Apakah Persikab 1963 Bisa Diselamatkan?
Persoalan Persikab bukan sebatas operasional, tapi menyangkut krisis narasi. Klub yang lahir dari semangat regionalitas, tapi gagal membangun loyalitas kedaerahan.

Muhammad Hafizh Firdaus
Pegiat literasi dari Politeknik Negeri Bandung
8 Mei 2025
BandungBergerak.id – Di tengah euforia sepak bola nasional yang kian komersial dan menumbuhkan banyak klub baru, ada satu kisah pilu dari pinggiran Bandung: Persikab. Ironisnya, ini terjadi saat tetangga sekaligus pendahulunya, Persib, tengah bersorak menyambut trofi back-to-back di kasta teratas.
Februari 2025 lalu, peluit panjang berbunyi di laga terakhir babak play-off degradasi Liga Nusantara 2024-2025. Persikab malah terdepak ke Liga 4 musim depan setelah kalah 3-1 dari PSDS Deli Serdang. Ini terdengar bukan hanya isyarat kekalahan, melainkan gema pertanyaan yang lebih mendalam: apakah klub legendaris yang berdiri sejak 1963 ini masih punya masa depan? Padahal, usianya lebih senior dari kontestan Liga 1 saat ini –sebut saja Borneo, Bali United, hingga PSS, yang kini dianggap tim klasik sekalipun.
Baca Juga: Membayangkan Vladimir Putin Menjadi Manajer Sepak Bola
Sepak Bola adalah Perlawanan
Pertandingan Sepak Bola Tanpa Suporter adalah Kegagalan Pemerintah Memenuhi Hak Warga Negara
Wilayah Strategis dan Klub Tersungkur
Kabupaten Bandung, basis Persikab, bukan wilayah sembarangan. Sensus tahun 2024 mencatat 3,77 juta jiwa mendiami wilayah seluas 1.762 km2 –lebih luas dari Depok, Bekasi, maupun Cirebon. Secara geografis, posisinya strategis: ia di jantung Jawa Barat, terhubung langsung ke Kota Bandung, Soreang, bahkan Cileunyi, dan Ciwidey. Fasilitas? Stadion Si Jalak Harupat berstandar internasional, pernah digunakan untuk laga AFC dan Timnas –Son Heung-min pernah merumput di sana. Lalu, mengapa bisa klub kebanggaan wilayah ini justru tersungkur ke kasta terendah?
Sebagian menyalahkan kebingungan manajemen, sebagian lain menyebut soal minimnya dana (Kompas.id, 22 April 2025; RRI.co.id, 19 Maret 2023). Tetapi, persoalan Persikab bukan sebatas operasional –ini menyangkut krisis narasi. Klub ini lahir dari semangat regionalitas, namun gagal membangun loyalitas kedaerahan yang bisa diturunkan lintas generasi. Padahal, menurut Sutardi (2019), loyalitas berbasis kedaerahan merupakan salah satu pilar terkuat dalam membentuk komunitas pendukung. Sederhananya, orang mendukung karena: “ini klub dari tanah saya.”
Kegagalan Persikab tidak terjadi seketika. Dalam beberapa musim terakhir, pertandingan kandang mereka hanya terbuka untuk tribun barat –itu pun tidak penuh. Ini menjadi sinyal bahwa Persikab belum mampu lagi menjadi magnet bagi masyarakatnya sendiri. Padahal, klub ini sempat jaya dan mengalahkan Persib di medio 1990-an (skor.id, 11 November 2020). Tidak ada komunikasi berkelanjutan antara klub dan warga. Tidak ada narasi besar yang dibawa ke media sosial. Yang paling menyedihkan: tidak ada lagi yang merasa kehilangan.
Menemukan Akar dengan Belajar
Persikab bisa menoleh contoh negara yang lebih maju. Manchester United dan Manchester City awalnya berbagi wilayah, namun tumbuh dengan segmentasi fans yang berbeda—akhirnya United besar karena tradisi dan sejarah, sementara City berkembang pesat setelah akuisisi modern. Atau, lihat Paris FC yang lama tertinggal dari PSG, kini mulai bangkit setelah masuknya keluarga Arnault, pemilik Louis Vuitton sekaligus orang terkaya dunia versi Forbes 2024, yang juga patungan dengan Red Bull Group (BBC.com, 19 Desember 2024). Klub kecil bisa bangkit, asal punya narasi dan arah –apalagi klub dengan segudang sejarah.
Yang sering dianggap masalah, selama ini Persikab seperti hidup dalam bayang-bayang Persib. Padahal, ini justru peluang emas untuk membangun rivalitas lokal yang sehat. Bandung Raya dan Pelita Bandung Raya pernah mencoba, namun gagal karena krisis finansial dan ketiadaan akar komunitas (Historia.id, 19 Juli 2017). Andaikan mereka punya basis pendukung yang kuat, tentu bubarnya akan dilawan habis-habisan. Ini berbanding terbaik dengan Persikab yang justru punya modal utama: basis suporter potensial di Bandung selatan, asal-usul sejarah panjang, dan stadion representatif. Namun, yang terjadi sekarang kini bukan kejayaan, melainkan harapan semoga Persikab tidak bernasib seperti Bandung Raya –lenyap tanpa jejak.
Jika ditelusuri, banyak warga Kabupaten Bandung bahkan tidak tahu siapa pemain Persikab, kapan jadwal pertandingannya, atau bahwa klub ini masih ada. Kelemahan narasi visual, digital, dan emosional membuat Persikab tidak pernah punya banyak tempat di benak publik. Mereka lebih tahu Chelsea ketimbang klub dari tanah mereka sendiri.
Kegagalan ini juga menyentil ketidakoptimalan pemerintah daerah dan petinggi klub. Persikab merupakan aset strategis –bukan hanya untuk olahraga, tetapi juga untuk ekonomi kreatif dan pariwisata. Bayangkan jika pembinaan pemain muda digarap serius, stadion diaktivasi sebagai destinasi wisata, dan UMKM lokal dikolaborasikan, maka Persikab bisa menjadi pusat denyut komunitas. Sayangnya, realitasnya: stadion lebih ramai untuk latihan mobil, tidak ada lagi talenta lokal yang diorbitkan oleh Persikab, dan tidak ada kepastian tentang masa depan klub.
Penyelamatan Persikab tidak bisa mengandalkan subsidi musiman atau euforia temporer. Rencana besar go public yang tadinya diapresiasi kini terasa ironis –terutama saat isu sanksi FIFA atas tunggakan gaji selalu saja muncul setiap akhir musim. Bahkan, Persikab termasuk yang terparah bersama Kalteng Putra (Kompas.id, 22 April 2025). Bupati Kabupaten Bandung, Dadang Supriatna, yang sempat muncul saat Persikab berhasil promosi ke Liga 2 pada 2022, harus juga muncul saat klub ini terjerumus ke Liga 4 (prfmnews.id, 18 Maret 2022).
Profesionalisasi Harus Diiringi Konektivitas Sosial
Harus ada pembenahan visi: membentuk manajemen yang transparan, membangun komunitas akar rumput, menggarap narasi besar, dan membuka ruang partisipasi warga. Memang, sudah ada upaya profesionalisasi melalui kehadiran PT PBB-nya Persikab—PT Persikab Bandung Bedas sebagai badan hukum pengelola klub (bolasport.com, 3 Agustus 2021). Namun, keberadaan entitas swasta ini belum otomatis menjawab tantangan substansial: bagaimana membangun koneksi yang kuat dengan komunitas lokal, menciptakan narasi yang relevan, dan mengaktifkan dukungan publik secara berkelanjutan?
Karena sejatinya, Persikab bukan klub yang mati –ia hanya sedang dilupakan. Terkubur oleh ketidakpedulian, oleh kota besar yang menyita perhatian. Jika ada satu hal yang harus diingat: sejarah yang tidak bisa dibangun semalam, bisa runtuh sekejap oleh ketidakpedulian. Persikab 1963 masih punya kans untuk bangkit, jika dan hanya jika ada kemauan kolektif untuk melihatnya bukan sebatas klub sepak bola –melainkan bagian dari jati diri masyarakat Kabupaten Bandung. Kebanggaan tidak cukup disuarakan, ia harus diperjuangkan. Tidak cukup asal berlaga, tetapi harus ada keberanian untuk bertanya: siapa kita dan untuk siapa kita bermain?
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang sepak bola