• Kolom
  • CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM KENANGAN #22: Pabrik Kina dan Penanda Waktu

CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM KENANGAN #22: Pabrik Kina dan Penanda Waktu

Saya beberapa kali mengunjungi Pabrik Kina, termasuk menelusuri terowongan bawah tanah yang melintasi ruas Jalan Pajajaran, Bandung.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Terowongan bawah tanah Pabrik Kina, Jalan Pajajaran, Bandung. (Foto: Ernawatie Sutarna)

17 Maret 2025


BandungBergerak.idPenanda waktu yang sangat umum kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah jam, entah itu jam tangan, jam dinding, ataupun jam yang terdapat dalam setiap telepon seluler. Tapi kami, warga Ciguriang, Kebonkawung, dan sekitarnya, pada masa lalu memiliki satu panduan waktu yang kami jadikan penanda untuk melakukan rutinitas, yaitu suara peluit Pabrik Kina.

Bandoengsche Kininefabriek NV. atau pabrik Kina Bandung

Di sudut Jalan Pajajaran dan Jalan Cicendo, kita masih bisa melihat satu bangunan yang mempunyai cerobong tinggi berwarna belang-belang merah putih. Gedung milik PT. Kimia Farma itu memiliki peran yang sangat besar dalam sejarah perkembangan Kota Bandung, dan menorehkan kenangan yang cukup berkesan dalam ingatan sebagian besar warganya.

Bandoengsche Kininefabriek NV., atau warga Bandung mengenalnya dengan sebutan Pabrik Kina, adalah salah satu peninggalan Belanda di Indonesia, khususnya di Bandung. Pabrik ini didirikan pada tanggal 29 Juni 1896, sebagai salah satu reaksi atas wabah malaria yang sempat memakan banyak korban warga Eropa di Batavia. Kina adalah obat yang ampuh untuk melawan malaria. Karena wabah itu pemerintah Hindia Belanda memerlukan banyak obat kina, dan tentu saja untuk menghasilkan obat-obat itu dibutuhkan sebuah pabrik pengolahan kina.

Maka dibangunlah pabrik kina dengan melibatkan seorang arsitek bernama Gmelig Mijling, keterangan ini juga bisa kita temukan dalam sebuah plakat cagar budaya yang terletak di salak satu dinding tepat di sudut belokan Pajajaran ke arah Jalan Cicendo. Plakat yang letaknya tersembunyi, nyaris tidak bisa disadari bahwa ada satu penanda bangunan cagar budaya, jika tidak mengamati dengan seksama, apalagi ditambah dengan keadaan sekitar trotoar dan dinding yang kotor dan kusam.

Bandoengsche Kininefabriek NV., selanjutnya akan penulis sebut Pabrik Kina saja, didirikan oleh Mr. Carel Willem Baron van Heeckeren, seorang advokat dan pengusaha yang tinggal di Semarang.  Tentang Mr. Carel Willem Baron van Heeckeren ini bisa teman-teman baca pada artikel yang ditulis kang Atep Kurnia, Pendiri Pabrik Kina, di Bandung Bergerak.  

Pabrik Kina sendiri pernah menjadi pemasok terbesar serbuk kina di dunia sampai menjelang Perang Dunia. Pabrik Kina tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan industri farmasi di Idonesia. Karena itu Pabrik Kina tidak hanya menjadi saksi sejarah perkembangan Kota Bandung, tidak hanya sebagai satu tempat memproduksi serbuk dan tablet kina saja, tapi juga menjadi satu situs sejarah yang mengiringi perkembangan industri farmasi di Indonesia. Perjalanan dan usianya yang begitu panjang dan menjadi saksi berbagai dinamika perkembangan Bandung dalam berbagai era sejarah.  

“Geura aribak, tos ngaheong...!”

Yang menjadi salah satu ciri khas Pabrik Kina adalah suara peluitnya yang melengking tinggi. Konon pada masa Bandung baheula, suara peluit Pabrik Kina bisa terdengar sampai ke beberapa bagian wilayah Bandung yang letaknya cukup jauh dari lokasi Pabrik Kina. Mungkin hal itu karena kondisi Bandung yang masih memiliki udara yang bersih, bagus, serta masih sedikit bangunan yang terdapat di Kota Bandung pada saat itu.  

Untuk kami, warga Kebonkawung dan sekitarnya seperti Babakan Ciamis, Pasirkaliki, Pamoyanan, Wastukancana, dan lain-lain, Pabrik Kina mempunyai peran penting dalam rutinitas kegiatan kami. Pada saat itu, sependek ingatan saya, ketika saya akan pergi bersekolah di SDN Pasirkaliki 96, saya akan diingatkan ibu saya untuk segera berangkat sekolah jika peluit Pabrik Kina sudah berbunyidi pagi hari. Pada tahun 1980-an, peluit Pabrik Kina akan berbunyi, ngaheong, pada pukul setengah tujuh pagi sebagai penanda karyawan memulai pekerjaannya. Peluit pagi itu menjadi panduan kami yang harus masuk kelas pukul tujuh untuk segera berangkat sekolah agar tidak terlambat.

Dan jika kami bersekolah siang, peluit penanda pekerja beristirahat yang berbunyi pukul 11.30, menjadi penanda bahwa kami harus bersegera berangkat bersekolah. Teman-teman atau sepupu, yang akan berangkat bersama akan nyampeur dan berkata, “Ennaaa, hayu urang angkat ayeuna, tos ngaheong...! [Ennaaa, hayu kita berangkat sekarang, (peluit Pabrik Kina) sudah bunyi...!]”.

Dan kami pun akan beriringan berjalan kaki melalui Jalan Haji Mesri, Jalan Mohamad Yunus, Jalan Somawinata, untuk sampai ke sekolah. Terkadang kami juga melalui gang-gang seperti gang Siti Salsah dan gang Mohamad Yunus yang ada beberapa lorong. Jika bertemu teman-teman lain yang juga berangkat bersekolah dengan berjalan kaki, maka kami akan bergabung dan ngaleut menuju sekolah.  

Sore hari, jika peluit jam pulang karyawan pada pukul 15.00 berbunyi maka ibu kami pun akan memanggil kami yang masih asyik bermain untuk segera mandi sore, “Geura aribak, tos ngaheong...! [Cepat pada mandi, (peluit Pabrik Kina) sudah berbunyi..!].

Ya, suara Si Heong, peluit Pabrik Kina itu sangat lekat pada kehidupan kami, pengingat rutinitas kegiatan kami sehari-hari, bahkan pada generasi sebelum kami juga. Jauh sebelum itu, berpuluh tahun sebelumnya, orang tua kami juga mengalami hal yang sama. Dan mengingat Pabrik Kina yang berdiri sejak zaman pemerintahan kolonial, bukan tak mungkin hal yang sama juga terjadi pada generasi-generasi sebelumnya.

Baca Juga: Ciguriang, Kampung Dobi dalam Ingatan #19: Batu Nisan yang Pecah
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #20: Nuansa Ramadan di Masa Lalu
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #21: Ngabuburit Cara Anak-anak Bandung Baheula

Pabrik Kina Kini 

Beruntung sekali, aktivitas saya sebagai peminat sejarah, memberikan saya kesempatan untuk berkunjung beberapa kali ke dalam lokasi situs bersejarah ini. Kunjungan pertama di tahun 2018, bersama satu komunitas sejarah Heritage Lover, membuat saya berkesempatan menyusuri setiap sudut Pabrik Kina. Tapi itu tidak membuat saya puas, kunjungan berikutnya di tahun 2023 bersama Komunitas Sahabat Heritage Indonesia, menambah wawasan saya tentang Pabrik Kina. Dan ketika Sahabat Heritage Indonesia kembali mengadakan kunjungan ke Pabrik Kina di awal tahun 2025, saya masih bersemangat untuk mengeksplor lagi area pabrik ini.   

Dan memang, selain terowongan legend yang menembus bawah tanah melintasi ruas Jalan Pajajaran, yang tak bosan saya lintasi setiap kali berkunjung ke sana, saya mendapatkan banyak pengetahuan baru, dan ruangan serta area baru yang belum pernah dikunjungi pada kunjungan sebelumnya.  Walaupun Pabrik Kina sekarang banyak meninggalkan ruangan kosong yang pengap berdebu, dan terbengkalai, setiap dindingnya menjadi saksi sejarah peradaban Kota Bandung, sangat disayangkan jika dibiarkan kesepian dan tak terpelihara di masa tuanya.

 

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//