Ujian Berbhineka bagi Jemaat Santa Odilia
GSG Arcamanik, Bandung, menjadi sorotan selama perayaan Paskah 2025. Umat Katolik berusaha khusyuk menjalani ibadah dalam suasana penuh ketegangan unjuk rasa.
Penulis Tim Redaksi13 Mei 2025
BandungBergerak.id - Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik, Bandung Arcamanik mulai dipadati jemaat umat Persatuan Gereja Amal Katolik (PGAK) Santa Odilia, Selasa sore, 15 April 2025. Sejumlah ibu dari tim liturgi tengah berlatih membaca kitab suci, bersiap menyambut Tri Hari Suci. Mereka bergantian menaiki mimbar sambil membawa teks doa, menyelaraskan intonasi dan tempo baca.
“Gimana bacaannya? Kecepatan, enggak? Atau terlalu mendayu? Kata suamiku bacaanku agak terlalu mendayu,” ucap seorang ibu, merasa tidak yakin. Rekan-rekannya meyakinkan bahwa pembacaannya sudah bagus.
Percakapan itu terlontar di antara jemaat untuk memastikan persiapan menjelang Tri Hari Suci Paskah. Semakin sore jemaat semakin berdatangan. Bersiap untuk gladi bersih di waktu petang.

Suasana menjelang Paskah yang damai kemudian berubah di hari berikutnya, bertepatan dengan Kamis Putih. Sejumlah warga yang mengatasnamakan dari Forum Warga Arcamanik Endah menggelar aksi menolak penggunaan GSG Arcamanik selama misa Kamis hingga Minggu.
Massa menyebut GSG Arcamanik yang terletak di Jalan Sky Air Nomor 19, sebagai fasilitas umum (fasum) atau sosial (fasos). Namun, dokumen hukum kepemilikan tanah dan bangunan menunjukkan bahwa GSG Arcamanik adalah aset milik Gereja, bukan fasum.
Kamis Putih di Tengah Unjukrasa
Kamis siang, 17 April 2025, mobil komando aksi sudah terparkir di depan rumah putih yang berada di utara GSG Arcamanik. Polisi mulai berjaga. Tak lama, suara protes terdengar lantang melalui pengeras suara.
"Gedung ini kan sebagai GSG. Jangan dipindahkan menjadi alih fungsi menjadi tempat yang lain, terutama tempat ibadah kan gitu. Perizinannya, aspek legalnya, tolong dibereskan kalau gitu. Tapi yang jelas sampai sekarang, (gedung ini) masih GSG," ujar Budi Haryono, 62 tahun, koordinator lapangan aksi sore itu, sambil menyerahkan lembar kronologi singkat kepemilikan GSG versi mereka.
Sebagian warga sekitar turut menyaksikan. Di antaranya ada yang mendukung aksi dengan alasan bahwa GSG merupakan fasilitas umum. Namun, warga lain menilai protes ini keliru.

“Tanah GSG itu sudah milik pihak gereja sejak lama,” ujar dua warga lama yang sudah tinggal sejak 1995. Salah satu dari mereka bahkan memiliki teman jemaat yang rutin beribadah di sana.
Warga lain, seperti Reiza (32 tahun), mengaku tidak mengetahui status GSG ketika pindah ke Arcamanik pada akhir 2015. Ia hanya tahu GSG sebagai gedung umum, dan merasa wajar bila digunakan juga untuk ibadah.
“Namanya Gedung Serba Guna ya bisa dipakai untuk apa pun, termasuk ibadah,” katanya.
Setelah membaca laporan soal kepemilikan tanah, ia berkesimpulan tidak ada yang salah bila gereja menggunakan GSG. “Arcamanik juga minim gereja. Hormatilah kepemilikan tanahnya. Kalau mau protes ya tabayun (paham) dulu,” ujar Reiza, saat diwawancara via Zoom, Rabu, 1 Mei 2025.
Meski situasi di luar GSG sempat memanas, misa Kamis Putih tetap berlangsung. Namun, sebagian ritual ditiadakan demi menjaga keamanan jemaat.

Jumat Agung, Tegang di Luar Gedung
Jumat sore, 18 April 2025, suasana GSG Arcamanik semakin pengap. Bukan karena minim ventilasi atau udara panas, tapi situasi aksi penolakan di luar membuat jalannya ibadah terasa gerah. Pintu-pintu utama sengaja ditutup agar suara bising dari pengeras suara tak mengganggu misa.
“Mirisnya, yang bersalah sekarang malah boleh minta pengamanan, ya pak polisi?!” kalimat dari demonstran yang terdengar dari pengeras suara.
Meski demikian, umat tetap menjalani ibadah dengan khidmat. Didominasi lansia, mereka khusyuk membaca doa dan menyimak kisah sengsara Yesus. Pimpinan kepolisian terlihat duduk bersama umat, berbincang soal situasi di luar.
Di luar, aksi terus berlanjut. Seorang nenek berteriak dengan semangat, “Saya gak mau anak dan cucu saya terpapar ajaran sesat!”
Tuntutan massa tetap sama: alih fungsi, tak ada izin, dan pengembalian fungsi GSG Arcamanik. Namun, hingga matahari terbenam, misa tetap berjalan lancar.

Sabtu Suci dan Para Pendemo
Sabtu sore, 19 April 2025, jumlah massa bertambah. Seorang konten kreator dan mantan personel grup musik Adam, Dodi Hidayatullah (38 tahun), ikut hadir. Mengaku warga asli Arcamanik, ia memimpin orasi dengan suara lantang, mengkritik izin tempat ibadah.
Ketika dimintai keterangan oleh BandungBergerak, Dodi hanya membagikan satu tautan video YouTube dari kanal RMOL TV, tanpa memberikan jawaban berarti.
Sore itu, massa mencoba menerobos barikade polisi. Beberapa bahkan memaksa masuk lewat pintu samping.
“Sudah disepakati perwakilan warga bisa masuk, beri aksesnya!” teriak salah seorang demonstran, meski akhirnya tetap dicegah.
Ketegangan tak menyurutkan misa. Seorang pengemudi ojek online bahkan sempat menembus kerumunan dan mengantarkan pesanan ke dalam gedung.
Sementara itu, di dalam, jemaat tetap menjalani ibadah dan berusaha khidmat. Ritual arak-arakan patung Yesus berlangsung tertib. Namun, dari luar, teriakan makian terus berdatangan, bahkan menyasar jemaat yang datang terlambat.
“Pulang bu! Gak ada kebaktian!” bentak seorang demonstran. Situasi ini memperlihatkan dengan jelas bahwa toleransi di Bandung dalam ujian serius.
Baca Juga: Memahami Status Kepemilikan GSG Arcamanik yang Difungsikan untuk Peribadatan Umat Katolik dan Kegiatan Warga Sekitar
CERITA VISUAL: Sejarah Gedung Gereja Katolik Bebas Santo Albanus Bandung
Data Jumlah Gereja di Kota Bandung 1993-2020, Bertambah Signifikan dalam Dua Dekade Terakhir

Abdul Waidl, Program Manager INFID, menilai aksi penolakan penggunaan GSG Arcamanik tidak semata soal teknis perizinan. “Ini bisa mencerminkan sikap intoleransi yang dibungkus alasan formal,” ujarnya.
Ia mendorong pentingnya dialog terbuka yang difasilitasi pemerintah dan DPRD. “Edukasi soal toleransi dan kebhinekaan harus digalakkan, terutama di Jawa Barat yang penuh keragaman,” tambahnya.
Risdo Simangunsong (40 tahun), Konsultan Media dan Pegiat Keberagaman dari Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jajatarub), juga mengecam sikap pasif pemerintah. Menurutnya, pemerintah kerap menyederhanakan konflik dengan fokus pada perizinan semata.
“Kalau cuma ngurus izin, itu bukan netral. Itu berarti gak berpihak ke kemanusiaan,” tegasnya. Ia menilai pemerintah cenderung lebih khawatir pada harmoni semu daripada menjamin hak beribadah warga.
Menurut laporan Setara Institute, sepanjang 2023 terdapat 65 gangguan terhadap tempat ibadah. Dari jumlah itu, 40 di antaranya menimpa gereja.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, pada 21 April 2025 menyampaikan bahwa status GSG sebagai gedung milik pribadi yang telah dihibahkan ke Santa Odilia adalah sah. Risdo mengapresiasi klarifikasi tersebut, namun menegaskan pemerintah harus lebih proaktif menjamin hak konstitusional beribadah.
“Pemenuhan hak beribadah itu gak bisa ditawar,” jelasnya.

Minggu Paskah, Satgas Lintas Iman
Usai misa Sabtu, jadwal misa Minggu Paskah diubah menjadi pukul 08.00 WIB demi menghindari gangguan. Hanya jemaat yang menerima info khusus yang mengetahui perubahan ini.
Tepat pukul 8 pagi acara dimulai. Tidak ada pendemo namun tetap ada polisi yang berjaga. Komplit. Acara paskah dimulai dengan janji baptis. Pastor mengelilingi umat dan membasuhnya dengan cipratan air suci.
Acara dimulai lalu ditutup dengan pembagian roti Paskah. Pukul 9.15 acara sudah mulai masuk ke sesi penutupan. Para pendemo baru berdatangan.
Jemaat bubar sembari keluar gedung dengan mengambil sajian cemilan ringan yang disajikan oleh panitia acara. Mereka bersalaman, berseri-seri cipika cipiki, dan mengucapkan selamat hari Paskah.
Beberapa saat kemudian semua kendaraan jemaat meninggalkan parkiran. Di dalam gedung hanya menyisakan panitia dan polisi. Sementara di luar pendemo yang didominasi ibu-ibu masih terus berdiri.

Keberlangsungan rangkaian Paskah tidak bisa dilepaskan dari peran Orang Muda Katolik (OMK) yang tergabung dalam satuan tugas (Satgas). Satgas ini terbentuk sejak peristiwa Rabu Abu yang diwarnai demonstrasi.
Selain OMK ataupun aparat, pengamanan ini juga dibantu oleh pihak lainnya seperti Banser. Sejak Kamis Putih mereka terlihat berjaga. Teman-teman Ponpes Sukamiskin dan Ansor pun datang bersilaturahmi. Orang-orang muda sekitar Arcamanik juga datang membantu.
Pieter Harbian Woda Mosa, dipercayai sebagai koordinator lapangan (korlap), berharap masalah yang mendera GSG Arcamanik selesai secara elegan.
“Semoga semua gereja di mana pun itu enggak butuh satgas. Dan semoga, masalahnya cepat selesai ya,” harap Pieter yang punya latar belakang medis.
Status Hukum GSG Arcamanik
Aksi protes terhadap penggunaan GSG Arcamanik sebagai tempat ibadah umat Katolik bukan kali pertama dalam tiga bulan ke belakang. Rabu, 5 Maret 2025 ketika umat Katolik sedang merayakan misa Rabu Abu, GSG Arcamanik juga didemo oleh Forum Komunikasi Warga Arcamanik Berbhineka. Massa datang dengan alasan yang sama, bahwa GSG Arcamanik merupakan Fasum atau Fasos.
Pihak gereja Katolik, dalam hal ini Persatuan Gereja dan Amal Katolik Santa Odilia, menegaskan bahwa sejak awal GSG Arcamanik tidak pernah ditetapkan sebagai fasum. Lahan dan bangunan GSG dibeli secara sah oleh Pastor Paroki Santa Odilia Yosep Gandi dari PT Bale Endah, pengembang Kompleks Arcamanik Endah. Transaksi tersebut didukung Akta Jual Beli No.337/Kec.BB/1988, diikuti dengan terbitnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tahun 1988 dan Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama Yosep Gandi pada Maret 1989.

Setelah Yosep Gandi wafat, ahli warisnya menghibahkan properti tersebut kepada PGAK Santa Odilia melalui Akta Hibah No.37/2022. Status hukum kepemilikan diperkuat dengan terbitnya Sertifikat Hak Milik atas nama badan hukum PGAK Santa Odilia pada Juni 2024. Total luas lahan mencapai 2.140 meter persegi, dengan bangunan seluas 525 meter persegi.
Sejak didirikan oleh pihak gereja, GSG memang dimaksudkan sebagai ruang multiguna yang bisa dimanfaatkan umat maupun masyarakat. Gedung digunakan untuk kegiatan keagamaan, sosial, dan komunitas seperti misa, rapat wilayah, olahraga, hingga tempat pemungutan suara saat pemilu.
Di tengah tuntutan sebagian warga agar GSG dikembalikan menjadi fasilitas umum, pihak gereja menegaskan bahwa status hukum kepemilikan mereka sah. Mereka kini sedang mengurus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) gereja agar fungsi ibadah yang semakin intensif di GSG memiliki payung hukum yang jelas, seiring jumlah jemaat Katolik di Arcamanik yang terus bertambah.
Meski terjadi penolakan dari kelompok warga sejak 2023, pihak gereja membuka ruang dialog dan menekankan bahwa GSG tetap terbuka untuk kegiatan masyarakat selama tidak berbenturan dengan jadwal ibadah. Gereja juga siap menyelesaikan sengketa secara hukum jika diperlukan, sebagai bentuk kejelasan atas hak kepemilikan sah yang telah mereka pegang.
*Liputan ini merupakan hasil kolaborasi BandungBergerak dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) terkait program Jurnalisme Inklusif. Teks dan Foto: Fauzan Rafles dan Salma Nur Fauziyah, dengan editor Virliya Putricantika