• Narasi
  • Jangan Biarkan “Walid” Lahir di Dunia Nyata

Jangan Biarkan “Walid” Lahir di Dunia Nyata

Karena agama itu cahaya, bukan alat sulap buat menutupi gelapnya niat.

Ibram Ibrahim

Penulis Tinggal di Bandung

Tangkapan layar sinetron Bidaah. (Foto: viu.com)

7 Mei 2025


BandungBergerak.id – Belakangan ini, dunia maya sedang digegerkan oleh satu nama: “Walid”. Bukan Walid bin Abdul Malik, bukan juga Walid yang suka ngutang di warung tapi ngeles kayak diplomat. Walid yang ini adalah karakter dari drama Malaysia yang tayang di VIU, judulnya Bidaah, drama yang kalau ditonton bikin campur aduk antara kesel, sedih, dan pengen nimpuk layar.

Saya tidak akan kasih spoiler karena, percaya deh, sudah banyak banget yang bahas itu. Tapi saya mau bahas satu hal saja: “fenomena Walid”. Sosok yang bisa dibilang cermin dari kenyataan. Ya, kenyataan bahwa masih ada orang-orang yang menjadikan agama sebagai alat dagang, modal politik, bahkan tameng dari dosa-dosa sosial.

Karakter Walid ini rasanya tidak asing. Bahkan, bisa dibilang dekat sekali dengan realitas kita. Sebagai masyarakat yang dikenal religius, kita sering melihat figur-figur yang mengatasnamakan agama demi kepentingan pribadi, baik itu popularitas, kekuasaan, atau sekadar disanjung-sanjung di pengajian kompleks.

Dalam tradisi Islam, tipe-tipe seperti ini disebut sebagai ulama su’ . Ciri-cirinya sudah disebutkan dalam banyak hadis: menjual ilmu demi dunia, menyembunyikan ilmu yang seharusnya disampaikan, dan ikut campur dalam urusan umum tanpa kapabilitas. Kalau kata Rasul, orang-orang seperti ini justru dapat azab paling pedih di akhirat. Tapi ya, tetap saja laku di dunia. Ironi yang menyayat, tapi ya begitulah realitasnya.

Baca Juga: Kerusakan Bumi dalam Perspektif Lintas Agama dan Budaya
Diskusi Lintas Agama, Mendorong Negara untuk Tidak Melakukan Pelanggaran Kebebasan Beragama Berkeyakinan
Perempuan dalam Bayang-bayang Agama, Perspektif Buddhis dan Bahai

Religiusitas

Kita hidup di Indonesia, negeri yang saking religiusnya, jargon-jargon agama udah kayak seasoning makanan: selalu ada, meski enggak selalu terasa. Mulai dari baliho caleg yang pakai ayat, sampai iklan sirop yang mendadak religius tiap Ramadan. Sayangnya, kondisi ini juga membuka ruang buat lahirnya “Walid-Walid” lokal.

Indonesia memang negara religius. Mulai dari rutinitas ibadah sampai simbol-simbol keagamaan semua ada. Bahkan sila pertama Pancasila saja sudah menegaskan posisi agama dalam kehidupan berbangsa. Tapi religiusitas ini, alih-alih bikin masyarakat makin kritis dan cerdas, justru kadang jadi ladang subur buat tumbuhnya para Walid di dunia nyata. Bukan karena kita bodoh, tapi karena kita terlalu mudah percaya. Asal pake jubah, pasti benar. Asal ngomongnya “insyaAllah”, pasti amanah.

Ingat kata Tan Malaka? Salah satu penyebab macetnya kemajuan bangsa adalah masih kuatnya logika mistika dalam masyarakat. Mungkin itulah yang membuat dalam Pemilu 2024 kemarin, isu agama dan politik identitas kembali laris. Fatwa-fatwa aneh mendadak muncul, dan anehnya, masih banyak yang percaya. Di tengah era internet super cepat, kita masih bisa dikibulin dengan narasi surga dan neraka.

Saya jadi sadar, ternyata agama itu enggak cukup dipeluk. Harus juga dipahami. Kata Buya Said, agama adalah kebenaran, dan kebenaran hanya bisa dicapai dengan ilmu. Maka beragama itu juga butuh belajar. Bukan cuma hafalan ayat, tapi juga pemahaman konteks. Bukan cuma ikut-ikutan, tapi juga berpikir.

Prof. Quraisy Shihab juga pernah bilang: Agama itu bernalar, meski tidak semua hal dalam agama bisa dijelaskan dengan nalar. Ada bagian dari agama yang bisa didekati dengan logika, tapi ada juga bagian yang memang harus diyakini. Seperti iman. Seperti surga. Seperti Tuhan. Tapi bukan berarti semua omongan ustaz harus diterima tanpa mikir, apalagi kalau sudah mulai jualan “surga versi dia sendiri”.

Makanya, saya kadang geli sendiri lihat orang yang terlalu agresif ngasih ceramah. Enggak boleh debat, enggak boleh tanya, nanti dianggap kafir. Lho, ini dakwah atau intimidasi? Agama itu menerangi, bukan alat sulap untuk menakut-nakuti.

Masyarakat yang Rentan

Saya pernah datang ke satu forum kajian, isinya ngajak jemaah buat “meraih surga dalam 3 langkah cepat”, serius. Kayak promosi MLM. Beli air doa, ikut arisan pahala, terus posting testimoni di Instagram. Kalau rajin, katanya bisa langsung naik derajat di akhirat. Saya jadi mikir, ini dakwah apa semacam diskon Shopee 3.3?

Yang lebih menyedihkan, masyarakat kerap berada di posisi rentan. Saat hidup makin sulit, mereka butuh harapan. Lalu datanglah Walid-Walid ini menawarkan “solusi surgawi” yang instan. Beli air rukiah, ikut kajian ini, cobain sedekah itu – semuanya dijanjikan bisa menyelesaikan masalah dunia. Padahal, dunia ini bukan supermarket spiritual yang bisa diselesaikan dengan voucher pahala.

Saya kadang membayangkan, gimana kalau para Walid ini punya semacam sertifikasi layaknya driver ojek online. Kalau enggak bener, bintang satu. Kalau menyesatkan, akunnya di-banned. Tapi ya, agama bukan aplikasi. Maka yang harus kita upgrade justru filter internal kita: ilmu, logika, dan keberanian untuk bertanya.

Ini bukan cuma soal Walid di film. Ini soal kita –saya, kamu, semua. Walid cuma cermin. Dan seperti semua cermin, yang dia pantulkan adalah wajah kita sendiri. Mungkin enggak sejelas itu, tapi tetap ada bayangannya. Pertanyaannya: kita mau terus melihat, atau mulai bercermin?

Menjadi religius itu baik. Tapi kalau religiusitas kita bikin orang lain takut, minder, atau malah muak, mungkin yang salah bukan mereka. Mungkin yang salah cara kita memaknai agama.

Akhirnya, saya cuma ingin bilang: jangan biarkan Walid jadi panutan. Jadikan dia peringatan. Karena agama itu cahaya, bukan alat sulap buat menutupi gelapnya niat. Dan kalau kita benar-benar cinta agama, maka cinta itu seharusnya menyelamatkan, bukan menyesatkan.

Kalau kamu merasa cinta pada agamamu, maka belajarlah. Gali ilmu. Latih logikamu. Dan jangan cepat-cepat percaya sama yang sok suci di depan kamera. Karena dalam banyak kasus, yang paling sering teriak “kebenaran” justru yang paling takut disorot kebenaran.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang agama

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//