BandungBergerak.idSorotan lampu dan gemuruh suara manusia membaur menciptakan suasana semarak di Pasewakan Waruga Jati, Wangunharja, Kecamatan Lembang, Senin malam, 16 September 2024. Pasewakan ini menjadi saksi perayaan yang telah berlangsung selama hampir satu abad: “Pangeling-ngeling Pamendak Mei Kartawinata” yang diselenggarakan Budi Daya, organisasi penghayat kepercayaan leluhur.

Peringatan “Pangeling-ngeling Pamendak Mei Kartawinata” yang memasuki tahun ke-97 merupakan momen penting bagi masyarakat penghayat kepercayaan. Mereka mengenang dan merayakan ajaran luhur yang diwariskan Mei Kartawinata, tokoh penting bagi komunitas penghayat.

Peringatan Pangeling-ngeling Pamendak Mei Kartawinata dimulai dengan prosesi tutunggulan sebagai pembuka dan kemudian dilanjutkan dengan kirab sasajen, amitsun, dan rajah. Semua dijalankan penuh khidmat. Tak hanya itu, malam peringatan ini juga diramaikan dengan penampilan kesenian seperti tari yang dibawakan masyarakat penghayat kepercayaan.

Malam semakin larut, jumlah masyarakat yang datang ke Pasewakan terus bertambah. Mereka berbondong-bondong hadir untuk menyaksikan pementasan wayang golek di penghujung perayaan. Dentuman musik yang semarak mengiringi dalang yang ciamik membawakan cerita, sementara penonton, baik yang muda hingga yang tua, menyaksikan penuh antusias.

“Jadi, 16 September malam menuju 17 September itu waktu saat Mama Mei mendapatkan wangsit-nya. Jadi nanti di jam 12 malam akan ada hening panggalih,” ucap Nanda, salah satu penghayat muda, menjelaskan acara malam hari itu.

Tanggal 17 September 1927 merupakan momen penting dalam perjalanan spiritual Mei Kartawinata, seorang figur penting dalam perkembangan ajaran spiritual para penghayat. Dikisahkan, di tanggal tersebut Mama Mei, demikian ia biasa disapa, memandangi aliran sungai Cileuleuy, tiba-tiba dia merasakan pengalaman tidak terduga, ia mendapati air yang mengalir pada sungai berbeda dari biasanya.

Pengalaman tersebut kemudian menjadi awal dari perjalanan spiritual yang menghubungkan Mama Mei dengan alam dan hakikat kehidupan. Dalam keheningan malam yang dihiasi oleh gemercik air sungai yang mengalir, Mei Kartawinata mendengar suara-suara yang seolah berbicara langsung ke dalam lubuk hatinya. Pitutur atau nasihat yang datang dari alam itu menggerakkan hati dan pikiran.

Berdasarkan catatan pribadi berjudul “Katinetung”, Mama Mei menjelaskan melalui pupuh Asmarandana bahwa aliran air sungai yang kala itu ia amati ternyata memiliki makna akan kehidupan yang mendalam. Aliran air sungai yang terus bergerak mengalir menuju asalnya—laut—tiada henti memberikan kebaikan kepada makhluk hidup lainnya. Manusia pada hakikatnya tidak ada bedanya dengan perilaku air. Sama seperti air sungai itu, manusia juga mengalami perjalan kehidupan menuju pada sumber asal—Tuhan Yang Maha Esa—dan harus menjalani peran mereka dengan ketulusan dan kebaikan pada sesama tanpa henti. Manusia sudah seharusnya menjalankan hidup dengan welas asih sebagaimana air yang tidak pernah pilih kasih dalam memberikan kehidupan kepada semua makhluk hidup.

Mei Kartawinata sadar bahwa hidup manusia merupakan sebuah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab. Dalam pemahamannya, semua manusia, hewan, tumbuhan, hingga seluruh alam saling terkait erat dalam sebuah hubungan yang sakral, yang kemudian ia sebut sebagai “sa-kuring-kuringna”.

Sejak peristiwa itulah istilah wangsit—yang artinya ilham atau petunjuk ilahi— menjadi lebih dikenal di kalangan para pengikut Mei Kartawinata. Wangsit dianggap sebagai bentuk komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan yang membawa pesan-pesan penting mengenai pedoman hidup manusia sesuai dengan kehendak-Nya.

Peristiwa ini menjadi tonggak penting, tidak hanya bagi Mei Kartawinata, namun juga bagi para pengikutnya. Kesadaran akan ajaran welas asih, hubungan harmonis dengan diri sendiri dan sesama, serta pemahaman mendalam tentang wangsit bermula dari sini.

Bagi Indra, salah satu penghayat muda, peringatan ini bukan sekadar perayaan tahunan, tetapi juga menjadi momen merefleksikan diri sejauh mana dia mengamalkan ajaran-ajaran yang diwariskan Mama Mei dalam kehidupannya sehari-hari.

Peringatan ini juga menjadi puncak spiritualitas, terkhusus ketika jarum jam menunjukkan tepat tengah malam, pada saat seluruh masyarakat penghayat melaksanakan hening panggalih. Indra merasakan kedalaman spiritualitas yang luar biasa, seolah tersambung langsung dengan keimanan yang lebih tinggi dari yang sebelumnya.

“Itu merupakan momen yang penting bagi saya karena di situ saya bisa merasakan keimanan atau spiritual yang cukup tinggi,” kata Indra.

*Foto dan Teks: Fitri Amanda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//