CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #23: Nganteuran, Tradisi Lebaran Perlahan Hilang
Tradisi nganteuran sempat hidup di kamppung Ciguriang tahun 1960 sampai tahun 1970an. Orang Garut, Tasik, Ciamis, dan lainnya membawa tradisi ini ke Bandung.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
24 Maret 2025
BandungBergerak.id - Hari Raya Idul Fitri atau lebaran makin dekat. Di media sosial mulai banyak tayangan story tentang mengirim atau menerima hampers atau bingkisan berisi aneka macam benda atau makanan. Bingkisan ini dikirim seseorang atau instansi pada keluarga atau relasi sebagai tanda kasih, penghormatan, dan hadiah dengan aneka kemasan cantik dalam wadah-wadah yang tak kalah elok.
Tradisi mengirim hampers ini cukup menjadi tanda bahwa si penerima memiliki banyak relasi, mempunyai hubungan baik di lingkungan sosialnya. Tak jarang jenis hampers juga menunjukkan kelas sosial si pengirim. Lalu sejak kapan tradisi ini hadir di tengah masyarakat kita?
Nganteuran, Tradisi Urang Sunda Menjelang Lebaran
Sejak zaman dahulu, ada satu tradisi di kalangan masyarakat Sunda yang dilakukan menjelang hari lebaran yang serupa tradisi saling mengirim hampers pada masa kini. Tradisi itu dikenal dengan sebutan nganteuran. Nganteuran sendiri berasal dari kata anteur, bahasa Sunda yang artinya antar. Jadi nganteuran bisa diartikan mengantar. Lalu apa yang diantar?
Menjelang hari raya, ada kebiasaan masyarakat Sunda untuk saling berbagi makanan pada sanak saudara dan tetangga sekitarnya. Tradisi yang berlangsung turun temurun ini tersebar di beberapa wilayah di Tanah Sunda, termasuk di Bandung tentunya. Di hari-hari akhir menjelang Idul Fitri, para perempuan banyak berlalu lalang di dalam kampung, saling berpapasan di jalan, dengan membawa sesusun rantang atau nampan yang berisi aneka makanan khas lebaran, seperti ketupat, sayur opor, ase cabe, sambal goreng kentang, gepuk, dan banyak macam lagi.
Makanan itu mereka bawa untuk diantar kepada para tetagga dan kerabat. Lalu tetangga dan kerabat yang mendapat kiriman makanan akan mengembalikan rantang dan wadah kepada pemiliknya tidak dalam keadaan kosong, tapi dengan berisi makanan lain yang bisa jadi serupa dengan yang mereka terima, karena hampir semua keluarga memasak menu yang hampir sama pada waktu yang bersamaan. Hanya saja mungkin masing-masing keluarga mempunyai resep khas yang menjadi ciri dari masakannya.
Banyak makna yang tersirat di dalam berlangsungnya tradisi ini. Silaturahmi dan mengikat rasa kekeluargaan di antara tetangga adalah hal yang utama. Selain itu ada hikmah yang bisa diambil yaitu rasa empati dan peduli pada tetangga yang mungkin tidak berkesempatan untuk mempersiapkan menu khas lebaran karena berbagai alasan sehingga bisa sama-sama menikmati menu makanan yang mungkin jarang mereka temui di hari-hari biasa, selain di hari lebaran.
Karena menu yang saling dikirimkan cenderung sama, ada kebiasaan lucu yang konon terjadi pada kegiatan tradisi nganteuran ini. Karena makanan berlimpah, penerima mensiasatinya dengan mengirim kembali pada tetangga lain. Tentu dengan kehati-hatian yang ekstra agar makanan tidak terkirim pulang pada pengirim asal. Dengan demikian, tidak ada makanan yang terbuang dan mubazir, karena termanfaatkan dengan baik. Yang paling tepat berbagi pada mereka yang memang sangat membutuhkan.
Baca Juga: CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #20: Nuansa Ramadan di Masa Lalu
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #21: Ngabuburit Cara Anak-anak Bandung Baheula
CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM KENANGAN #22: Pabrik Kina dan Penanda Waktu
Nganteuran di Ciguriang
Lalu apakah tradisi ini ada dan dilakukan di kamppung Ciguriang, Bandung? Ya, tentu saja. Penduduk Ciguriang yang merupakan banyak pendatang dari Garut, Tasik, Ciamis, dan banyak tempat lain, membawa tradisi itu ke Bandung. Di tahun 1960 sampai tahun 1970 an tradisi itu masih ada. Di masa kecil dan remajanya, Ambu dan Ua sebagai anak perempuan mengalami kegiatan antar mengantar makanan menjelang lebaran ini.
Bersama tetangga yang belum begitu banyak menghuni kampung Ciguriang, mereka saling berbagi masakan khas lebaran, juga menggunakan rantang susun yang mereka jinjing. Sesekali mereka berpapasan dengan warga kampung lain misalkan dari Cicendo atau Mohamad Yunus yang sama-sama “bertugas” mengantar makanan. Tradisi itu menghadirkan suasana hangat dan akrab antartetangga dan saudara. Sehingga tidak ada tetangga yang hanya bisa menikmati wangi masakan tetangganya. Semua bergembira menyambut hari kemenangan.
Saat ini mungkin sangat sulit ditemukan tradisi nganteuran di mana orang-orang berduyun-duyun menjinjing rantangan berisi masakan rumahan. Saya sendiri di tahun 1980 sampai 1990-an, sudah jarang melihat hal tersebut. Yang saya ingat waktu itu setiap menjelang hari raya, bapak selalu mendapatkan bingkisan berupa kue atau biskuit kalengan, sarung, kemeja, atau kaos. Dan kaos itu sering jadi incaran kami anak-anaknya jika ukurannya kecil tidak muat di badan bapak. Lalu jangan kaget ketika tiba-tiba berpapasan dengan tetangga yang memakai kaos yang sama persis, karena mungkin berasal dari sumber yang sama.
Sekarang tradisi saling mengirim masakan rumah sudah berganti menjadi saling berbagi makanan yang lebih modern, atau hadiah yang tidak lagi berupa makanan. Banyak macam isi bingkisan lebaran atau hampers, ada yang berupa kue kering khas lebaran seperti nastar, kastengel, kue semprit, atau makanan tradisional seperti surabi, onde-onde, dan jajanan pasar lain yang dikemas cantik, biskuit kemasan kaleng, bahkan pakaian dan peralatan dapur. Maksudnya sama, mengeratkan ikatan silaturahmi dengan berbagi hadiah dan tanda kasih.
Baju Bedug dan Salam Tempel
Lebaran dianjurkan memakai pakaian terbaik. Hal ini banyak diterjemahkan dengan “memakai pakaian baru”. Ada istilah lucu yang digunakan urang Sunda pada baju lebaran. Tradisi memukul bedug atau ngadulag yang dilakukan di hari Idul Fitri melahirkan istilah baru untuk baju lebaran, yaitu baju bedug atau baju dulag. Warga berbondong-bondong pergi ke pasar-pasar untuk berbelanja baju baru untuk dipakai di hari raya. Yang banyak dituju warga Bandung saat itu di tahun 1980-an dan mungkin sebelumnya adalah Pasar Baru.
Memori masa kanak-kanak saya salah satunya adalah membeli pakaian baru untuk lebaran ke Pasar Baru. Bersama ibu, ua, kakak, adik dan para sepupu, kami berbondong-bondong berjalan kaki ke Pasar Baru. Kadang muka kami sampai pucat karena berpuasa dan harus berjuang di tengah sesaknya orang-orang yang juga berbelanja mencari baju bedug. Sering kali badan kami yang kecil terdorong dan terhimpit badan-badan yang lebih besar, melelahkan, tapi melahirkan senyum lebar di hari raya karena kami bisa menunjukan pakaian terbaik kami sama seperti anak-anak lainnya.
Di hari raya, dengan memakai pakaian, sendal atau sepatu baru yang masih beraroma toko bersama anak-anak lain, kami akan berkeliling ke rumah-rumah tetangga untuk bersilaturahmi. Hal ini menyenangkan karena ada beberapa tetangga yang suka memberi kami salam tempel dan itu akan sangat menyibukkan kami ketika acara silaturahmi selesai di penghujung hari, karena kami akan bekerja keras menghitung THR yang kami terima di hari itu.
Di masa sekarang semua atau sebagian mungkin masih berlangsung dengan kondisi sesuai keadaan yang berlaku kini. Tetapi mengingat kenangan masa kecil adalah salah satu keistimewaan yang bisa kita lakukan sekarang. Bisa melakukan hal serupa yang lebih baik dan menghasilkan lebih banyak manfaat juga menjadi program lebaran yang bagus untuk kita laksanakan, dalam situasi yang serba penuh kejutan akhir-akhir ini.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung