Diskusi Buku Antologi Setara Tak Seteru di El Portee: Meninjau Ulang Utang Kesetaraan setelah 79 Tahun Indonesia Merdeka
Buku antologi "Setara Tak Seteru" berbicara tentang ketimpangan dalam mengakses sarana prasarana pendidikan yang setara dan inklusif.
Penulis Tim Redaksi16 Mei 2025
BandungBergerak.id - Tujuh puluh sembilan tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia masih memiliki utang besar dalam mewujudkan kesetaraan, terutama di bidang pendidikan. Kemerdekaan yang seharusnya menjadi tonggak pembebasan dari segala bentuk ketimpangan nyatanya belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Realitas ini menjadi dasar pemikiran buku antologi Setara Tak Seteru, karya kolektif yang menghimpun gagasan para penulis dengan latar belakang beragam: pendidikan, profesi, hingga pengalaman hidup. Buku ini tidak hanya berbicara tentang pendidikan sebagai sarana belajar-mengajar, tetapi juga sebagai arena perjuangan sosial dalam menciptakan ruang inklusif dan adil.
Peluncuran dan diskusi buku setebal 178 halaman ini digelar di acara Anjangsana Buku, di El Portee, Bandung, Jumat, 9 Mei 2025; diinisiasi kolaborasi empat komunitas literasi: Asian African Reading Club (AARC), Manjing Manjang, Kemesraan Indie, dan O Collective. Forum ini menjadi ruang refleksi bersama, terutama dalam konteks Hari Pendidikan Nasional yang jatuh awal Meil kemarin, untuk menegaskan kembali pentingnya kesetaraan sebagai prinsip fundamental, sesuai nilai-nilai yang digemakan Konferensi Asia Afrika tahun 1955.
Literasi: Jalan Kesetaraan
“Sedikit demi sedikit harus menulis,” ujar Adew Habtsa, salah satu penampil musik dalam acara tersebut.
Musikus balada yang juga Sekjen AARC ini menjelaskan, menulis adalah langkah awal dalam melestarikan pendidikan. Buku dan tulisan bukan hanya media belajar, tetapi juga cara membingkai kesadaran dan pengalaman, sekaligus memperluas akses terhadap pengetahuan yang kerap tidak merata.
Dalam konteks pendidikan, kesetaraan berarti membuka ruang bagi setiap individu untuk mendapatkan hak belajar yang layak, tanpa memandang gender, etnis, agama, atau status sosial. Sayangnya, negara belum sepenuhnya menyelesaikan persoalan mendasar ini. Ketimpangan akses pendidikan masih menjadi tantangan utama di berbagai daerah di Indonesia.
Editor buku, M. Ihsan Maulana, menegaskan pentingnya peran buku sebagai simbol kemajuan pendidikan. “Satu buku dapat mengubah satu kehidupan,” ujarnya.
Ihsan menolak pandangan bahwa pendidikan bisa dikampanyekan hanya lewat angka statistik. Pendidikan haruslah dijalani sebagai pengalaman dan proses yang adil bagi semua pihak.
Baca Juga: Pameran Red RAWS Center Pasar Antik Cikapundung: Mengkritik Estetika Kolonial lewat Lensa Punk dan Zine, Berani Jelek adalah Pemberani
Roti Sidodadi di Mata Karyawan dan Penjual Gorengan
Bernostalgia di Pasar Kenangan
Kesetaraan sebagai Harmoni Sosial
Salah satu penulis, Lisa Nurjanah, mengangkat isu kesetaraan dari perspektif feminisme. Ia mengambil ilustrasi tentang gerbong khusus perempuan di transportasi umum. Menurutnya, kebijakan itu lahir dari ketimpangan kenyamanan dan keamanan yang dialami perempuan. Namun ia juga mencatat bahwa kesadaran akan kesetaraan gender dalam pendidikan sudah mulai mengalami perbaikan sejak ia menulis esai tersebut.
Namun, Lisa menegaskan pengetahuan, tidak cukup jika tidak dibarengi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pandangan ini diamini oleh salah satu peserta diskusi, Devita, yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan minat baca seharusnya membentuk sensitivitas sosial.
Di sinilah letak pentingnya humanisme dalam pendidikan, bahwa kesetaraan bukan hanya soal kesempatan, tetapi juga soal membentuk pribadi yang peduli dan inklusif.
Yusuf Taziri, salah satu penulis dalam buku ini, melalui esai berjudul “Hidup Berdampingan dan Damai” mengajak pembaca melihat Indonesia sebagai bangsa besar yang berdiri di atas prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Menurutnya, kesetaraan bukan semata tindakan atau kebijakan, melainkan kebesaran hati untuk menerima perbedaan dan menjadikannya kekuatan.
Yusuf menawarkan konsep kesetaraan yang dimulai dari toleransi, dilanjutkan dengan gotong royong, hingga terciptanya lingkungan yang inklusif. Proses ini tidak hanya menciptakan ruang belajar yang setara, tetapi juga memungkinkan masyarakat untuk hidup berdampingan dalam damai.
Diskusi ditutup dengan kutipan terkenal dari Sukarno yang menjadi pengingat akan pentingnya generasi muda: “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” Bagi Yusuf, kolaborasi antara generasi tua dan muda adalah syarat mutlak dalam membangun sistem pendidikan yang adil dan berkelanjutan.
Kesetaraan dalam pendidikan, sebagaimana ditegaskan dalam buku antologi Setara Tak Seteru, tidak berarti seragam. Ia adalah pengakuan terhadap keragaman, sekaligus upaya sadar untuk memastikan setiap individu memiliki tempat dan kesempatan yang adil. Buku ini menjadi seruan moral agar untuk tidak berhenti bertanya dan menulis agar mencapai "setara dan tak seteru".
*Liputan ini hasil reportase reporter BandungBergerak Aqeela Syahida Fatara dan Vallencya Alberta