Menakar Bias Rasial dalam Peradilan Indonesia
Kasus di Surabaya dan Balikpapan hanyalah sebagian kecil bukti bahwa eksklusi bernama “nasionalisme rasial” masih mengakar dalam lembaga penegak hukum.

Nazhif Ali Murtadho
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
16 Mei 2025
BandungBergerak.id – Pasca-Reformasi 1998, Indonesia menjanjikan era baru dengan amandemen UUD 1945 dan serangkaian undang-undang yang mengokohkan hak asasi manusia, termasuk Undang-Undang No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta pengesahan Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dalam UU No. 12/2005. Namun, di mata sebagian warga, keadilan masih tampak timpang, terutama bagi kelompok yang kerap dilabeli “pembelot” atau “pemisah”. Kasus-kasus di Papua –mulai dari aksi rasisme di Surabaya hingga penangkapan mahasiswa dan pemimpin politik dalam apa yang disebut “Balikpapan Seven”– menunjukkan bahwa dalam praktik, kekerasan simbolik dan hukum kerap berpadu melanggengkan diskriminasi. Salah satu contoh paling nyata adalah penyalahgunaan Pasal Makar (treason) untuk mendeportasi aspirasi politik mereka, sekaligus kurangnya penindakan terhadap pelaku kejahatan rasial.
Baca Juga: Militer di Ruang Siber, Langkah Strategis atau Ancaman bagi Kebebasan Digital?
Menakar Prinsip Keadilan dalam Asas Fiksi Hukum
Normalisasi Diskriminasi di Ruang Publik dan Sidang
Pada Agustus 2019, sekelompok mahasiswa Papua di asrama Kamasan, Surabaya menjadi korban kekerasan rasial ketika selembar bendera Merah Putih tampak menyentuh selokan. Alih-alih melakukan penyelidikan menyeluruh, aparat keamanan dan ormas ultra nasionalis langsung menuding mahasiswa sebagai pelaku. Ratusan orang –termasuk TNI, Polri, Satpol PP, FPI, dan Pemuda Pancasila– menyerang dan meneriakkan hinaan “monyet” dan “babi”, serta ancaman pengusiran, memaksa ribuan mahasiswa Papua meninggalkan kampus dan rumah kost mereka. Dari ratusan pelaku kekerasan, hanya empat orang yang diadili –satu guru, satu pegawai negeri, satu prajurit, dan satu warga sipil– dengan hukuman sangat ringan. Menariknya, prajurit yang terlibat hanya diproses di pengadilan militer dan akhirnya bebas masa tahanan, sedangkan warga sipil mendapat hukuman beberapa bulan penjara. Pola ini mengilustrasikan bagaimana status “elite” aparat memberi ruang bagi peradilan yang lunak, sementara warga sipil diposisikan sebagai biang kerok yang pantas dihukum.
Situasi di Surabaya mencerminkan ketidakkonsistenan aparat penegak hukum: ketika korporasi kekerasan diarahkan kepada mahasiswa Papua, potensi pasal anti diskriminasi tidak dioptimalkan. Padahal Undang-Undang No. 40/2008 memberikan perlindungan tegas bagi setiap warga dari perlakuan rasial. Akibatnya, lebih dari -6.000 mahasiswa Papua meninggalkan kampus mereka di Jawa. Alih-alih menjadi instrumen pemberdayaan korban, instrumen hukum ini justru teronggok di rak tanpa implementasi yang nyata. Sebaliknya, nuansa nasionalisme eksklusif yang menyerap narasi “penghianat” kian memperkokoh pandangan bahwa mempertanyakan dominasi nasional atau menyorot ketidakadilan adalah tindakan makar.
Di atas kertas, kebebasan berpendapat dan berkumpul diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, UU Kebebasan Berekspresi (UU No. 9/1998), dan ratifikasi ICCPR (Pasal 19). Sayangnya, pasal-pasal ini sering diabaikan dalam persidangan yang melibatkan orang Papua. Daripada dilindungi, hak sipil mereka justru dibatasi: Pertama. Penyalahgunaan Pasal Makar: Setelah putusan MK No. 7/PUU-XV/2017 menegaskan bahwa unsur “serangan” (aanslag) dan kekerasan harus terbukti untuk menjerat seseorang dengan makar, aparat di lapangan sering kali melabeli unjuk rasa damai sebagai “upaya memisahkan diri”. Padahal, menuntut dialog atau hak penentuan nasib sendiri tidak otomatis memenuhi unsur serangan bersenjata.
Kedua. Pilihan Dualistik Terhadap Hukum Internasional: Meskipun MK dan beberapa hakim sesekali mencantumkan prinsip internasional (UDHR, Prinsip Johannesburg), banyak hakim di pengadilan negeri mengabaikannya. Dalam kasus pemadaman internet di Papua, pengadilan berpegang pada norma internasional; tetapi dalam kasus makar, mereka lebih memilih interpretasi sempit Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketiga. Budaya “Othering” dan Eksklusi: Diskursus resmi sering kali menggambarkan pemimpin Papua sebagai “separatis”, “primitif” atau “pengkhianat”. Label ini menciptakan hierarki politik rasial, di mana hakim dan penegak hukum merasa “patriotik” bila memberikan vonis berat kepada orang Papua, namun ringan terhadap pelaku kekerasan rasial.
Akibatnya, hukum yang seyogianya melindungi semua warga negara justru menjadi instrumen represi bagi minoritas Papua.
Meretas Hambatan untuk Keadilan Inklusif
Kasus “Balikpapan Seven” menambah daftar panjang bagaimana pasal makar (art. 106 KUHP) dipelintir untuk membungkam ekspresi damai. Tujuh aktivis politik dan mahasiswa Papua ditangkap atas tuduhan makar setelah melakukan unjuk rasa anti rasisme. Padahal, Mahkamah Konstitusi pada Putusan No. 7/PUU XV/2017 menegaskan bahwa unsur “aanslag” atau serangan fisik bersenjata harus dibuktikan untuk memenuhi delik makar. Namun di pengadilan negeri, unsur ini sama sekali tidak dikedepankan; yang ditonjolkan hanyalah niat politik pelaku menggelar dialog tentang penentuan nasib sendiri. Akibatnya, hukuman berat dijatuhkan, memicu kegeraman aktivis HAM dan mengundang kritik internasional.
Kegagalan menerjemahkan putusan MK dan meratifikasi prinsip-prinsip internasional tentang kebebasan berekspresi, seperti Pasal 19 ICCPR dan Prinsip Johannesburg, memperlihatkan betapa ambivalennya sikap negara terhadap hak politik minoritas. Di satu sisi, Indonesia secara formal monist –mengesahkan ICCPR– tetapi di sisi lain, praktik dualisme hukum membuat norma internasional sering terkubur di tumpukan pasal KUHP yang bersifat represif. Kesadaran ini seharusnya mendorong pembaruan hukum pidana agar sejalan dengan standar HAM global, bukan dipinggirkan demi stabilitas politik sempit agenda nasionalis.
Menuju Keadilan yang Setara
Membongkar siklus diskriminasi membutuhkan tiga langkah strategis. Pertama, institusi penegak hukum harus menjalankan Undang-Undang Anti Diskriminasi dengan tegas, termasuk memproses semua pelaku rasisme –aparat maupun sipil– sesuai ketentuan maksimal. Transparansi proses penyidikan dan persidangan akan mencegah seleksi kasus berdasarkan kedekatan politik pelaku. Serta, implementasi putusan MK secara konsisten: Pengadilan negeri harus menerapkan unsur “serangan” dalam kasus makar.
Kedua, pemerintah dan DPR perlu memasukkan ketentuan UDHR, ICCPR tentang kebebasan berekspresi dan prinsip-prinsip Johannesburg ke dalam hukum positif. Dengan begitu, hakim di tingkat pertama tak lagi ragu menjadikan norma internasional sebagai pijakan interpretasi hukum nasional dalam putusan. Penegakan konsisten akan menghindarkan penggunaan pasal makar sebagai senjata politik.
Ketiga, pendidikan hukum dan literasi HAM bagi aparat keamanan, jaksa, dan hakim mesti diperkuat, serta dibekali pemahaman tentang diskriminasi struktural dan multiculturalisme. Pelatihan berkelanjutan tentang keragaman budaya Indonesia, toleransi, serta batasan penegakan hukum di zona kebebasan sipil akan membangun sensitivitas terhadap potensi kekerasan atau diskriminasi. Budaya birokrasi yang responsif dan menghormati harkat setiap warga negara akan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Penutup
Reformasi hukum di Indonesia belum akan sempurna tanpa kesetaraan hak bagi seluruh warga. Kasus Surabaya dan Balikpapan hanyalah sebagian kecil bukti bahwa eksklusi bernama “nasionalisme rasial” masih mengakar dalam lembaga penegak hukum. Keadilan sejati tercipta ketika hukum mampu menjadi perisai, bukan cambuk, bagi seluruh lapisan masyarakat. Mengikis bayang-bayang nasionalisme eksklusif dalam praktik peradilan adalah tantangan berat, tetapi juga kesempatan bersejarah bagi Indonesia untuk menegaskan diri sebagai bangsa yang adil dan menghargai keragaman. Dengan memperkuat instrumen hukum, memasukkan norma internasional, dan menumbuhkan kesadaran aparat tentang pentingnya nondiskriminasi, kita dapat mewujudkan peradilan yang inklusif –tempat di mana hak setiap warga, termasuk Papua, diakui dan dijaga. Pada akhirnya, bangsa ini dapat mewujudkan cita-cita hukum sebagai pelindung semua warga negara –tanpa kecuali.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang hukum