Refleksi Hari Pendidikan Nasional, Meruntuhkan Stigma terhadap Perempuan Berpendidikan Tinggi
Perempuan yang memilih mengjar karier pendidikan atau pekerjaan kerap mendapatkan stigma. Komunitas PhD Mama Indonesia dan Lab Belajar Ibu berusaha mengikisnya.
Penulis Hanifa Paramitha Siswanti2 Mei 2025
BandungBergerak.id - Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei, bukan hanya mengenang jasa Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga menjadi momen refleksi atas perjalanan pendidikan di Indonesia khususnya untuk kaum perempuan. Kartini, sebagai sosok yang memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, melihat pendidikan sebagai kunci pembebasan dari dominasi sistem yang menomorduakan kaum hawa (patriarki).
Sekarang, pendidikan semakin terbuka untuk perempuan, terutama bagi mereka yang memegang peran ganda sebagai ibu dan istri. Namun, meski akses semakin luas, tantangan yang dihadapi perempuan dalam dunia pendidikan tetap besar dan memerlukan perhatian serius, agar kemajuan yang dicapai tidak hanya sekadar akses, tetapi juga kualitas dan kesempatan yang setara.
“Perempuan sering kali tidak mendapatkan dukungan baik secara struktural, kebijakan, maupun teman-teman dari lingkungannya. Masih ada stigma perempuan yang berusaha meraih pendidikan tinggi mungkin seolah jadi seseorang yang egois, mementingkan kepentingan sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan keluarga. Padahal kami percaya perempuan punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan setinggi apapun yang mereka kehendaki untuk mengembangkan dirinya,” tutur Deputi Direktur PhD Mama Indonesia Fitri Hariana Oktaviani.
Fitri mengungkapkan, banyak perempuan yang bekerja di sektor yang memang membutuhkan jenjang pendidikan tinggi, sehingga mau tidak mau harus menempuh jenjang magister dan doktoral. Namun tak sedikit pula perempuan yang menginginkan studi lanjut karena ingin mengembangkan diri, mengembangkan karir, atau memiliki keingintahuan tinggi. Mereka memiliki hak dan akses yang sama, tetapi sayangnya justru menghadapi stigma masyarakat yang menghalangi atau memberikan beban tambahan.
“Data statistik menunjukkan bahwa meskipun partisipasi perempuan di pendidikan tinggi semakin meningkat, masih ada hambatan yang menghalangi untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi,” papar Fitri.
Pada tingkat S1, Fitri mengungkap, angka partisipasi perempuan di Indonesia cukup tinggi, tetapi semakin menurun pada tingkat S2 dan S3. Salah satu faktor utama adalah stigma sosial yang sering kali menempatkan perempuan pada posisi yang kurang mendukung untuk melanjutkan pendidikan tinggi, terutama setelah menikah atau memiliki anak. Misalnya akan sulit jodoh atau mengabaikan urusan anak
Stigma sosial terhadap perempuan berpendidikan tinggi seringkali membatasi ruang gerak mereka. Namun melalui PhD Mama Indonesia, Fitri menemukan jalinan solidaritas, tempat untuk saling menguatkan, dan sebuah wadah di mana pengalaman hidup para ibu yang studi lanjut dianggap sebagai pengetahuan yang valid.
PhD Mama Indonesia merupakan komunitas perempuan studi lanjut yang menjadi sarana saling mendukung dan memperjuangkan hak untuk berpendidikan lebih tinggi. Didirikan oleh Kanti Pertiwi, seorang ibu dari tiga putri sekaligus dosen manajemen Universitas Indonesia, saat menempuh studi doktoralnya di Melbourne Australia pada tahun 2017. PhD Mama Indonesia bukan sekadar ruang berbagi informasi akademik, melainkan juga menjadi platform berbagi pengalaman pribadi, memberi dukungan emosional, dan saling memperkuat semangat antar anggota.
“Perempuan bisa berkarier sesuai bidang yang diminati sekaligus mencari ilmu setinggi-tingginya. Transformasi pengetahuan yang didapatkan bukan hanya tentang teori akademik, tetapi juga tentang bagaimana membangun jaringan solidaritas dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam dunia pendidikan,” tambah Fitri.
Transformasi Identitas Perempuan
Pendidikan tinggi bagi perempuan memiliki dampak yang lebih luas dari sekadar peran dalam mendidik anak. Fitri menyampaikan bahwa perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi tidak hanya berkontribusi pada pengasuhan, tetapi juga pada kualitas hidup keluarga secara menyeluruh.
“Banyak riset menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan perempuan dan laki-laki dalam sebuah keluarga, maka semakin tinggi pula kualitas kehidupan anak—baik dari sisi pendidikan, gizi, maupun kehidupan sosialnya,” ujar Fitri.
Ia menekankan bahwa latar belakang pendidikan yang kuat memungkinkan orang tua mengambil keputusan yang lebih rasional, sesuatu yang kerap sulit dilakukan ketika tingkat pendidikan masih terbatas. Hal ini bukan hanya berlaku untuk sosok ibu, tetapi juga ayah.
Lebih jauh, Fitri menggarisbawahi peran ibu berpendidikan tinggi sebagai panutan bagi anak-anak mereka. “Mereka bisa menjadi role model bagi anak laki-laki maupun perempuan, terutama dalam hal kerja keras dan pemecahan masalah. Pendidikan tinggi tak mungkin diraih tanpa usaha keras, dan dari sanalah anak-anak belajar nilai-nilai tersebut,” jelasnya.
Menurut dosen sekaligus peneliti bidang gender dan komunikasi organisasi Universitas Brawijaya tersebut, pendidikan memungkinkan seseorang menghadapi tantangan dengan pendekatan yang lebih rasional dan solutif, sebuah hal yang sangat menguntungkan ketika perempuan diberikan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Tak hanya berdampak pada ranah keluarga, pendidikan tinggi dan keterlibatan dalam komunitas juga berperan besar dalam mentransformasi identitas perempuan. Fitri menjelaskan bahwa banyak relawan PhD Mama Indonesia yang merasakan perubahan signifikan dalam cara mereka melihat diri dan menjalankan peran di masyarakat.
“Ketika kita bergabung dalam komunitas, kita memiliki sistem pendukung yang kuat yang otomatis membuat kita lebih percaya diri,” ungkapnya.
Meski sebagian besar kegiatan dilakukan secara sukarela tanpa imbalan finansial, ia menyebut bahwa para relawan justru seringkali mendapatkan manfaat jangka panjang, seperti peluang studi lanjut dan kepuasan batin.
Menurutnya, keberadaan komunitas menjadi wadah penting untuk berbagi nilai, pengalaman, dan dedikasi terhadap kebaikan bersama. “Perempuan yang telah menempuh pendidikan tinggi biasanya juga menjadi lebih percaya diri karena mereka memiliki pengetahuan yang mendalam untuk bidang yang spesifik,” jelasnya.
Melalui pengalaman belajar dan berkomunitas, perempuan tidak hanya memahami arah hidup mereka, tetapi juga berani menyuarakan pendapat.
“Saya pikir itu sangat perlu kita rayakan di Indonesia, apalagi dengan norma yang masih mengedepankan perempuan untuk selalu manut, diam, dan mendengarkan. Inilah transformasi identitas yang saya nilai sangat berharga, yaitu ketika perempuan tahu apa yang mereka mau, berani bersuara, dan merasa bermakna dalam komunitas,” pungkas Fitri.
Baca Juga: Pengaruh Pendidikan Modern Mesir pada Perkembangan Pendidikan Tinggi Islam di Indonesia
Memahami Pendidikan Guru Hari Ini dari Catatan Masa Lalu
Tentang Kasus Perundungan Dokter Hari Ini dan Jejak-jejak Kemanusiaan (Pendidikan) Para Dokter Indonesia di Masa Lalu
Ruang Digital sebagai Arena Epistemik Perempuan
Saat ini pendidikan tidak hanya berlangsung di ruang kelas atau lembaga formal, tetapi juga tumbuh subur di ruang-ruang digital yang dikelola secara mandiri oleh beragam komunitas. Dari sinilah muncul aneka bentuk baru produksi dan distribusi pengetahuan yang menjadikan pengalaman hidup sebagai sumber valid pengetahuan dan agen transformasi sosial, termasuk dari dan untuk kelompok perempuan.
Ruang digital turut berperan dalam perjuangan perempuan mendapatkan akses pendidikan yang lebih inklusif dan setara. Melalui media sosial dan platform daring lainnya, perempuan dapat belajar, mengajar, dan berbagi pengetahuan tanpa batasan fisik atau geografis. Aktivisme digital ini membuka pintu bagi perempuan untuk melawan ketidaksetaraan dan memperjuangkan hak-hak mereka dalam pendidikan.
Dalam dunia yang semakin terkoneksi, perempuan dapat menjadi agen perubahan yang tidak hanya mengakses pengetahuan, tetapi juga menciptakan dan mendistribusikannya untuk kebaikan bersama. Tak hanya PhD Mama Indonesia, ruang digital juga menghadirkan komunitas Lab Belajar Ibu sebagai sarana memperluas akses pengetahuan dan memberi perempuan ruang untuk berbicara dan didengar.
“Kemerdekaan untuk belajar secara de facto menjadi warisan yang sangat berharga bagi perempuan Indonesia dari Kartini. Sekarang pekerjaan rumah kita adalah bagaimana terus membakar semangat belajar ke dalam keseharian kita. Perjuangan masa lalu kita bawa ke masa kini dengan memahami makna semangat daya juang tanpa menghilangkan makna peran ibu atau perempuan di dalamnya,” kata Deri Ardia selaku penggerak komunitas Lab Belajar Ibu.
Lab Belajar Ibu merupakan komunitas nonprofit yang secara resmi diluncurkan pada November 2021. Sejak tahun 2023, komunitas ini telah memiliki dasar hukum yang sah dengan nama legal Komunitas Ibu Pembelajar Bahagia. Gagasan pendiriannya berangkat dari pengalaman lima perempuan penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang mengalami masa transisi yang cukup kompleks. Dalam proses tersebut, mereka merasakan minimnya ruang yang dapat menjadi jembatan untuk terus berkarya dan berkontribusi kepada masyarakat, khususnya bagi para ibu yang tengah bergulat menjalankan peran domestik di rumah.
“Lab Belajar Ibu tumbuh sebagai ruang yang tidak hanya merangkul ibu-ibu yang fokus pada peran domestik, tetapi juga terbuka bagi semua perempuan yang menjalankan peran keibuan dalam berbagai konteks—baik sebagai ibu rumah tangga, ibu pekerja, pebisnis, mahasiswa, maupun peran lainnya. Kami mendorong para anggota untuk terus berkarya sesuai dengan keahlian dan minat masing-masing,” ucap Deri.
Tantangan Mengelola Peran sebagai Ibu dan Intelektual
Dalam menjalani multiperan perempuan, Deri menekankan pentingnya dukungan dari lingkungan terdekat, termasuk pasangan, orang tua, anak-anak, dan tentu saja komunitas. “Tidak mudah untuk menjalankannya tanpa rasa lelah. Kami percaya bahwa tidak ada sosok supermom atau superwoman yang mampu menangani semuanya sendiri. Di balik setiap multiperan ibu, selalu ada sistem dukungan luar biasa yang menopang,” ujarnya.
Kehadiran komunitas perempuan menjadi bagian dari sistem pendukung tersebut, sehingga dapat menciptakan ruang aman sekaligus pemacu produktivitas sosial bagi para ibu. Dalam praktiknya, keseimbangan antara peran domestik, intelektual, dan kontribusi sosial dapat dicapai melalui komunikasi yang terbuka, perencanaan tujuan yang jelas, serta dukungan moral dan emosional dari sesama anggota komunitas.
Deri menyoroti tantangan yang tengah menguar saat ini, yakni bagaimana masyarakat memaknai kontribusi dan produktivitas perempuan. Ia pun mengajak untuk melakukan redefinisi terhadap konsep produktivitas, khususnya bagi perempuan. “Tujuan akhir dari pendidikan tinggi bukan hanya untuk mencetak perempuan yang terdidik, tapi mencetak manusia yang berakhlak, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab,” jelasnya.
Menurut Deri, kontribusi perempuan tidak selalu harus terukur secara finansial atau dalam bentuk pekerjaan formal. Aktivitas di komunitas, kerja sosial, keikutsertaan dalam program PKK, hingga menjalankan usaha sendiri adalah bentuk-bentuk karya yang tidak kalah bermakna.
Pendidikan Menjadi Ekosistem yang Inklusif
Pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi ruang distribusi pengetahuan yang bersifat satu arah, tetapi juga menjadi ekosistem yang inklusif dan berkeadilan gender. Lebih dari sekadar konsumen pengetahuan, perempuan sangat mumpuni untuk dikondisikan juga sebagai produsen pengetahuan yang aktif, kritis, dan reflektif.
Komunitas seperti PhD Mama Indonesia dan Lab Belajar Ibu merupakan contoh dari sekian gerakan aktivisme digital dalam membentuk wajah baru pendidikan perempuan di Indonesia. Kedua komunitas ini hadir bukan hanya untuk menopang perempuan dalam menghadapi tantangan struktural dan sosial, tetapi juga sebagai ruang yang aktif merekonstruksi makna pendidikan, keibuan, dan pengetahuan dengan cara yang lebih kontekstual, inklusif, dan transformatif.
*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain dari Hanifa Paramitha Siswanti, atau artikel lain tentang Hari Pendidikan Nasional