• Kolom
  • CIGURIANG. KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #24: Ngabungbang, Menikmati Purnama dalam Tradisi Sunda

CIGURIANG. KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #24: Ngabungbang, Menikmati Purnama dalam Tradisi Sunda

Ngabungbang, tradisi yang dijalankan masyarakat Sunda zaman dulu di saat bulan purnama. Memadukan unsur Islam dan budaya.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Warga dan santri pawai obor sebelum bermain sepakbola api usai salat Isa berjamaah saat peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1445 H di Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, 18 Juli 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

20 April 2025


BandungBergerak.idKawih Sunda yang dibawakan juru kawih terkenal Tati Saleh itu saya dengar waktu kecil dari pita kaset yang diputar ayah saya di radio tape. Lagu ini bercerita tentang suasana ngabungbang, yang biasa dilakukan masyarakat Sunda pada masa lalu.

Ngabungbang yu hayu ngabungbang

Caang bulan ieuh tuh di buruan

Hayu batur di dieu urang ngariung

Sukan-sukan, gogonjakan, sisindiran miceun kabingung 

Tuh di bulan Nini Antéh jeung ucing na

Ninun sarung jualeun ka Majalaya

Susuganan arék waléh ka manéhna

Ngan sok bingung kumaha lamun sulaya 

[Ngabungbang mari ngabungbang. Terang bulan tuh di halaman. Ayo teman di sini kita berkumpul. Bersuka ria, bercanda, sisindiran membuang bingung. Tuh di bulan Nini Anteh dan kucingnya. Menenun sarung untuk dijual ke Majalaya. Niat mau berterus terang padanya. Hanya suka bingung bagaimana kalau ingkar janji]. (Ngabungbang, Tati Saleh)

Ngabungbang sendiri adalah kegiatan masyarakat Sunda untuk menikmati cahaya bulan purnama, biasanya dengan duduk-duduk di beranda atau di halaman rumah atau di lapangan dengan menggelar tikar. Anak-anak biasanya menikmatinya sambil bermain bersama teman sebaya.

Salah satu teman penulis, Kang Ricky bercerita bahwa pada masa kecilnya di daerah Sekeloa  saat bulan purnama, dia dan teman-temannya bermain di lapangan. Mereka menikmati terangnya cahaya bulan sambil sesekali ngawih lagu Bulantok. "Bulantok bulantok aya bulan sagede batok... dst".

"Ngabungbang teh neuteup bulan sawewengi henteu kulem. Biasana jalma nu nuju nawajuhan elmu, kayaning asihan, kadugalan. Sste. Tapi aya oge nu ukur resep we cicing di buruan dina keur caang bulan 14, (purnama) [Ngabungbang itu memandang bulan semalaman, tidak tidur (begadang), biasanya mereka yang sedang menekuni ilmu, seperti asihan (pelet) dan tahan senjata (kebal). Dan lain-lain. Tapi ada juga yang sekadar berdiam di halaman rumah menikmati terang bulan purnama]," ungkap wa Us Tiarsa, saat penulis bertanya tentang makna ngabungbang.

Pak Sam Askari pun menambahkan bahwa selain menikmati cahaya bulan purnama di alam terbuka, ngabungbang juga mempunyai arti khusus pada sekelompok kecil masyarakat Sunda yang mengaitkan dengan ritual yang biasa dilakukan di bulan purnama tanggal 13 atau 14 bulan Mulud. Hal ini selaras dengan yang penulis temukan di Wikipedia, yaitu: 

“Ngabungbang berasal dari kata "nga" dan "bungbang". "Nga" berarti ngahijikeun atau menyatukan. "Bungbang" berarti membuang atau membersihkan. Bila diartikan keseluruhan, ngabungbang adalah mandi suci dengan niat menyatukan cipta, rasa, dan karsa untuk membuang semua perilaku tidak baik, lahir ataupun batin. Ngabungbang adalah sebuah tradisi yang dijalankan sejak bertahun-tahun silam. Bagi mereka yang percaya dan meyakini tradisi itu digunakan sebagai ajang olah lelaku batin".

Baca Juga: CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #21: Ngabuburit Cara Anak-anak Bandung Baheula
CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM KENANGAN #22: Pabrik Kina dan Penanda Waktu
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #23: Nganteuran, Tradisi Lebaran Perlahan Hilang

Ngabungbang di Ciguriang 

Seorang saudara bertanya, "Tos nyerat soal ngabungbang, teu acan? Sudah menulis tentang ngabungbang belum?", dia membuka cerita.

Lalu disampaikanlah pengalaman bahwa dia dan para saudara yang lain pernah mengalami itu di waktu kecil. Yang dia ingat adalah tiris, kedinginan.

"Abdi ngalaman, digugahkeun tengah wengi, dipiwarang nyurug di Ciguriang [Saya mengalami, dibangunkan tengah malam, disuruh mandi di bawah pancuran Ciguriang]," ini pangalaman seru menurut saya, ketika beberapa orang anak dibangunkan tengah malam dan mandi di bawah pancuran air yang tentu saja dingin. 

Harita tengah wengi, reuwas oge digugahkeun, maklum budak keneh, masih SD. Nyurug di pancuran Ciguriang, emut keneh tirisna [Waktu itu tengah malam, kaget huja tiba-tiba dibangunkan tengah malam, maklum anakl kecil masih SD. Mandi di bawah pancuran Ciguriang, masih ingat rasa dinginnya],” ujarnya.

Peristiwa ini terjadi sekitar akhir tahun 1980-an, saat saudara saya masih duduk di sekolah dasar. Bisa jadi tidak hanya saudara saya itu yang mengalami hal unik seperti itu, tapi juga ada orang lain yang mengalami hal yang sama.

Ciguriang sebagai mata air besar saat itu memang bisa jadi menjadi tempat dilakukannya kegiatan berdasar pada kepercayaan tradisi Sunda. Bahkan saya pernah mendengar cerita ibu-ibu hamil yang mandi di Ciguriang pada saat terjadinya gerhana bulan. Kepercayaan sebagian masyarakat pada tradisi memang masih cukup kental pada saat itu. Di masa sekarang hal tersebut bisa saja masih dilakukan di tempat-tempat lain. Saya sendiri mengalami dan memaknai ngabungbang sebagai salah satu kegiatan menikmati keindahan alam dengan cahaya bulan bersama keluarga di tempat terbuka seperti di halaman rumah, atau di lapangan. Suatu pemahaman yang direkam dan dicerna seorang bocah sesuai usianya.

Pemahaman ngabungbang yang lain dalam kacamata Islam disampaikan Kang Ricky seperti ini:

"Nya saleresna dina konteks islamized (Islam word view) mah ngabungbang teh tiasa dianggo tadabur alam..., menikmati keindahan alam sekaligus mengaji ayat-ayat yang didapatkan pada fenomena alam."

Hal ini, menurut Ricky, bisa dengan menyampaikan pada anak-anak atau keluarga kita tentang peristiwa Nabi Muhammad SAW membelah bulan untuk menjawab keraguan penduduk Makkah akan kenabian dan kerasulannya.

Terlepas dari pemahaman dari sisi manapun, bulan purnama memang satu fenomena alam yang bisa memberikan kesan untuk orang-orang dari kalangan dan latar belakang apa pun. Jadi pemahaman ngabungbang dari berbagai sisi menjadi sebuah pengayaan ilmu pengetahuan budaya dan religi yang sesuai dengan latar belakang masing-masing.

Pada teks lagu Ngabungbang yang dibawakan Tati Saleh, yang saya tulis di atas ada kalimat: "Tuh di bulan Nini Antéh jeung ucing na. Ninun sarung jualeun ka Majalaya".

Sejak zaman dulu, urang Sunda sudah mengenal sosok bernama Nini Antéh dan kucingnya yang bernama Candramawat. Cerita rakyat yang disampaikan turun-temurun bahwa Nini Antéh dan sang kucing tinggal di bulan.  Setiap waktu bulan purnama, bayangan Nini Antéh dan sang kucing nampak jelas di permukaan bulan yang terang benderang. Nampak Nini Antéh seolah sedang ngantéh, membuat kantéh, serat-serat benang dari kapas yang nantinya akan ditenun menjadi selembar kain. Tentu saja ditemani kucingnya si Candramawat. 

Jika bulan purnama tiba, coba carilah penampakan Nini Anteh pada permukaan bulan, dan tolong tanya apakah sarung tenunnya sudah selesai ditenun dan siap dijual ke Majalaya?

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//