari itu semua adalah pendidikan moral atau etika. Bangsa ini hilang harga dirinya dan jatuh martabatnya. Indonesia disorot oleh mata Internasional dengan pencapaian buruknya, indeks demokrasi makin menurun dan perilaku korup yang terjadi di beberapa instansi dan lembaga negara.

Sebagai sebuah refleksi, masyarakat juga perlu berbenah. Ketidaktahuan mereka dan rendahnya kesadaran akan keadilan membuat mereka menanggung akibatnya sendiri. Kerusakan demokrasi dan lemahnya penegakan hukum adalah dampak yang mereka alami karena rendahnya literasi. Kurangnya pendidikan soal etika atau moral adalah pintu masuk berbagai kejahatan, juga rendahnya kesadaran terhadap lingkungan hidup membuat masyarakat kehilangan tempat tinggalnya, rusaknya hutan akibat ketamakan penguasa, serta kurang pedulinya terhadap harapan masa depan untuk kesejahteraan bangsa. Masyarakat harus meninggalkan budaya buruk ini, mulailah dengan menumbuhkan kesadaran dan kepekaan terhadap masalah di sekitarnya. Bangun budaya literasi dan perkuat konsolidasi sosial demi sebuah kelayakan hidup sebagai manusia yang diberkahi akal dan pikiran oleh Tuhan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain dari Farouq Syahrul Huda, atau tulisan lain tentang Sosial dan Politik

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//