CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #25: Bulan Purnama dan Nini Anteh, Sebuah Cerita Masa Kecil
Ada beragam versi cerita rakyat tentang Nini Anteh dan ada banyak lagu Sunda yang bertemakan bulan. Semua itu menemani anak-anak Ciguriang.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
27 April 2025
BandungBergerak.id - Pada tulisan yang lalu saya menulis tentang tradisi ngabungbang, yaitu tradisi menikmati cahaya bulan purnama dengan berkumpul bersama keluarga atau tetangga di halaman rumah, atau di lapangan terbuka. Salah satu cerita rakyat dari daerah Sunda yang berkaitan dengan ngabungbang yang dulu suka diceritakan Ma Abah (nenek) dan Ambu adalah kisah tentang Nini Anteh. Waktu dulu Ma Abah dan Ambu hanya menyampaikan kisah yang sederhana tentang seorang nenek yang tinggal di bulan ditemani seekor kucing yang bernama Candramawat. Lalu siapakah Nini Anteh itu?
Nini Anteh versi Cerita Rakyat
Ada beberapa versi cerita rakyat tentang Nini Anteh. Namun, yang umum diketahui adalah kisah tenteng seorang gadis piatu yang bernama Nyi Anteh. Konon Nyi Anteh hidup menderita, walaupun ada ibu sambung yang dinikahi sang ayah setelah ibunya meninggal dunia, nyatanya Nyi Anteh diperlakukan kurang baik oleh ibu sambungnya tersebut. Bukan hanya menderita secara fisik, bahkan Nyi Anteh sering kali kekurangan makan, tak pernah perutnya terisi makanan sampai kenyang.
Pernah suatu saat, ketika memberi makan Nyi Anteh, sang ibu sambung menggetok kepala Anteh dengan menggunakan aseupan (alat pengukus nasi dari anyaman bambu yang berbentuk kerucut), tentu saja banyak remahan nasi menempel di rambut Nyi Anteh. Ketika sang ayah bertanya pada istrinya, apakah Nyi Anteh diberi makan, ibunya menjawab, “ Puguh we nepi ka seubeuh, gagaro sirah ge ku leungeun nu ramiping ku remeh [Tentu saja, sampai kenyang, menggaruk kepala saja dengan tangan yang masih belepotan nasi,” ujar istrinya.
Hal itu terjadi terus menerus sampai suatu saat Nyi Anteh tidak tahan lalu sambat di kuburan ibunya. Nyi Anteh mengungkapkan kesedihan dan mengadu bahwa dia tak pernah diberi makan sampai kenyang. Lalu dari kuburan ibunya muncul setandan pisang, sejak itu Nyi Anteh tak pernah kelaparan karena selalu makan pisang untuk mengenyangkan perutnya. Tapi penderitaan itu kembali datang ketika ibu sambungnya mengetahui apa yang dialami Nyi Anteh. Pisang yang muncul dari kuburan ibu Anteh dirampasnya. Nyi Anteh pun menangis sepanjang malam di kuburan ibunya.
Tiba-tiba sebuah pelangi turun dari langit beserta para bidadari yang menjemput Nyi Anteh. Anteh dibawa menuju bulan membawa seekor kucing dari kuburan ibunya, lalu diasuh para bidadari, diajari memintal benang dan menenun. Dan Nyi Anteh hidup bahagia di bulan menenun bersama kucingnya sampai tua.
Baca Juga: CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM KENANGAN #22: Pabrik Kina dan Penanda Waktu
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #23: Nganteuran, Tradisi Lebaran Perlahan Hilang
CIGURIANG. KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #24: Ngabungbang, Menikmati Purnama dalam Tradisi Sunda
Nini Anteh versi C.M Pleyte
Ada cerita tentang Nini Anteh yang ditulis dalam buku “De Indlandsche Nijverheid West Java Social-ethnologisch Verschijnsel” yang terbit pada tahun 1912. Cerita versi Cornelis Marinus Pleyte ini menceritakan bahwa Nyi Anteh adalah putra dari seorang pemburu yang kencing di hutan dan air kencingnya diminum seekor kucing yang akhirnya hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang cantik. Anak perempuan dan kucing itu dipelihara dengan baik oleh sang pemburu.
Sampai suatu saat sang pemburu mempunyai seorang istri, yang ternyata berlaku buruk pada anak perempuan serta kucing peliharaannya. Dan akhirnya karena tidak tahan dengan perlakuan buruk ibu tirinya, si anak perempuan yang bernama Anteh itu melarikan diri ke hutan. Sambil menyenadungkan lagu sedih tentang kisah hidupnya, Anteh dan kucingnya menyusuri hutan sampai ia menemukan sebatang pohon nibung, pohon sejenis palem. Anteh membawa kucingnya memanjat pohon nibung tersebut. Anehnya. pohon itu terus bertambah tinggi sampai mancapai langit. Setelah tiba di langit, turunlah sebuah tangga emas dari bulan. Anteh dan kucingnya menaiki tangga emas sampai ke bulan. Di bulanAnteh diurus oleh bidadari dan diberi pekerjaan memintal benang dan menenun. Itu dilakukannya sampai dewasa dan menua. Ketika sudah beranjak tua dia dipanggil sebagai Nini Anteh.
Pleyte, netnograf kelahiran Belanda yang meninggal di Batavia, menuliskan cerita Nini anteh ini berdasarkan cerita lisan yang beredar di masyarakat secara turun temurun. Mungkin ada versi yang lain lagi tentang cerita Nini Anteh ini yang beredar secara lisan di masyarakat, penulis sendiri mengenal cerita Nini Anteh di masa kecil seperti versi cerita rakyat yang pertama.
Selain cerita rakyat, keindahan bulan khususnya bulan purnama juga mengilhami terciptanya lagu-lagu berbahasa Sunda. Cukup banyak lagu Sunda yang bertemakan bulan, di antaranya lagu Ngabungbang yang dinyanyikan Tati Saleh dan kawih kaulinan berjudul Bulantok. Musisi yang menciptakan lagu bertema bulan misalnya kang Ibing yang sempat meciptakan kawih berjudul sama yaitu Ngabungbang. Ada juga Nyawang Bulan yang dibawakan oleh Ida Widawati; Ka Bulan dibawakan Nining Meida; Bulan Batu Hiu, diciptakan dan dibawakan oleh musisi Doel Sumbang; dan tentu saja lagu legendaris Bubuy Bulan yang diciptakan Benny Corda, dan masih banyak lagi lagu Sunda yang bertemakan bulan lainnya.
Bulan purnama, ngabungbang, cerita rakyat tentang Nini Anteh, serta lagu-lagu Sunda tentang bulan dan keindahannya, menjadi salah satu kenangan masa kecil kami di kampung Ciguriang. Hal-hal yang jarang terjadi lagi, bahkan mungkin tidak akan bisa diulang kembali pada saat ini mengingat situasi dan kondisi Ciguriang yang sudah banyak berubah. Tapi tentu saja akan tetap menjadi bahan cerita kami pada anak cucu kelak bahwa ada sebuah kampung bernama Ciguriang di tengah Kota Bandung yang banyak sekali menyimpan cerita yang menarik.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung