• Berita
  • Membaca Buku Puisi Nabi Kesengsaraan Karya Rifki Syarani Fachry, Bermain dengan Kata-kata atau Anarkisme Bahasa?

Membaca Buku Puisi Nabi Kesengsaraan Karya Rifki Syarani Fachry, Bermain dengan Kata-kata atau Anarkisme Bahasa?

Buku puisi Nabi Kesengsaraan Karya Rifki Syarani Fachry dibincangkan di diskusi Bukan Jumaahan di Kedai Jante, Bandung. Memaknai pemikiran kritis dan bahasa.

Diskusi buku puisi Nabi Kesengsaraan karya Rifki Syarani Fachry di forum Maklumat Bukan Jumaahan ke-127, Jumat 9 Mei 2025, di Kedai Jante, Bandung. (Foto: Ryan D.Afriliyana/BandungBergerak)

Penulis Ryan D.Afriliyana 10 Mei 2025


BandungBergerak.idRifki Syarani Fachry menerbitkan buku puisi terbarunya. Setelah Hantu adalah Kenangan (2018) dan Akheiron (2022), kini ia hadir dengan Nabi Kesengsaraan, buku puisi yang memuat 30 sajak, diterbitkan oleh Yayasan Al-Ma’aarij Darmaraja (YAD), dengan prolog dari Syihabul Furqon dan epilog dari Cep Subhan KM. Melalui buku ini, Rifki tidak hanya menulis puisi, tetapi berusaha merebut kembali makna melalui bahasa.

Diskusi buku puisi Nabi Kesengsaraan berlangsung dalam forum Maklumat Bukan Jumaahan ke-127, Jumat 9 Mei 2025, di Kedai Jante, Bandung. Zulfa Nasrulloh, yang didapuk sebagai khatib pertama, membuka pembacaan dengan satu kesan tajam: Nabi Kesengsaraan adalah buku yang bengis.

Menurut Zulfa, Rifki menghadirkan pertemuan yang keras antara semesta agama dengan pemberontakan sosial yang diusungnya. Namun sesungguhnya, pemberontakan yang dilakukan Rifki melampaui aspek sosial. "Sebetulnya, Rifki memberontak terhadap waktu dan sejarah," ucap Zulfa.

Zulfa memulai pembacaannya dengan dua puisi: Sikap Kepenyairanku dan Nabi Kesengsaraan. Dua puisi tersebut memuat prinsip berpikir Rifki yang membimbing pembaca dalam menyelami keseluruhan isi buku. Dalam Sikap Kepenyairanku, Rifki menulis:

Aku mengubur mayatku/ di liang bahasa/

Menimbunnya dengan batu-batu/

Kukencingi makamku sendiri/

& Tindakan itu kusebut puisi//

Aku menyebrangi batas dan maut/

Menghormati inkarnasi kebebasanku/

Meski itu artinya melarikan diri atau mati/

Puisi akan selalu kumaknai anarki!//

Zulfa menyebut, beberapa interteks dalam buku ini mungkin sukar dipahami, sebab Rifki banyak menggunakan istilah keagamaan sebagai judul atau metafora. Kendati demikian, ia meyakini bahwa kekuatan puisi-puisi ini terletak pada kemampuannya menghadirkan imaji yang kuat. “Tanpa perlu tahu itu, saya kira beberapa puisinya cukup menggambarkan imajis,” kata Zulfa.

Zulfa sendiri menilai, puisi-puisi Rifki didominasi oleh citraan visual. Hal ini terlihat pada larik: kesengsaraan adalah rumah sakit jiwa. Rumah sakit jiwa kosong yang kuhuni. Imaji ini, menurutnya, sangat kuat karena mudah divisualisasikan dan menggiring pembaca pada suasana yang asing sekaligus konkret.

Penjelasan mengenai puisi imajis juga ditemukan dalam catatan Pringadi di blog literaturnya, yang mengutip Banua (2004): puisi imajis adalah puisi yang sarat dengan imaji—baik visual, auditif, maupun taktil—dan menjadikan imaji sebagai kekuatan utama.

Kebengisan yang Berbahasa

Buku Nabi Kesengsaraan bukan sekadar lanjutan dari dua karya Rifki sebelumnya. Kali ini, penyair tidak tampil dalam bentuk yang “galak” seperti dulu. Rifki menjelma sebagai sosok yang lebih tenang, seorang nabi yang mengarahkan dan mengingatkan melalui pilihan bahasa yang tetap tajam.

“Ini tetap sebuah puisi yang mengajak kita untuk lebih kritis terhadap hal-hal di sekitar kita yang mengingatkan,” terang Zulfa.

Namun, ketenangan itu bukan berarti kehilangan daya gugat. Kebengisan Rifki justru meruncing pada puisi terakhir dalam buku ini. Ia menulis:

Mereka membakar bendera negara di hari kemerdekaan/

Menggagalkan revolusi dengan bahagia/

Meski pernah sangat mencintainya//

Mereka membakar rumah suci/ rumah sakit/

megencingi moral/ muntah di mimbar kekuasaan//

Mereka membebaskan para penjahat/ membela kafir//

Tahu semua ini membuatku ingin mati sebagai cucu mereka yang terakhir//

Zulfa menilai puisi ini sebagai puncak kebengisan Rifki. Ia tidak sekadar menyatakan “aku adalah neraka”, tetapi justru memaksimalkan imaji tentang neraka itu sendiri. “Dia harus paling depan sekaligus paling akhir. Orang lain pada di depan, dia paling belakang. ‘Aku terbelakang’,” tuturnya.

Dalam puisi-puisi ini, Rifki bahkan menyentil revolusi. Ia mencibir idealisme yang telah mati dan menjadikan kesengsaraan sebagai warisan yang tak laku dijual. Maka, ketika ia menyebut dirinya sebagai Nabi Kesengsaraan, itu bukan sekadar pernyataan peran, tetapi deklarasi bahwa penderitaan pun bisa direbut, dimiliki, dan dibentuk ulang dalam bahasa.

Hal ini ditegaskan sendiri oleh Rifki di acara diskusi Bukan Jumaahan. Ia menolak tunduk pada bahasa, karena meyakini bahasa bisa direbut dan dimaknai ulang. “Mungkin tadi Kang Zulfa bilang bahwa surga itu satu hal yang dimiliki oleh atau hadir dari tradisi keagamaan tertentu. Tapi gimana kalau neraka itu saya rebut dan neraka itu lepas dari sejarahnya, lepas dari makna kulturalnya, lepas dari semuanya karena sudah saya rebut dan itu menjadi bahasa saya,” ungkapnya.

Baca Juga: Kategorisasi Puisi Sunda di Masa Hindia Belanda
Mari Kita Melawan dengan Puisi
Puisi Sebagai Refleksi Pemikiran dan Perasaan dari Setiap Insan Manusia

Bahasa dan Aborsi Realitas

Syihabul Furqon, khatib kedua dalam diskusi ini, menilai perjalanan Rifki dalam tiga bukunya sebagai evolusi yang tidak semata bermain bahasa, melainkan menari di atas bara kehidupan itu sendiri.

“Dalam antologi ini, Rifki sebagai egois bergerak dari gumam mesianik di puncak-puncak makrifat sekaligus menari di atas nyala bara fatalistik,” tulis Syihabul dalam akun Instagram pribadi @rifkisyaranifachry.

Ia mengakui bahwa membaca Nabi Kesengsaraan memerlukan kesabaran. Menurutnya, kumpulan ini sangat "alien", sangat asing. Ia menyayangkan kondisi di mana banyak orang tidak lagi tertarik berpikir dalam, dan justru berkumpul untuk melupakan realitas. Hal ini kontras dengan puisi-puisi Rifki yang justru mengaborsi realitas untuk membentuk bahasa baru.

Syihabul setuju dengan Zulfa bahwa puisi Rifki sangat anarkis. Ia melihat puisi-puisi ini sebagai hasil “aborsi daripada realitas bahasa.” Bahasa dan rezeki, menurutnya, adalah dua entitas berbeda yang tidak saling menegasi. Maka, keunikan dari puisi Rifki terletak pada kemampuannya tetap bisa dibaca meski tak sepenuhnya dimengerti.

“Saya membayangkan, kalau sastra bilang ‘Hell is Other People’ atau neraka adalah yang lain. Justru buku ini kebalikannya,” ujarnya.

Pada satu larik puisi, Rifki menulis: Dibanding aku, neraka tidak ada apa-apanya. Syihabul menilai, kalimat ini menyiratkan luka psikis yang mendalam. Di titik ini, puisi tidak lagi bersifat artistik semata, tetapi menjelma menjadi realitas itu sendiri. “Barangkali itu adalah gagasan universal daripada puisi ini,” tutupnya.  

*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Ryan D.Afriliyana, atau artikel-artikel lain tentang Sastra atau Puisi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//