CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #26: Suasana Desa di Tengah Kota
Komunitas sejarah di Bandung sering menjadikan Ciguriang sebagai salah satu destinasi napak tilas kampung di tengah kota.
Penulis Ernawatie Sutarna4 Mei 2025
BandungBergerak.id - Lahir, besar, berkeluarga, sampai beranak pinak di satu tempat yang sama bisa membuat kenangan kita begitu lekat di tempat itu. Setiap sudutnya seolah mampu kita ingat tanpa luput satu pun. Bahkan harum udaranya pun sering kali tercium tiba-tiba. Saya masih ingat, bahkan sampai tahun 2020, kesan kampung masih sangat melekat di daerah tempat tinggal saya itu.
Suatu saat, ketika sekolah diberlakukan program Pembelajaran Jarak Jauh, anak saya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar mendapatkan tugas menyetorkan foto kegiatan piknik yang dikumpulkan di whatsapp grup. Foto itu mendapatkan satu nyiyiran dari sesama orang tua murid. “Jiga di lembur wae difoto di di sisi kebon,” katanya, karena saya memang mengambil lokasi di pinggir kebun di depan rumah dengan menggelar tikar dan sejumlah makanan dan buku, sedangkan foto-foto lain banyaknya di teras rumah.
Saya sih, tak peduli yang penting tujuan dari tugas itu sudah terpenuhi dengan baik. Begitulah saking kentalnya suasana Kampung Dobi, Ciguriang, Kebon Kawung.
Tahun 1980-1990
Sebagai anak kecil, saya waktu itu sangat menikmati suasana lingkungan Kampung Dobi. Masih banyak lahan kosong yang menjadi tempat bermain yang menyenangkan. Di sebelah barat laut rumah ada tegalan cukup luas yang dipenuhi semak-semak liar, diseling beberapa pohon buah-buahan, menjadi salah satu tempat bermain saya dan saudara-saudara. Sehabis main, kaki yang bentol-bentol digigit nyamuk dari kebun yang ukurannya besar-besar, kulit kami bergaris-garis bekas garukan tangan. Atau sesekali telapak kaki berdarah karena terkena tusukan beling yang menembus sendal jepit yang sudah menipis.
Suasana kampung makin kental dengan suara binatang-binatang yang bersahutan. Ada domba, bebek, ayam, itik (meri - Sunda), dan anjing juga kucing yang berlarian. Memang ada kandang domba tepat di depan rumah abah, diselang dengan tempat jemuran yang luas, dengan tiang yang tinggi, serta rentangan tali diantaranya, saya ingan masih ada tali injuk yang dijadikan tali jemuran.
Hal yag menyenangkan saat tiba waktunya mencukur bulu domba. Domba diikat dalam posisi terbaring, lalu bulunya yang tebal digunting dengan menggunakan gunting hitam besar yang tajam. Biasanya Abah dan Ma Abah, kakek dan nenek saya yang mencukur domba itu. Kami cucu-cucunya sering menonton sambil berjongkok di sekeliling domba. Setelah selesai mencukur satu sisi badannya maka si domba akan dibalik posisinya untuk mencukur sisi lainnya.
Banyaknya hewan, seperti ayam, bebek dan itik membuat kami yang kadang berlarian tanpa alas kaki, berteriak kencang karena kaki kami bisa tiba-tiba saja menginjak ranjau berupa tikotok, kotoran ayam dan bebek.
Seperti anak-anak generasi 80-an lainnya yang juga sangat suka bermain kucing-kucingan, kami pun sangat suka melakukannya. Tempat bersembunyi kami sangat banyak. Di balik pohon, di balik semak-semak, di balik kandang ayam dan kandang bebek, atau berbaur dengan domba di kandangnya. Pohon jambu batu yang tumbuh di halaman rumah juga menjadi tempat bersembunyi favorit.
Beranjak ke sebelah barat laut, suara gelontoran air di pancuran Ciguriang, diseling gemerisik daun yang tertiup angin, serta riuh suara ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian di pagi hari sampai siang. Lalu disambung suara bedug bertalu yang menandakan waktu sholat dzuhur sudah tiba.
Suara cicit aneka burung, serta suara aneka serangga sering mewarnai pagi kami. Sesekali suara uncuing atau burung kedasih, terdengar melahirkan dugaan, ada orang yang akan meninggal dalam waktu dekat. Hal ini cukup menakutkan buat anak kecil seperti saya waktu itu. Menjelang musim kemarau suara turaes cukup nyaring terdengar di penjuru kampung karena ada satu pohon beringin besar, dan beberapa yang tidak terlalu besar, serta satu pohon Ki Acret besar yang sudah tua umurnya. Pohon-pohon besar lain juga menjadi tempat tinggal serangga-serangga itu.
Menjelang senja, kami turut sibuk mengandangkan hewan-hewan peliharaan. Menangkap ayam, menggiring bebek dan itik yang kadan bandel berlari dan terbang ke sana kemari. Setelah itu, kami antre mandi, lalu menonton televisi di rumah ua dengan listrik yang masih menumpang kontak pada tetangga yang lebih dulu mampu memasang aliran listrik.
Angin sudah mulai menyelusup di antara celah dinding bilik. Di luar mulai gelap, maka sudah waktunya para bapak menyalakan petromak, dan para ibu menyalakan lampu cempor. Ketika waktunya tidur, petromak dipadamkan, lalu lampu cempor menemani sampai pagi.
Di pagi hari para ibu mulai sibuk mirun seuneu, menyalakan api menghangatkan dapur untuk memasak. Dan seperti di kampung, Ma Abah pun mulai menata kayu bakar di dalam hawu dan menyalakannya dengan bantuan sedikit minyak tanah. Setelah menyala, sejumlah air di dalam seeng menunggu saat mendidih. Hal yang saat menyenangkan jika diam duduk di depan hawu untuk siduru, sesekali meniup bara api dengan menggunakan songsong, alat peniup berupa pipa tabung memanjang, biasanya terbuat dari bambu, tapi yang kami miliki waktu itu sebuah songsong dari pipa besi tipis. Jika kebetulan mempunyai singkong atau ubi, kami sering menguburnya dibawah ruhak atau bara api, istilah dalam bahasa Sunda disebut ngabubuy. Roti bakar pun kami buat dengan menyimpan roti tawar yang sudah diolesi mentega dan ditaburi gula pasir dengan menyimpannya di atas ram kawat yang kami gunakan sebagai alas roti di atas bara api.
Baca Juga: CIGURIANG. KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #24: Ngabungbang, Menikmati Purnama dalam Tradisi Sunda
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #25: Bulan Purnama dan Nini Anteh, Sebuah Cerita Masa Kecil
Tahun 1990-2000
Di awal tahun 1990, masih banyak yang belum memasang listrik di daerah kami, maka petromak menjadi sumber penerangan di malam hari. Tapi televisi sudah mulai banyak rumah yang memilikinya. Menyalakan tv pada waktu itu masih menggunakan accumulator atau aki. Menggemaskan ketika sedang seru-serunya menonton, tiba-tiba gambar di layar televisi mengecil karena energi aki habis. maka di pagi hari kami bapak akan menjinjing aki untuk di-stroom ulang di rumah kenalannya. Beliau dipanggil Aa, entah siapa namanya saya kurang tahu, hanya saja karena menyediakan jasa stroom aki, maka terkenallah dengan nama Aa Aki, tak lama Aa Aki berjualan bubur ayam, maka panggilan pun berubah menjadi Aa Bubur. Bandung banget.
Saya ingat betul di suatu saat di tahun 1991, saya duduk di bangku SMA. Suatu saat sekolah saya menjadi peserta pertandingan cerdas cermat di TVRI Bandung, saat pertandingan Cerdas Cermat yang diikuti sekolah saya tayang, saat itu pula akinya soak. Gambar di televisi hitam putih itu hanya sepotong saja. Wajah kakak-kakak kelas saya pun nampak zigzag. Saya menonton dengan setengah hati melihat penampakan kakak-kakak kelas saya yang memprihatinkan.
Pertengahan tahun 1990-an listrik sudah mulai merata. Sudah hampir semua memasang aliran listrik secara mandiri. Tapi suasana kampung masih saja kental terasa. Masih tetap banyak pepohonan, walaupun mata air Ciguriang sudah mulai berkurang airnya. Sesekali masih terdengar turaes dan uncuing, bedug dan dulag masih menemani di bulan puasa. Tapi tak lagi dengan semarak sinar petromak.
Di awal tahun 2000-an tak banyak perubahan berarti. Ciguriang tetap saja seperti sebuah kampung yang terjebak di belantara kota. Beberapa teman komunitas sejarah yang sering menjadikan Ciguriang sebagai salah satu destinasi napak tilas sering mengungkapkan keheranannya dengan suasana Ciguriang. Tapi memang seperti itulah adanya, sampai-sampai muncul statemen yang menyebut aneh ada kampung di tengah kota.
Sekarang sudah banyak perubahan yang dialami Ciguriang. Mulai banyak tumbuh rumah permanen menggantikan rumah-rumah bilik semi permanen peninggalan masa lalu. Satu harapan terbesar saya adalah terpeliharanya mata air Ciguriang, dan tidak dibiarkan musnah begitu saja. Karena banyak cerita sejarah yang masih bisa digali di sana.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung