Revisi UU Ormas, Jalan Regulasi Kawat Berduri
Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) memuat sisi gelap kekuasaan dalam narasi populis mencegah premanisme.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah14 Mei 2025
BandungBergerak.id - Wacana revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) menyulut kekhawatiran publik. Usulan yang digulirkan oleh Menteri Dalam Negeri ini berdalih untuk mencegah tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan kelompok tertentu. Namun, revisi yang akan menyasar transparansi keuangan ormas ini justru dinilai tergesa-gesa dan membuka kembali warisan represif masa lalu.
Sejarah UU Ormas bukan tanpa catatan kelam. Sejak awal kemunculannya di era Orde Baru, regulasi ini hadir dengan pendekatan politik dan keamanan. Negara memposisikan organisasi masyarakat sebagai objek kontrol, bukan sebagai mitra dalam pembangunan demokrasi. Pendekatan ini diwariskan sejak UU Ormas 1985, revisi 2013, hingga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Ormas 2017 yang kini sedang disorot.
Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) menilai, semangat merevisi UU Ormas justru melenceng dari persoalan utama. Permasalahan ormas yang kerap dikaitkan dengan kekerasan dan aksi intimidatif bukanlah soal kekosongan regulasi, melainkan lemahnya penegakan hukum. Jadi, kinerja aparat penegak hukumlah yang memerlukan perbaikan, bukan menambal dengan regulasi baru yang justru berpotensi membatasi kebebasan berserikat.
Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat Rizal Abdali menyebut, revisi UU Ormas hanya akan menghidupkan kembali nuansa Orde Baru. Bagi koalisi, pendekatan negara yang terus memandang organisasi masyarakat sipil sebagai ancaman, menjadi akar masalah yang tidak kunjung terselesaikan. Masalah penindakan terhadap aksi kekerasan semestinya bisa diselesaikan dengan menggunakan perangkat hukum yang sudah ada.
“Alih-alih menjalankan penegakan hukum secara adil, pemerintah malah sibuk membuat aturan baru. Padahal hukumnya sudah ada, tinggal ditegakkan,” kata Riza yang juga aktivis Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika), dalam keterangan resmi, Rabu, 30 April 2025.
Revisi UU Ormas dikhawatirkan menjadi pagar kawat berduri alias alat represif yang membatasi gerak organisasi masyarakat sipil. Mulai dari kewajiban mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT), pelabelan ilegal terhadap organisasi yang tidak terdaftar, hingga ancaman pembubaran sepihak tanpa proses peradilan.
Sorotan tajam juga datang dari Imparsial. Direktur Ardi Manto Adiputra menyebut, wacana revisi ini terkesan reaktif, tanpa rencana strategis yang jelas. Wacana ini muncul tak lama setelah meningkatnya kekerasan oleh kelompok ormas tertentu, tetapi pendekatan yang diambil justru menyasar pendanaan organisasi masyarakat sipil.
Ardi menilai langkah tersebut menyesatkan dan berpotensi menekan organisasi yang selama ini kritis terhadap pemerintah. Organisasi masyarakat sipil kerap kali dicurigai menerima dana asing dan kemudian dicap sebagai ‘antek asing’. Padahal mekanisme audit terhadap pendanaan organisasi sipil sejatinya sudah tersedia dan bisa diakses publik. Sebaliknya, transparansi terhadap dana asing yang masuk ke negara jsutru minim dan tidak mendapat sorotan setara.
“Kalau alasannya soal dana asing, kenapa negara sendiri tidak diaudit dulu?” sebut Ardi, Senin, 5 Mei 2025.
Masalah pembubaran ormas tanpa pengadilan yang diperkuat lewat Perppu Ormas 2017 juga menjadi perhatian serius. Ketentuan itu menghapus mekanisme checks and balances yang seharusnya melindungi hak dasar setiap organisasi untuk membela diri. Gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh berbagai elemen masyarakat hanya menghapus sebagian kecil ketentuan bermasalah, sementara ruh represifnya masih bercokol.
Terkini, wacana revisi UU Ormas dilontarkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian, sebagai respons terhadap meningkatnya tindakan menyimpang oleh sejumlah ormas di Indonesia. Mantan Kapolri ini menekankan, ketidakjelasan dalam penggunaan dana oleh ormas bisa membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan di level akar rumput. Menurutnya, keberadaan ormas merupakan bagian dari demokrasi yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul. Namun, kebebasan itu tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melakukan tindakan seperti intimidasi, pemerasan, atau kekerasan.
“Kita lihat banyak ormas yang bertindak di luar batas. Mungkin perlu sistem pengawasan yang lebih kuat, termasuk soal pengelolaan dan audit keuangan,” ujar Tito dilansir dari Detik, diakses Selasa, 13 Mei 2025.
Tito menegaskan bahwa proses revisi tetap harus melalui mekanisme legislasi yang melibatkan DPR RI sebagai pihak yang berwenang. “Nantinya kalau ada usulan dari pemerintah, ya diserahkan ke DPR. DPR yang membahas dan memutuskan,” ujarnya.
Organisasi Kritis dalam Ancaman
Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidianstomo melihat revisi UU Ormas berpeluang besar dijadikan alat pembungkaman terhadap organisasi yang kerap mengkritik kekuasaan. Negara memiliki kecenderungan mengontrol sumber pendanaan organisasi non-profit (NGO), yang pada akhirnya akan mempersulit aktivitas mereka dalam menjalankan fungsi pengawasan dan advokasi.
Revisi UU Ormas berjalan di atas narasi pemberantasan premanisme. Dalam praktiknya justru revisi ini bisa mempersempit ruang gerak kelompok masyarakat sipil, terutama jika dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi publik, seperti yang sebelumnya terjadi dalam revisi UU TNI.
"Praktik legislasi ini sangat buruk. Meskipun belum masuk dalam Prolegnas 2025. Revisi bisa saja dilakukan begitu saja, seperti halnya revisi UU TNI yang juga tidak masuk daftar prioritas, tetapi tetap dibahas," ujar Alif sebagaimana dihubungi, Kamis, 8 Mei 2025.
Maka, koalisi masyarakat sipil terus mendorong keterlibatan publik secara terbuka dalam proses legislasi. Mereka meminta agar draft RUU dan Naskah Akademik bisa diakses sejak dini, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembentukan regulasi yang menyangkut hak-hak sipil.
Retorika Keamanan
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan UU Ormas sejak awal memang sarat nuansa keamanan, meski dibalut dengan narasi populis tentang penindakan premanisme. Alviani Sabillah dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan, revisi yang dilakukan lewat Perppu 2017 justru memperkuat kontrol negara terhadap organisasi sipil dengan menghilangkan mekanisme pengadilan sebagai syarat pembubaran. Situasi ini membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan.
Ketentuan lain yang dianggap bermasalah adalah pasal multitafsir, seperti larangan terhadap organisasi yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Formulasi pasal semacam ini memungkinkan pemerintah melakukan pembubaran secara sewenang-wenang terhadap organisasi yang dianggap tidak sesuai dengan selera kekuasaan. Ditambah lagi prosedur administratif yang rumit seperti SKT, yang menjadi alat penyaringan organisasi mana yang boleh mengakses dana dan data publik.
Negara juga dianggap gagal memahami keragaman bentuk organisasi masyarakat, terutama dalam membedakan antara organisasi berbasis keanggotaan dan non-keanggotaan. Pendekatan pukul rata terhadap keduanya menunjukkan ketidakmampuan negara dalam mengakomodasi keragaman model organisasi sipil.
Logika yang digunakan dalam wacana pembubaran ormas pun dianggap berbahaya. Ketika ada kekerasan dilakukan oleh anggota sebuah organisasi, yang semestinya ditindak adalah individu pelakunya, bukan organisasinya secara keseluruhan.
“Pendekatan seperti ini berpotensi menjadi preseden buruk. Suatu saat, organisasi masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah bisa saja dibubarkan dengan alasan serupa,” kata Fani.
Dilihat dari definisi, pakar hukum Bivitri Susanti mengatakan, arti organisasi masyarakat dalam UU Ormas sangat luas, mencakup komunitas hobi hingga kelompok advokasi. Hal ini menempatkan semua bentuk organisasi dalam satu keranjang besar yang bisa dikendalikan melalui pendekatan hukum yang represif. Ketika pemerintah menggunakan narasi pemberantasan organisasi preman, pada kenyataannya yang terdampak adalah organisasi kritis.
Bivitri menilai, negara semakin menunjukkan kecenderungan otoriter dalam membatasi kebebasan berserikat. Pembubaran organisasi tanpa melalui pengadilan tidak hanya melanggar prinsip hukum, tapi juga melanggar standar hak asasi manusia yang diatur dalam Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Kasus pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan ini dijalankan secara selektif dan politis.
"Pembubaran organisasi yang dilakukan tanpa melalui pengadilan bukan hanya melanggar prinsip hukum, tapi juga membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan," beber Bivitri.
Dari sisi pendanaan, dalih transparansi keuangan dianggap hanya sebagai pembenaran semu untuk membungkam kritik. Satu-satunya kekuatan yang masih bisa mengontrol kekuasaan saat ini adalah masyarakat sipil dan pers; keduanya kini menjadi sasaran tekanan.
“Karena itulah mereka menjadi sasaran pembungkaman, agar pemerintah bebas menjalankan agenda ekonomi dan politik tanpa pengawasan,” ujarnya.
Ia melihat pemerintah menggunakan narasi populis dalam rencana revisi UU Ormas, yaitu dengan dalih mencegah kekerasan dan intimidasi. Di balik itu ia menduga ada upaya mempertahankan kekuasaan.
"Mereka tidak ingin rakyat bersuara. Maka media dan NGO yang bisa menyadarkan rakyat pun ingin dimatikan,” imbuhnya.
Jejak Represif dari Masa Lalu
UU Ormas tidak lahir dari ruang hampa. Akar sejarahnya bisa ditelusuri hingga ke masa Orde Baru yang dipimpin Suharto. Masa itu, rezim penguasa menggunakan pendekatan stabilitas politik untuk menjaga hegemoni kekuasaannya. Organisasi masyarakat diposisikan sebagai bagian dari struktur yang bisa dikendalikan. Regulasi dijadikan alat utama untuk menjinakkan potensi kritis dari akar rumput.
Pada 1985, lahirlah UU Ormas dengan asas tunggal Pancasila yang bersifat memaksa. Organisasi yang tidak sejalan dengan kehendak pemerintah, termasuk organisasi pelajar seperti PII dan HMI, terpaksa tunduk pada aturan ini. Reformasi 1998 sempat membuka harapan untuk merevisi pendekatan ini, namun transformasi yang diharapkan tidak sepenuhnya terjadi.
“Karena itulah, undang-undang tentang organisasi masyarakat (ormas) pada masa-masa awal kemunculannya merupakan bagian dari paket undang-undang politik. Pendekatan yang digunakan sejak awal memang bersifat politik dan keamanan,” kata Riza Abdali, di Jakarta, Kamis, 20 Maret 2025.
Revisi UU Ormas 2013 sempat memperlonggar beberapa ketentuan dan mengakomodasi keberagaman. Namun pada 2017, arah kebijakan kembali bergeser drastis. Mobilisasi ormas Islam dalam Pilkada DKI Jakarta menjadi momen krusial yang mendorong keluarnya Perppu No. 2 Tahun 2017. Sejak saat itu, pembubaran ormas seperti HTI dan FPI dilakukan tanpa proses pengadilan, memperkuat kesan bahwa hukum dijalankan secara selektif dan politis.
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai, pembubaran kedua ormas Islam itu menjadi krusial. Di saat organisasi tersebut mendukung kebijakan pemerintah, pelanggaran yang dilakukan mereka tidak pernah diusut. Sebaliknya ketika mereka tidak lagi sejalan dengan kekuasaan, pembubaran terjadi.
Baca Juga: Berserikat Diintimidasi, Berekspresi Dibredel: Paradoks Kebebasan di Kampus-kampus Bandung
Menanam Demokrasi dari Bawah: Gerakan Orang Muda di Bandung Raya Berkumpul untuk Menyuarakan Hak Asasi Manusia
UU Perkumpulan, Bukan Revisi UU Ormas
Di tengah sorotan tajam terhadap revisi UU Ormas, muncul pula dorongan kuat agar negara lebih fokus pada pembentukan UU Perkumpulan yang selama ini belum memiliki payung hukum yang jelas. Regulasi ini dinilai lebih substantif untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi organisasi nonprofit.
“UU Perkumpulan justru jauh lebih urgen. Kalau negara serius ingin membina, bukan membinasakan, itu jalur yang seharusnya diambil,” tutur Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra.
Saat ini, organisasi masyarakat sipil terbagi dalam dua kategori pengaturan: yayasan dan perkumpulan di bawah Kementerian Hukum dan HAM; serta organisasi masyarakat yang diatur oleh Kementerian Dalam Negeri. Sayangnya, pengaturan bagi perkumpulan masih merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP) warisan kolonial Belanda yang sudah usang dan tidak lagi relevan.
RUU Perkumpulan diyakini dapat menjadi jalur reformasi yang lebih menjamin kebebasan berserikat, sekaligus memisahkan pendekatan pengawasan organisasi dari logika keamanan negara. Jika negara serius ingin membina organisasi masyarakat, maka pengesahan UU Perkumpulan menjadi langkah paling mendesak.
RUU Perkumpulan sudah 10 tahun lebih diperjuangkan oleh Koalisi Kebebasan Berserikat. Alviani Sabillah mengatakan, tujuan RUU ini menyediakan payung hukum yang akomodatif untuk organisasi masyarakat sipil berbasis keanggotaan.
“RUU Perkumpulan jauh lebih penting daripada terus memperkuat UU Ormas yang sarat pendekatan pengendalian,” jelas Alviani.
Selain mendorong RUU Perkumpulan, Koalisi Kebebasan Berserikat juga akan terus mengawal, memantau terhadap proses legislasi, dan terus melakukan kampanye publik agar revisi UU Ormas tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik.
Koalisi Kebebasan Berserikat: Uji Materi UU Ormas
Sejak zaman Orde Baru hingga masa Reformasi, organisasi masyarakat sipil terus-menerus menghadapi tafsir tunggal dari negara. UU Ormas menjadi instrumen utama untuk mengontrol, membatasi, bahkan membubarkan dengan cara yang berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Di masa Orde Baru pengendalian ormas dilakukan dengan UU No. 8 Tahun 1985. Undang-undang ini mewajibkan setiap organisasi tunduk pada asas tunggal Pancasila dan bernaung dalam wadah resmi, sebagai bentuk upaya negara mengendalikan kehidupan berorganisasi rakyat.
Penolakan terhadap aturan ini berujung pada pembubaran organisasi, seperti yang dialami Pemuda Islam Indonesia (PII) tahun 1987. Di era setelah Reformasi, UU Ormas diganti UU No. 17 Tahun 2013 pada 2 Juli 2013. Pemerintah berdalih bahwa regulasi baru ini dirancang untuk merespons persoalan-persoalan seperti terorisme, pencucian uang, dan kekerasan. UU ini juga dimaksudkan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas organisasi masyarakat.
Dalam praktiknya, UU Ormas justru memperluas cakupan entitas yang dianggap sebagai ormas. Tak hanya organisasi keagamaan dan sosial, tetapi juga yayasan, komunitas seni, panti asuhan, LSM, bahkan organisasi profesi turut dikategorikan sebagai ormas. Sementara itu, organisasi sayap partai politik tak diatur di dalamnya.
Poin paling krusial di dalam UU Ormas di antaranya pemberlakuan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai bentuk identitas formal organisasi. SKT sendiri merupakan syarat yang diwariskan era Orde Baru untuk membatasi akses ormas terhadap sumber daya. Organisasi yang tak memiliki SKT dapat dikecualikan dari berbagai bentuk dukungan atau kerja sama. Di saat yang sama, pendekatan pengawasan masih dilakukan dengan logika politik keamanan, termasuk kemungkinan pembubaran sepihak tanpa proses peradilan berdasarkan asas "contrarius actus".
Sejumlah pihak telah lama menyoroti UU Ormas. Berkali-kali kelompok masyarakat sipil mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Pada 2013, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengajukan gugatan terhadap 21 pasal dalam UU Ormas. Setahun kemudian, tepatnya 23 Desember 2014, Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) menggugat 11 pasal lainnya. Gugatan ini membuahkan sejumlah kemenangan penting bagi masyarakat sipil.
Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa pasal dalam UU Ormas. Dari gugatan Muhammadiyah, sembilan pasal dikabulkan. Dari gugatan KKB, satu pasal dikabulkan, dan tiga pasal tambahan yang berkaitan turut dibatalkan. Pasal-pasal yang dibatalkan antara lain Pasal 8, 16 ayat (3), 17, 18, 23, 24, dan 25, berkaitan dengan lingkup kewenangan pemerintah dan pemberian SKT.
Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mengikat secara hukum. Putusan MK berdampak besar terhadap tata kelola organisasi masyarakat. Ormas tidak lagi diwajibkan mendaftar atau memiliki SKT untuk diakui secara hukum. Keberadaan dan perlindungan hukum terhadap ormas tidak bergantung pada status pendaftaran.
MK juga mengoreksi sejumlah pasal lainnya. Misalnya, Pasal 5 ditambahkan kata “atau” dalam tujuan ormas, sementara Pasal 29 ayat (1) tentang musyawarah mufakat dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Pasal 34 ayat (1) tentang hak dan kewajiban anggota ormas juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 59 ayat (1) huruf a mengenai larangan, serta Pasal 40 ayat (1) tentang pemberdayaan ormas, turut dibatalkan.
Dengan pembatalan tersebut, SKT tak lagi menjadi alat pembatasan, dan tidak ada bentuk diskriminasi yang dibenarkan terhadap ormas yang tidak mendaftar. Sanksi administratif seperti pencabutan SKT pun tidak lagi relevan.
Koalisi Kebebasan Berserikat menyatakan pihaknya bukan ormas dan tidak tunduk pada UU Ormas. Mereka menegaskan, pendaftaran bukanlah kewajiban. Namun mereka berkomitmen untuk memperkuat tata kelola organisasi berbasis transparansi dan akuntabilitas sebagai bentuk akuntabilitas publik di luar kerangka UU Ormas.
*Artikel ini terbit sebagai bagian dari kerja sama antara BandungBergerak, Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB), dan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA)