Hukum yang Tak lagi Sakral
Selama sistem hukum masih lemah dan korupsi tetap menjadi bagian dari budaya, keadilan akan terus menjadi ilusi.

Fathan Muslimin Alhaq
Penulis konten lepas asal Jakarta
18 April 2025
BandungBergerak.id – Hukum di negeri ini, yang seharusnya menjadi benteng keadilan, sering kali tampak seperti bayangan yang memudar di bawah terik kekuasaan. Setiap tahun, Indonesia dihadapkan pada berbagai kasus korupsi yang semakin memperlihatkan betapa lemahnya sistem hukum dalam menindak tegas para pelaku. Korupsi bukan lagi sekadar tindakan menyalahgunakan wewenang, tetapi sudah menjadi budaya yang mengakar dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara itu, kejahatan korporasi dalam bentuk perampasan tanah adat juga semakin marak, menyingkirkan hak-hak masyarakat yang telah turun-temurun tinggal di wilayahnya.
Pada tahun 2025, Indonesia kembali diguncang oleh skandal korupsi dengan nilai kerugian yang mencapai triliunan rupiah. Salah satu kasus terbesar adalah dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). KPK telah menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yang diduga merugikan negara hingga Rp 11,7 triliun. Penyelidikan mengungkap adanya indikasi benturan kepentingan antara pejabat LPEI dan debitur PT Petro Energy, yang secara ilegal mendapatkan akses pembiayaan tanpa mekanisme yang transparan. Kasus ini menjadi bukti bahwa lembaga keuangan yang seharusnya membantu pertumbuhan ekonomi justru menjadi sarang korupsi.
Selain itu, Kejaksaan Agung mengungkap skandal besar di sektor pertambangan yang menyeret lima perusahaan tambang timah dalam kasus penambangan ilegal. Praktik ini tidak hanya merugikan negara hingga Rp 29 triliun akibat penjualan bijih timah secara fiktif, tetapi juga menyebabkan kerugian lingkungan yang diperkirakan mencapai Rp 271 triliun. Para tersangka diduga mengantongi keuntungan dengan cara menghindari regulasi yang berlaku, memanipulasi data produksi, dan berkolusi dengan oknum di pemerintahan agar bisnis ilegal mereka dapat terus berjalan.
Sementara itu, persoalan perampasan tanah adat semakin memperlihatkan bagaimana hukum kerap berpihak kepada pemodal besar. Warga adat di Pulau Seram, Maluku, berjuang mempertahankan tanah leluhur mereka yang hendak diambil alih oleh pemerintah melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Maluku. Masyarakat adat menolak pemasangan patok Hutan Produksi Konservasi (HPK) di wilayah mereka karena selama ini tanah tersebut menjadi sumber penghidupan utama. Mereka menyebut tindakan ini sebagai upaya perampasan tanah yang dilakukan dengan kedok regulasi.
Bukan kali ini saja tanah adat menjadi objek sengketa akibat kepentingan bisnis dan investasi. Banyak kasus serupa terjadi di berbagai wilayah, dari Papua hingga Kalimantan, di mana masyarakat adat harus berhadapan dengan perusahaan perkebunan, tambang, dan properti yang didukung oleh oknum pemerintah. Sayangnya, dalam banyak kasus, masyarakat kalah karena hukum lebih berpihak kepada pihak yang memiliki kekuatan finansial.
Baca Juga: Bahasa Hukum dan Titik Balik Sebuah Keadilan
Korupsi Koneksitas, Melintas Batas Sipil dan Militer
Reformasi Kepolisian Menjadi Keniscayaan di Tengah Merosotnya Kepercayaan Publik pada Penagakan Hukum
Tantangan Besar pada Pemberantasan Korupsi
Ironisnya, di tengah gencarnya upaya pemberantasan korupsi, praktik suap dan gratifikasi tetap merajalela. Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 oleh KPK mengungkap bahwa lebih dari 90% kementerian dan lembaga negara masih terlibat dalam praktik suap. Di tingkat pemerintah daerah, angkanya lebih tinggi, mencapai 97%. Temuan ini diperkuat dengan pengakuan 36% responden internal yang menyatakan pernah melihat atau mendengar adanya pemberian uang, barang, atau fasilitas sebagai bentuk gratifikasi.
Data SPI 2024 juga mengungkap bahwa 69,7% bentuk suap atau gratifikasi diberikan dalam bentuk uang tunai, sementara sisanya berupa barang dan fasilitas. Motif pemberian suap juga bervariasi, mulai dari sekadar "ungkapan terima kasih" (47,21%), hingga untuk mendapatkan perlindungan (17,52%), membangun relasi (15,51%), dan karena rasa sungkan (14,22%). Fakta ini menunjukkan betapa budaya korupsi telah mendarah daging, bukan hanya di kalangan pejabat, tetapi juga di masyarakat yang menganggap suap sebagai sesuatu yang lumrah.
Dalam konteks ini, aparat penegak hukum pun tidak luput dari skandal. Kasus pemerasan oleh oknum polisi terhadap peserta acara musik di Jakarta pada awal 2025 kembali mencoreng citra kepolisian. Puluhan warga negara asing ditahan dan dipaksa membayar sejumlah uang untuk kebebasan mereka. Insiden ini memperlihatkan bagaimana hukum dapat dijadikan alat untuk menekan dan mengintimidasi pihak yang lebih lemah.
Berbagai kasus ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Pemerintah dan aparat penegak hukum memang terus menggelar berbagai program antikorupsi. Polri, misalnya, telah melakukan lebih dari 150 kegiatan koordinasi, 135 sosialisasi pendidikan antikorupsi, serta deteksi dan monitoring pada 12 bidang strategis sepanjang tahun 2024. Namun, tanpa adanya keseriusan dalam implementasi kebijakan serta penegakan hukum yang tegas, program-program ini hanya akan menjadi formalitas belaka.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah memperkuat sistem pengawasan internal di semua institusi, baik di pemerintahan maupun di sektor swasta. Selain itu, reformasi di tubuh lembaga penegak hukum harus dilakukan secara menyeluruh agar tidak ada celah bagi aparat untuk melakukan korupsi atau menyalahgunakan wewenang mereka.
Di sisi lain, membangun budaya integritas sejak dini juga menjadi langkah yang penting. Pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian dari kurikulum sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kesadaran masyarakat terhadap dampak buruk korupsi juga harus terus ditingkatkan melalui kampanye-kampanye publik yang efektif. Namun, upaya ini tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan pemerintah dan aparat penegak hukum. Masyarakat juga memiliki peran besar dalam mengawasi jalannya pemerintahan serta berani melaporkan setiap indikasi penyimpangan yang terjadi. Media juga harus berani mengungkap kasus-kasus korupsi dan tidak terpengaruh oleh tekanan dari pihak-pihak berkepentingan.
Pada akhirnya, hukum seharusnya menjadi panglima, bukan alat yang dapat dimanipulasi oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Selama sistem hukum masih lemah dan korupsi tetap menjadi bagian dari budaya, keadilan akan terus menjadi ilusi. Jika tidak ada perubahan nyata, hukum di negeri ini akan semakin kehilangan sakralitasnya, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara pun akan terus menurun.
Indonesia membutuhkan revolusi dalam sistem hukumnya, bukan hanya janji-janji kosong atau langkah-langkah setengah hati. Jika tidak, negeri ini akan terus tenggelam dalam pusaran korupsi dan ketidakadilan yang tak berkesudahan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya mengenai hukum