• Opini
  • Menakar Prinsip Keadilan dalam Asas Fiksi Hukum

Menakar Prinsip Keadilan dalam Asas Fiksi Hukum

Penerapan hukum yang kaku dapat mengancam hak asasi. Mengabaikan prinsip keadilan yang seharusnya memberikan perlakuan khusus pada individu yang kurang berdaya.

Nazhif Ali Murtadho

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya

Ilustrasi. Hukum harus berpihak kepada hati nurani dan kemanusiaan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

24 April 2025


BandungBergerak.idNemo ius ignorare consetur atau iedereen wordt geacht de wet te kennen, yang artinya setiap orang dianggap tahu akan undang-undang. Namun, postulat tersebut tidak berdiri sendiri, postulat berikutnya Ignorantia leges excusat neminem, yang berarti ketidaktahuan akan hukum bukan merupakan alasan pemaaf. Demikian bunyi postulat yang dalam beberapa literatur sebagian besar dipahami oleh mahasiswa hukum sebagai asas fiksi hukum, atau presumptio iures de iure.

Dalam tatanan hukum modern, asas fiksi hukum menjadi salah satu instrumen penting yang sering kali mempermudah implementasi hukum dengan mengasumsikan kebenaran suatu fakta meskipun realitasnya bisa berbeda. Konsep dua postulat di atas menggarisbawahi bahwa setiap warga negara dianggap mengetahui hukum yang berlaku, sehingga ketidaktahuan atas undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pembelaan. Dalam konteks ini, penerapan asas fiksi hukum sering kali bersentuhan dengan prinsip keadilan yang mendasar, yaitu keharusan adanya pertanggungjawaban pada pelaku sesuai dengan tingkat kesalahan yang telah dilakukan.

Baca Juga: Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Bandung Meningkat, Penegakan Hukum masih Lemah
Membincangkan Dinamika Hukum Indonesia dan Langkah Terjal Hukum Perdata Internasional
Hukum yang Tak lagi Sakral

Pemahaman Teoritis

Prinsip geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa merupakan pilar utama dalam hukum pidana modern. Asas ini menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dihukum tanpa adanya bukti konkret mengenai kesalahan yang melekat pada perbuatannya. Dalam praktiknya, asas ini mengharuskan penuntutan untuk dapat membuktikan elemen kesengajaan atau kealpaan secara objektif melalui serangkaian bukti faktual.

Implementasi asas ini membawa tantangan tersendiri ketika dihadapkan pada penerapan fiksi hukum. Di satu sisi, fiksi hukum digunakan untuk menyederhanakan realitas dan memberikan kepastian hukum; namun di sisi lain, penerapan yang terlalu mekanistik dapat mengabaikan unsur kemanusiaan serta kondisi individual pelaku. Dalam hal ini, evaluasi secara kontekstual tentang sikap batin dan tingkat pengetahuan pelaku menjadi sangat penting untuk memastikan tidak terjadi ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Adanya postulat bahwa "ketidaktahuan terhadap hukum bukanlah alasan pembebasan" harus ditinjau ulang apabila pelaku berada dalam posisi yang sangat terbatas dalam mengakses atau memahami norma hukum. Dengan demikian, asas geen straf zonder schuld menuntut keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substansial yang mengakomodir variasi kondisi sosial serta kemampuan intelektual pelaku.

Dalam upaya menyeimbangkan antara kepastian hukum dan keadilan, teori kesesatan memainkan peran vital sebagai mekanisme verifikasi adanya kesalahan dalam penilaian hukum. Terdapat dua jenis kesesatan tak dapat dipidana yang diakui dalam hukum pidana, yaitu: Pertama. Feitelijke Dwaling (Kesesatan Fakta): Merujuk pada kekeliruan yang tidak disengaja terkait pada salah satu unsur perbuatan pidana. Contohnya adalah ketika seseorang yang menggunakan surat yang ternyata tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, sehingga tidak dapat dikenakan pidana meskipun berbicara mengenai penggunaan surat palsu (ex: Pasal 391 ayat (2) KUHP Nasional). Feitelijke dwaling menuntut evaluasi ulang atas bukti-bukti yang ada untuk menilai apakah pelaku benar-benar memiliki niat jahat atau sekadar salah persepsi terhadap fakta.

Kedua. Rechtsdwaling (Kesesatan Hukum): Mengacu pada kekeliruan pelaku dalam menafsirkan atau memahami ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini terjadi ketika pelaku berasumsi bahwa perbuatannya tidak dilarang oleh hukum, padahal pada kenyataannya terdapat larangan yang harus dipatuhi. Di sini, unsur pengetahuan dan latar belakang pelaku menjadi pertimbangan penting. Kesesatan hukum dibagi menjadi dua jenis: yang dapat dimengerti, seperti pada individu dengan latar belakang pendidikan yang rendah, dan yang tidak dapat dimengerti, yang seharusnya sudah diketahui oleh pelaku yang berpendidikan memadai.

Prinsip Keadilan dalam Perspektif Fiksi Hukum

Asas fiksi hukum dalam ilmu hukum membawa konsepsi bahwa dalam penerapan norma hukum, terdapat unsur asumsi yang secara formal dianggap benar walaupun bisa saja tidak sesuai dengan fakta. Konsep ini sangat relevan jika dikaitkan dengan prinsip keadilan, terutama ketika kita mengaplikasikan pemikiran hukum yang mengedepankan pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan (culpa). Prinsip geen straf zonder schuld mensyaratkan agar setiap penjatuhan hukuman harus didasari oleh adanya kesalahan yang nyata pada pelaku, di mana unsur kejiwaan (mens rea) turut menjadi faktor penentu. Dengan demikian, penggunaan fiksi hukum hendaknya tidak menutupi realitas kesalahan, melainkan mengkompensasi kekurangan dalam pembuktian tanpa mengabaikan asas keadilan substantif.

Seiring perkembangan zaman, pemikiran tentang keadilan dalam hukum mengalami pergeseran signifikan, terutama dengan munculnya teori keadilan modern yang dipopulerkan oleh John Rawls dan Robert Nozick. Dua pemikir ini menawarkan kerangka konsep yang berbeda dalam menilai kebijakan hukum dan etika penerapan hukuman, yang pada gilirannya memperkaya perdebatan mengenai asas fiksi hukum.

John Rawls mengemukakan teori keadilan sebagai fairness, yang pada intinya mengedepankan distribusi keadilan yang adil bagi seluruh anggota masyarakat. Menurut Rawls, institusi hukum harus didesain sedemikian rupa agar menyamakan kesempatan bagi seluruh warga, serta mengutamakan prinsip perbedaan (difference principle) yang hanya memperbolehkan ketimpangan jika menguntungkan pihak yang kurang beruntung.

Dalam konteks fiksi hukum, pendekatan Rawls memberikan pandangan bahwa setiap penerapan hukum harus mempertimbangkan keadilan distributif. Pemaksaan asas geen straf zonder schuld sejalan dengan gagasan Rawls bahwa pelaku hukum seharusnya diperlakukan secara adil berdasarkan keadaan sosial, ketersediaan informasi, dan tingkat pemahaman terhadap hukum. Apabila terdapat kesesatan fakta atau hukum (feitelijke dwaling dan rechtsdwaling), penerapan hukuman yang berat dianggap bertentangan dengan prinsip fairness yang diusung Rawls. Dengan demikian, penerapan fiksi hukum hendaknya diimbangi oleh evaluasi menyeluruh terhadap kondisi pelaku agar keadilan tetap terjaga, terutama bagi mereka yang berada dalam posisi yang kurang beruntung atau terdidik.

Contohnya, dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Probolinggo Nomor 179/PID.B/2014/PN.PBL, kendati secara formil terbukti melanggar ketentuan pengelolaan wilayah pesisir, fakta bahwa terdakwa merupakan buruh pasir yang minim pendidikan dan tidak memahami bahasa hukum, menunjukkan adanya kejanggalan dalam penerapan asas yang terlalu kaku. Pendekatan Rawls mengharuskan adanya pertimbangan kontekstual guna menghindari ketidakadilan substantif yang merugikan pihak yang kurang memiliki akses pengetahuan hukum.

Berlawanan dengan pemikiran Rawls, Robert Nozick menawarkan perspektif libertarian yang menekankan pada hak-hak individu dan kebebasan dari campur tangan negara yang berlebihan. Menurut Nozick, keadilan berarti penghormatan terhadap hak kepemilikan pribadi dan kebebasan untuk membuat pilihan tanpa dipaksa oleh otoritas negara.

Dalam kerangka fiksi hukum, pandangan Nozick menuntut agar setiap penerapan hukuman harus berdasar pada kebebasan dan tanggung jawab individual. Asas geen straf zonder schuld menjadi prinsip yang sangat sesuai dengan pandangan Nozick karena menuntut agar tanggung jawab pidana hanya dikenakan apabila pelaku secara sadar dan bermaksud melakukan perbuatan melanggar hukum. Apabila terjadi kesesatan fakta atau hukum, yaitu ketika pelaku keliru dalam memahami hakikat perbuatannya, maka penerapan hukuman tanpa mempertimbangkan kondisi tersebut dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak individu yang fundamental.

Kasus Putusan Nomor 2008 K/Pid.Sus/2016 yang menjerat dr. Trifena, walaupun secara normatif terbukti melanggar peraturan mengenai penggunaan obat, menampilkan aspek ketidaktahuan pelaku yang seharusnya menjadi pertimbangan meringankan jika dilihat dari perspektif Nozick. Penuntutan hukum yang kaku tanpa mempertimbangkan kekeliruan yang terjadi dalam proses perhitungan atau persepsi hukum dapat mengabaikan hak asasi pelaku dan mengorbankan kebebasan individu dalam membuat keputusan yang kompleks di dunia medis.

Penerapan Asas Fiksi Hukum dalam Perspektif Keadilan dan Kesesatan

Pada Putusan Pengadilan Negeri Probolinggo Nomor 179/PID.B/2014/PN.PBL, terdakwa Busrin dipidana karena menebang pohon mangrove secara ilegal. Meskipun bukti secara formal memenuhi unsur pelanggaran, terdapat fakta bahwa Busrin berasal dari latar belakang ekonomi dan pendidikan yang sangat terbatas. Dari sudut pandang Rawls, perlakuan yang tidak mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi Busrin dapat dianggap tidak adil karena mengabaikan prinsip keadilan distributif, yang seharusnya memberikan perlakuan khusus pada individu yang kurang berdaya.

Sementara itu, dalam perspektif Nozick, penerapan hukum yang kaku ini mengabaikan aspek kebebasan individu untuk berbuat salah akibat keterbatasan informasi dan pendidikan, sehingga menempatkan hak asasi Busrin pada posisi yang terancam.

Selain itu, jika dihadapkan dengan penilaian feitelijke dwaling dan rechtsdwaling, terdapat argumentasi bahwa Busrin mungkin tidak sepenuhnya memahami implikasi tindakannya berdasarkan kekeliruan fakta maupun interpretasi hukum. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan untuk meringankan atau bahkan membatalkan hukuman, dengan catatan bahwa tidak terdapat niat jahat (dolus malus) secara sadar dari pelaku.

Dalam kasus dr. Trifena yang divonis berdasarkan penggunaan obat-obatan yang belum terdaftar di BPOM, aspek ketidaktahuan hukum tidak dapat dijadikan alasan pembebasan, sesuai dengan postulat ignorantia juris non excusat. Namun, dari perspektif keadilan, terutama yang ditekankan oleh teori Nozick, penjatuhan hukuman yang tidak mempertimbangkan ketidaktahuan pelaku dalam konteks profesional yang kompleks dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak individu dalam menafsirkan norma hukum.

Dalam kasus ini, penerapan asas fiksi hukum yang menyimpulkan bahwa ketidaktahuan pelaku tetap berdosa, perlu diimbangi dengan evaluasi tentang adanya rechtsdwaling. Apabila dapat dibuktikan bahwa dr. Trifena benar-benar keliru dalam menafsirkan status legal obat yang digunakan, maka penilaian mengenai kesengajaan seharusnya dikaji ulang guna memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan benar-benar proporsional dengan tingkat kesalahan yang terjadi.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang hukum

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//