Pangeling-eling Mama Mei, Merawat Tradisi untuk Masa Depan
Mama Mei Kartawinata merupakan tokoh yang dihormati di komunitas penghayat. Ia juga pejuang kemerdekaan, juga sastrawan pencipta pupuh Sunda.
Penulis Yopi Muharam2 Mei 2025
BandungBergerak.id - Asap kemenyan menyeruak ke segala penjuru Pasweakan Mama Mei Kartawinata, Ciparay, Kabupaten Bandung, Rabu malam, 30 April 2025. Mulai dari anak-anak hingga sepuh memadati pasewakan untuk melakukan acara Pangélingng-éling Kalahiran Mama Méi Kartawinata yang ke-128 Tahun.
Saat acara kirab sajen para sepuh secara berhadapan melakukan ritual sembari menabur kemenyan dan diiringi oleh sebuah rajah. Lampu pun seketika padam, menambah kesakralan malam pangeling-ngeling ini. Semua orang terlihat tertunduk khusyuk sembari melantunkan iringan doa untuk Mama Mei.
Acara pangeling-ngeling ini rutin diadakan setiap tanggal 30 April oleh penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan yang Mahasa Esa untuk mempringati hari kelahiran Mei Kartawinata yang jatuh pada 1 Mei. Mei Kartawinata adalah tokoh penghayat sekaligus pejuang di masa prakemerdekaan. Sekaligus tokoh Sunda yang berpengaruh karena ciptaan pupuh-pupuhnya.
Para penghayat dan tamu undangan akan berjaga semalaman. Acara yang digelar hingga pukul 00.00 WIB ini menampilkan berbagai macam kegiatan di dua tempat berbeda. Peratama kegiatan dimulai di pasewakan. Di sana kegiatan berlangsung dari pukul 18.00 hingga 21.00 malam.
Selama tiga jam, para penghayat dan tamu disuguhi dengan bebagai macam penampilan. Mulai dari tutunggulan, semacam prosesi tumbuk padi, pembacaan Dadangdanggula karya Mama Mei, penampilan tarian Gentra Pancasila, hingga pemutaran film dokumenter.
Tak hanya itu, banyak anak kecil yang berkontribusi dalam acara ini. Para pemain gamelan didominasi anak-anak sekolah dasar. Mereka tampak piawai memainkan tiap gending yang dibawakan.
Tepat pukul 22.00 malam, satu jam setelah istirahat, para penghayat dan tamu langsung menuju pasarean Mama Mei Karta yang lokasinya tak jauh dari pasewakan. Di sana terdapat prosesi yang lebih sakral lagi.
Anak-anak yang berbaris rapi membawa semacam bunga-bungaan dari pasewakan. Sementara, satu orang anak perempuan menjadi pemimpin pengiringan perjalanan itu sembari membawa bendera merah-putih.
Sesampainya di pasarean, mereka disambut dengan gesekan tarawangsa dan jentikan jentreng. Suasanyanya sangat syahdu. Tak ada polusi kebisingan malam itu. Di sisi lain, asap dari dupa dan kemenyan menebarkan wewangian ke segala penjuru. Makam Mama Mei terlihat terawat rapi.
Menurut Canisa, ketua pelaksana acara ini, prosesi pangeling-ngeling bukan sekadar serimonial. Setiap prosesi keadatan itu, terdapat makna yang mendalam. Terkhusus memaknai apa yang sudah dilakukan dan dilakoni oleh Mama Mei semasa hidupnya.
“Kami memaknai pangeling-ngeling kelahiran ini tuh tentang apa yang Bapak Mei itu lahirkan,” ujarnya kepada BandungBergerak di sela-sela acara. Baginya acara tersebut sangat penting dilestarikan. Terutama bagi generasi penerusnya.
Regenerasi Penghayat Muda
Prosesi di pasarean sungguh tak terasa. Di sana, lantunan pupuh pangkur dan kinanti mengudara, dinyanyikan dua perempuan muda secara bergantian. Suara mereka melengking menghentak keheningan. Semua orang tertunduk menikmati lantunan pupuh tersebut.
Selanjutnya, ada prosesi tabur bunga yang dilakukan oleh seuwa-sewi atau keturunan dari Mama Mei dan perwakilan dari pemuda penghayat. Gesekan tarawangsa dan petikan jentreng menjadi pengirimg selama tabur bunga. Suaranya sangat menyayat.
Tidak hanya prosesi sakral saja yang dilakukan, di tengah-tengah acara, ada diskusi dan penyampaian cerita tentang ajaran Mama Mei. Dua orang pemuda penghayat memantik acara diskusi itu.
Fajar, penghayat dari Budi Daya menuturutkan ajaran Mama Mei sebetulnya bukan hanya dianut oleh para orang tua saja, melaikan generasi muda juga. “Janten Bapak Ibu sadayana anu teu acan terang bahwasana penghayat kepercayaan teh henteu mung sekedar orang tua atanapi kolot nya sakasarna mah,” ujarnya membuka diskusi.
Bagi Fajar, Mama Mei bukan sekadar guru spiritual saja. Hal yang patut diteladani dari sosok Mama Mei adalah perjuangannya yang tak gentar melawan ketidakadilan. Kendati risiko yang dihadapi adalah ancaman hingga berujung pemenjaraan.
Tercatat dalam sejarah, Mei Kartawinata pernah dipenjara selama empat kali. Mengutip dari jurnal Iim Abdul Halim, berjudul Nilai-nilai Aliran Kebatinan Perjalanan dan Dasar Negara, Mama Mei dipenjara oleh Belanda di Bandung pada tahun 1937, di Cirebon pada 1947, di Glodok pada 1945, dan oleh Jepang pada 1943.
Mama Mei juga terlibat dalam dunia politik. Pada tahun 1955 dia mendirikan Partai Permai (Persatuan Rakyat Marhaenis). Partai ini memperoleh dua kursi di Konstituante. Istilah “Marhaenis” bisa diartikan kelompok nasionalisme proletar.
Maka dari itu, semangat perjuagan Mama Mei mesti ditularkan kepada generasi muda. Kendati zaman telah berubah dan serba canggih karena terbantu oleh teknologi digital, menurut Fajar para pemuda penghayat pun harus bisa menyelaraskan.
Baca Juga: Menjemput Kelahiran Mama Mei Kartawinata
Malam Wangsit Mama Mei
Rahayu

Memaknai Mama Mei
Di mata Dian Pratama dari Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP), Mama Mei memiliki kepekaan terhadap alam dan lingkungan sekitar. Mama Mei banyak menciptakan karya sastra seperti pupuh, membuat sosoknya patut dicontoh.
“Di dieu anu karaos ku sim kuring mah mah ageungna Sastra Jendra Rahayuningrat. Alitna panginten ngeunaan dina sajarah diri,” terangnya.
Menurut Dian, Mama Mei adalah tokoh yang sangat cinta kepada tanah airnya. Hal tersebut mesti dilanjutkan bagi generasi penerus, terutama bagi para penghayat kepercayaan.
“Janten istilahna sanaos urang teh bangsa nu ageung, urang mah henteu aya maksad hegemoni tapi prinsipna hegeliter janten samarasa, samarata,” lanjutnya.
Di sisi lain, Asep, sesepuh di penghayat Budi Daya mengungkapkan keterlibatan pemuda untuk mengurus acara pangeling-ngeling ini sebagai bentuk regenerasi. Sudah tahun ketiga acara ini dikonsep oleh para pemuda penghayat kepercayaan dari berabgai aliran.
“Jadi inisiatif anak muda sudah mulai terbangun tiga tahun ke belakang,” jelas Asep.
Penting baginya orang muda penghayat meneruskan acara ini. Dalam kepanitiaan mereka akan dipupuk oleh rasa disipilin, tanggung jawab, dan saling berbagi. Hal itulah yang diajarkan oleh Mama Mei.
Asep baru mendalami ajaran Mama Mei sejak 2001. Terutama saat dia melangsungkan pernikahan. Tidak mudah bagi penghayat kepercayaan untuk menikah agar dicatat oleh dinas kependudukan. Saat itu, belum ada regulasi khusus yang mengatur tentang pernikahan kepercayaan.
Dia merasakan betul diskriminasi yang dialaminya. Maka dari itu, dia harus melawan tindakan tersebut, sesuai ajaran yang pernah dilakukan Mama Mei, memperjuangkan keadilan. “Orang yang terdiskriminasi itu (mengetahui) bagaimana pahitnya,” tuturnya.
Dari pengalaman Mama Mei itu jadi panutan untuk Asep. Kendati Mama Mei dipenjara lebih dari satu kali, namun perjuangan dan kecintaannya kepada tanah air sangat besar. “Tidak pantang menyerah, berani mengambil risiko, siap dengan segala resikonya,” lanjutnya.
Hal tersebut juga mengilhami Asep untuk menggugat negara agar pernikahannya bisa dicatatkan oleh negara. “Ya salah satunya Bapak terinspirasi oleh spirit Mama Mei,” lanjutnya.
Bagi para penghayat kepercayaan, Mama Mei bukan sekadar guru spiritual. Hingga saat ini mereka masih menularkan semangat perjuangan Mama Mei dalam kehidupan sehari-hari, kendati mereka sering didiskriminasi. Ajaran yang ditularkan dan mereka pegang hingga saat ini adalah silih welas asih kepada sesama makhluk tanpa mempersoalkan perbedaan.
“Di zaman yang serba teknologi maju, bagaimana anak-anak muda penghayat khususnya pengikut bapak (Mama Mei) terbangun percayaan dirinya bahwa kalian itu enggak ada bedanya dengan saudara-saudara kalian yang berbeda agama beda keyakinan,” tutupnya.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharam, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Komunitas Penghayat