• Narasi
  • Kejahatan yang (Tidak akan Pernah) Banal

Kejahatan yang (Tidak akan Pernah) Banal

Tidak hanya orang Israel; semua orang di dunia ini yang mendukung praktik genosida yang dilakukan Israel di Palestina merupakan seseorang yang jahat.

Muhammad Rizki Ardhana

Asli Ungaran, Jawa Tengah. Suka berjalan di alam, mendengarkan Wave to Earth, mendukung Manchester City, dan membaca novel sastra.

Aksi seniman, mahasiswa, aktivis, dan simpatisan yang tergabung dalam Solidaritas Seni untuk Palestina di Bandung, 1 Januari 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

15 Mei 2025


BandungBergerak.id – Pagi itu, dalam kamarku yang sempit, aku akhirnya bangun dengan mata yang berkerak setelah suara alarm dari ponselku yang berbunyi nyaring sebanyak 5 kali dalam 20 menit dan sinar surya menembak mata. Dengan setengah sadar, kubuka aplikasi Instagram dan mendapati postingan pertama di linimasaku: “CEASEFIRE AGREED”. Aku mandi, berangkat kerja, dan sesampainya di kantor, langsung ku-share postingan itu di story Instagramku (setelah menunda untuk langsung membagikannya pada kesempatan pertama karena malu dilihat teman-teman kalau pagi-pagi buta aku sudah bermain Instagram).

Sebuah kabar baik yang akhirnya datang, layaknya angin musim semi yang berhembus sejuk; atau setitik cahaya yang akhirnya terlihat di ujung terowongan; atau lambaian tangan seorang ayah yang perlahan terlihat dari kejauhan sepulangnya dari perantauan. Akhirnya, nestapa, lapar, dan tangisan yang terlampau panjang itu bisa berakhir, bukan? Iya, kan?

Namun, kenyataan yang kuhadapi di lini masa pagi itu ternyata hanya potret dari konflik yang jauh lebih dalam dan panjang. Pagi ini, seorang Ibu di kamp pengungsian Khan Younis (masih) terbangun oleh suara ledakan dan rengekan bayi kecilnya. Kamp pengungsian yang jadi tempat suaka, yang seharusnya jadi tempat “yang lebih aman” bagi mereka, nyatanya sama saja. Di kota Gaza, pada waktu yang sama, seorang anak perempuan dan teman sekelasnya hilang nyawa seketika saat tiba-tiba rudal balistik ratusan kilogram menukik dan meledakkan area sekolahnya. Di Rafah, tumpukan 15 jasad pekerja kemanusiaan ditemukan dalam suatu kuburan massal, terkubur sedalam 6 kaki di bawah tanah. 

Di Palestina, agaknya kuburan menjadi tempat yang paling aman. Di dalam sana, tak akan ada lagi deru deras peluru timah yang menghunjam dari moncong senapan tentara zionis. Di dalam sana, reruntuhan gedung rumah sakit, sekolah, dan rumah warga tidak akan lagi menimpa raga. Di dalam sana, suara lambung yang keroncongan tidak akan lagi menyeru. Di dalam sana, yang ada hanyalah tenang, gelap, dan sunyi. 

Tapi mereka tak mau. Mereka enggan menyerah. Mereka tidak akan bisa menyerah. Menyerah berarti kalah. Menyerah berarti mengaku kalah pada yang salah. Menyerah berarti menyerahkan rumah mereka. Menyerah berarti memasrahkan nasib anak-anak mereka kepada yang entah. Menyerahkan ruang dan waktu yang tak berpihak pada mereka. Mereka akan terus melawan. Mereka akan terus melawan. Mereka akan terus melawan; dengan keffiyeh di kepala, pena di jemari, dan senjata di tangan.

Baca Juga: Mendengarkan Suara Anak-anak Palestina dalam Gaza Monolog Bandung
Tragedi Kemanusiaan Palestina Menggema di Konser Musik Flower City Fest 2024
Dari Baghdad ke Bandung, Menyuarakan Kemanusiaan di Palestina Lewat Kesusastraan

Mulanya Sengsara

Semua ini tidak dimulai dari 7 Oktober 2023. Semuanya dimulai oleh Barat yang selalu berlagak pahlawan untuk menjadi penengah, mengajukan diri menjadi pihak yang berhak menentukan nasib manusia-manusia di sisi dunia lain, berlagak layaknya tuhan yang mengatur bagaimana dan di mana orang-orang harus hidup. Sebuah bukti eksistensi sindrom white knight dalam diri orang-orang Barat yang didasarkan dari praktik ide orientalisme yang memandang manusia di belahan timur sebagai liyan yang perlu diselamatkan, lebih rendah secara intelektual dan fisik, serta orang-orang yang culas, sadis, dan tidak rasional. Thus, Balfour Declaration happened. Inggris, selaku salah satu pemenang dari Perang Dunia I, mengambil alih daerah yang sebelumnya dipimpin oleh Kesultanan Ottoman dan memutuskan untuk memberi suaka kepada orang Yahudi di Eropa, dan memberi mereka sebuah tempat tinggal di tanah Palestina. Tanah yang menurut Yahudi telah dijanjikan kepada mereka dari ribuan tahun yang lalu. Kekacauan Perang Dunia II dan kegilaan Nazi dalam memburu mereka membuat para Yahudi semakin yakin memutuskan untuk mencari tempat tinggal baru. Salah satu tujuannya yakni Palestina. Antara tahun 1918-1947, populasi Yahudi di Palestina naik dari 6% menjadi 33%, dan hal ini menjadi salah satu pelatuk terjadinya peristiwa Nakba.

Pada tahun 1947, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi 181 (II) untuk membagi tanah Palestina menjadi 2: 55% untuk Yahudi dan 45% untuk Arab-Palestina. Hal ini tentu menguntungkan para zionis, dengan setengah lebih tanah dialokasikan untuk negara Yahudi meskipun populasi Arab Palestina berjumlah dua kali lipat dibanding mereka. Rencana ini dirayakan oleh sebagian besar orang Yahudi dan para pemimpin zionis, khususnya David Ben-Gurion, yang memandang rencana ini sebagai langkah taktis dan batu loncatan untuk perluasan wilayah di masa depan atas seluruh Palestina. Resolusi ini pula yang akhirnya mengukuhkan dibentuknya suatu “negara” zionis baru bernama Israel. Hasilnya, seperti yang kita ketahui sekarang, semuanya gagal. Barat hanya bisa membuat onar. Mencari solusi atas suatu masalah yang mereka buat sendiri. India-Pakistan dan Palestina-Israel; tidak ada yang berhasil, mereka hanya membuat semuanya menjadi lebih buruk. Segregasi berdasarkan agama, suku, dan ras hanya akan memunculkan polarisasi: tentang aku atau mereka. 

Kekisruhan ini akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 1948. Perang tak terelakkan antara Israel, yang merasa entitled akan tempat yang baru disinggahinya, dan Palestina, yang merasa tempat tinggalnya direbut, melahirkan suatu peristiwa bernama Nakba, atau katastrofe. Suatu peristiwa genosida dan pengusiran terhadap orang-orang Arab Palestina melalui pemindahan paksa dan perampasan tanah, properti, sekaligus dengan penghancuran dan penindasan budaya, identitas, serta hak politik dan hak hidup rakyat Palestina. Hanya dalam kurang dari 1 tahun, Nakba mengusir sedikitnya 750.000 warga Palestina dari rumah dan tanah mereka serta merebut 78 persen wilayah Palestina. Sisanya, 22 persen, dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi wilayah Tepi Barat, yang diduduki, dan Jalur Gaza, yang dikurung. 

Hari ini, sudah seabad berlalu sejak zionis datang dan merusak Palestina. Nyatanya, semuanya tidak dimulai dari penyerangan yang terjadi 2 tahun lalu. Sayangnya, Nakba masih berlanjut sampai sekarang; dan ternyata, kitalah yang terus memelihara katastrofe tersebut.

Kejahatan dan Hukuman

Kekejaman yang dilakukan oleh para zionis terhadap rakyat Palestina sangat mustahil diterka oleh akal sehat. Alasan mereka melakukannya pun selalu dipertanyakan: menagih tanah yang dijanjikan ribuan tahun lalu oleh yang entah siapa? Atau menyasar cadangan gas di pesisir laut Palestina? Atau hanya jadi boneka Amerika untuk menjaga pijakannya di bumi timur tengah? Atau garis panjang generasi yang dibesarkan dalam sistem kebencian yang terstruktur dan diwariskan? Yang pasti, kejahatan dan kebencian yang dimiliki oleh para zionis terhadap rakyat Palestina merupakan suatu kebencian yang sistemik, dilegalkan secara hukum, dan terus menerus dipelihara oleh para pemimpin dan pemerintah mereka.

Salah satu upaya Israel dalam melanggengkan kebencian masyarakatnya adalah dengan membangun sistem pendidikan yang menjadi kendaraan agresi dan penindasan rasial terhadap rakyat Palestina. Dalam bukunya yang berjudul Towers of Ivory and Steel: How Israeli Universities Deny Palestinian Freedom (2024), Maya Wind mengungkap bahwa universitas-universitas Israel berperan sebagai pilar utama dalam membentuk sistem penindasan dan apartheid terhadap rakyat Palestina. Disiplin akademik, program kurikulum, infrastruktur kampus, dan laboratorium penelitian dari universitas di sana semuanya “melayani” pendudukan dan kekejian apartheid Israel. Ditambah lagi, institusi pendidikan tersebut juga melanggar hak-hak warga Palestina atas pendidikan dan dengan keras membungkam pendapat dari mahasiswa yang kritis.

Pemanfaatan institusi yang harusnya objektif dan memajukan peradaban menjadi sebuah sarana dalam melestarikan kekerasan dan genosida ini tidak akan pernah bisa dibenarkan. Mereka menyalahgunakan institusi sipil, membentuk manusia-manusia yang dicuci otaknya sejak kecil, dan terus berupaya merawat kebencian tersebut lewat propaganda, dogma, dan produk hukum. Kebencian akan segala hal yang berhubungan dengan Palestina sudah tertanam dalam akal dan pikiran masyarakat zionis sejak ia kecil dan sudah menjadi panduan bagi para masyarakat dalam berkehidupan sehari-hari.

Hannah Arendt, seorang filsuf & pemikir politik asal Jerman, pernah membuat suatu reportase yang cukup kontroversial dan masih menjadi topik pembahasan sampai sekarang. Pasca Perang Dunia II, para petinggi Nazi sebagai pihak yang kalah diminta untuk bertanggung jawab atas kejahatan perang yang mereka lakukan. Salah satunya yakni Adolf Eichmann, seorang bawahan langsung dari Adolf Hitler yang diberi tugas untuk mengatur transportasi jutaan orang Yahudi dan lainnya ke kamp-kamp konsentrasi. Atas kejahatan tersebut, Eichmann pun harus memberikan pembelaannya di dalam bilik antipeluru di pengadilan Jerusalem. Peliputan atas peristiwa inilah yang membuat Arendt melahirkan sebuah teori bernama Banality of Evil, yang reportasenya telah dibukukan dengan judul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963). Menurut Arendt, pada persidangan tersebut, Eichmann tampak seperti pria normal yang ia temui sehari-hari: lempeng, mengikuti sidang dengan baik, dan bicaranya masuk akal –the common man. “Ia bukan seseorang yang aneh atau sadis,” tapi “teramat normal” menurut Arendt. Eichmann hanyalah seorang birokrat yang tegak lurus dalam menjalankan tugasnya, seorang yes-man yang hanya ingin menjalankan tugas dengan baik, agar dapat memuluskan jalannya untuk naik jabatan dalam hirarki birokrasi seperti pegawai pada umumnya. “Eichmann bukan orang yang amoral,” ujar Arendt dalam bukunya tersebut. 

Atas pengamatan inilah Arendt membuat konklusi bahwa kejahatan dapat juga dilakukan oleh “orang-orang biasa”. Menurutnya, kejahatan bisa dilakukan oleh orang-orang biasa tanpa adanya motivasi jahat atau kebencian yang mendalam, tetapi lebih karena ketidakmampuan untuk berpikir secara kritis dan independen, serta rasa apatis terhadap dampak tindakan mereka. Thus, evil is a banal thing, not an extraordinary. Eichmann mengingatkan kita dengan tokoh utama dalam novel Albert Camus, L’etranger/The Stranger (1942), yang membunuh seorang pria secara tiba-tiba dan tanpa alasan, tetapi kemudian tidak merasa menyesal. Tidak ada niat khusus atau motif jahat yang jelas: perbuatan itu “terjadi begitu saja”. Beberapa kali, orang melakukan kejahatan bukan karena mereka adalah seseorang yang “jahat”, kejam, atau psikopat, tapi simply karena mereka tidak bisa berpikir dengan jernih atau hanya bisa mengikuti perintah saja.

Namun, seiring berjalannya waktu, teori Arendt yang menyederhanakan motivasi pelaku kejahatan menjadi semata-mata kepatuhan birokratis justru berbahaya karena berpotensi mengaburkan agensi dan intensi pelaku yang sebenarnya. Arendt hanya mendasarkan penilaiannya dari satu sisi (cherry picking) yang sempit. Analisisnya terlalu superfisial karena ia lebih menitikberatkan “siapa” yang melakukan kejahatan tersebut, bukan “apa” kejahatan yang telah dilakukan. Ditambah lagi, akhirnya ditemukan bukti rekaman wawancara yang menunjukkan bahwa Eichmann bukanlah seseorang yang hanya mengikuti perintah dan tidak berdosa. Pada rekaman tape tersebut, Eichmann mengakui bahwa “…iya, birokrat yang polos itu adalah aku, tapi ia sekaligus seorang pejuang (Nazi) yang ingin memerdekakan rasnya,…”. Karenanya, pendekatan Arendt yang menekankan pada ketiadaan niat jahat eksplisit dalam diri Eichmann gagal menangkap realitas psikologis dan ideologis dari para pelaku kekerasan sistemik. Dalam konteks kekerasan modern yang didesain rapi dalam kerangka hukum, administrasi, dan teknologi, kejahatan justru sering dilakukan dengan sadar dan terencana –berbungkus bahasa prosedur atau legitimasi legal, namun tetap brutal pada esensinya. And sadly, Hannah Arendt couldn’t see through it: the facade of evil.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang Israel yang tercuci otaknya sejak kecil untuk membenci dan memandang rendah orang Palestina? Apakah mereka bukan orang jahat karena mereka hanya mengikuti dogma yang mereka dapat dari kurikulum pendidikan dan/atau kebencian yang diturunkan dari orang tua ataupun saudara sedarahnya? Jawabannya iya, tentu saja mereka jahat. Walaupun mereka tidak melakukannya secara langsung: menembakkan peluru timah ke seorang anak kecil di tengah jalan, melepas rudal peledak dari pesawat tempur yang mengarah ke rumah sakit, atau menjadi perdana menteri yang membuat kebijakan untuk memusnahkan Palestina, mereka tetaplah bersalah. Tidak hanya orang Israel; semua orang di dunia ini yang mendukung praktik genosida yang dilakukan Israel merupakan seseorang yang jahat. Bahkan, orang yang diam saja dan tidak menyuarakan kejahatan yang dilakukan Israel kepada rakyat Palestina juga bersalah. Because inaction is consent and silence is complicity. Ketika kita berpura-pura untuk tidak melihat ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita, berarti kita meng-enable/membolehkan penindas tersebut untuk melakukan aksinya. Dengan menutup mulut, kitalah yang terus memelihara katastrofe tersebut. Padahal, menunjukkan peduli hanya semudah menggerakkan jari. Padahal, mencari tahu tidak akan lebih sulit dibanding menjawab pertanyaan-pertanyaan di liang lahat nanti.

Lantas, masih pantaskah kita menyebut kejahatan adalah sesuatu yang banal? Memberikan stempel “banal” bagi suatu tindak kejahatan berarti menganggapnya remeh. Memandang kejahatan dengan sepele berarti mengerdilkan apa yang dialami oleh korban. Dengan menamainya kebanalan, berarti kita menormalisasikannya: “membiasakan” sesuatu yang “luar biasa”. Maka dari itu, mari dengan sekuat tenaga mencegah agar hal itu tak terjadi. Karena kejahatan tidak boleh jadi banal. Karena kejahatan tidak akan pernah banal.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan menarik lain tentang Palestina 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//