Cara ARTROPODA Membiakkan Wacana dari Pinggiran
Yang dilakukan ARTROPODA menunjukkan bahwa praktik literasi tak butuh panggung besar, cukup dengan keberanian untuk memulai, dan kerendahan hati untuk mendengarkan.

Rully Ramdhani
Buruh pabrik tekstil di Karanganyar yang suka membaca buku dan berkeluh sembari ngopi
16 Mei 2025
BandungBergerak.id – Di tengah arus besar diskusi literasi yang sering kali bersandar pada nama besar narasumber, kredensial akademik, atau kaliber intelektual tertentu, muncul satu inisiatif kecil namun bernyali dari pinggiran Solo –tepatnya di Palur, Karanganyar, sebuah wilayah yang kerap dicap sebagai “Solo coret.” Dari tempat yang dianggap luar pusat ini, sebuah forum wacana bernama ARTROPODA diselenggarakan secara rutin oleh Kedai Lahan Subur, kedai kopi dengan tagline yang unik: “Mirip Kedai Kopi, Hampir Perpustakaan.”
Kedai ini bukan sekadar tempat minum kopi. Ia adalah ruang yang berani membangun ekosistem kulturalnya sendiri, tanpa perlu menunggu legitimasi dari kampus, lembaga, atau institusi. Buku-buku tersedia yang bebas dibaca maupun dibawa pulang hanya dengan konfirmasi nama, judul, dan rentang waktu peminjaman.
“Saat semua orang sudah tidak bisa saling percaya, mungkin dunia ini akan berakhir. Syarat utama meminjam buku di sini hanya satu: saling percaya,” ujar Okki Munanda, pendiri kedai. Ada keyakinan kuat bahwa literasi dimulai dari niat baik, dan bahwa buku memiliki takdir untuk dibaca, bukan sekedar dipajang.
Berbeda dari wacana dominan yang sering menyandarkan diskusi pada struktur hierarkis –di mana ada yang bicara dan ada yang mendengarkan– ARTROPODA tidak menggunakan istilah ‘bedah buku.’ Istilah tersebut sering kali menghadirkan kesan formal, kaku, dan menempatkan peserta sebagai pendengar pasif dari seorang narasumber yang memiliki otoritas tafsir. ARTROPODA, justru sebaliknya, membuka ruang bagi siapa saja untuk berbagi kesan, membacakan potongan kalimat, atau sekadar mengobrol tentang buku yang mereka temui.
Tak ada keharusan untuk “menguasai” isi buku, tak ada tuntutan untuk menjadi ahli. Yang ada adalah keberanian untuk memulai percakapan dari apa yang paling dekat: pengalaman membaca itu sendiri. Inilah bentuk keberanian yang tak populer: menjadikan semua orang sebagai subjek. Dalam ARTROPODA, tak ada yang lebih tinggi atau lebih tahu. Ruang ini melawan dikotomi klasik antara pusat-pinggiran, ahli-awam, tahu-tak tahu. Dengan kata lain, ARTROPODA adalah bentuk praktik dekonstruksi dalam makna Derridean –yakni dengan meruntuhkan hierarki biner yang telah mapan dan membuka kemungkinan makna lain dari praktik literasi itu sendiri.
Baca Juga: Menyoal Disrupsi Literasi di Era Teknologi Informasi
Perempuan dan Literasi, Memerah Makna Surat dari Tokoh Wanita Berpengaruh di Toko Buku Pelagia
Lahirnya Perpustakaan-perpustakaan Independen di Bandung, Gerakan Literasi tak Pernah Mati
Karena ia Berbuku-buku
Nama ARTROPODA pun menyimpan makna simbolik yang mencerminkan filosofi ini. Kenapa Artropoda? Karena ia berbuku-buku. Artropoda adalah filum makhluk hidup yang memiliki kaki beruas-ruas, memungkinkan pergerakan ke berbagai arah –cabang, belokan, simpang, dan jalur yang tak selalu linier. Begitulah semangat ARTROPODA: ia tumbuh bercabang, menjalar, terkadang kacau, tetapi penuh kemungkinan. Pembacaan tidak harus runut, tidak harus sistematis. Ia bisa lahir dari satu kalimat yang membekas, satu cerita kecil yang menyinggung memori, atau satu kritik terhadap isi buku yang tak cocok dengan pengalaman hidup. Setiap pembacaan adalah dunia sendiri, dan setiap orang punya sudut pandangnya masing-masing.
Sebagai ruang alternatif, ARTROPODA juga membawa semangat ATM –Amati, Tiru, Modifikasi. Namun lebih dari itu, ia membawa semacam kegilaan kolektif untuk tetap hidup meski tanpa dukungan dana, tanpa publikasi masif, tanpa jaminan hadirnya peserta. Dan kegilaan ini mencapai puncaknya dalam ARTROPODA #Pengkajian edisi Ramadan 2025. Selama 21 malam berturut-turut, forum ini diadakan setiap malam, dengan semangat yang sama: berbagi bacaan, mendengarkan, dan merespons.
“Artropoda ini memang agenda rutinan yang diniatkan untuk tetap ada setiap bulan, tapi jika tidak bisa pun tidak apa-apa, seolah tidak ada yang harus. Kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi, masyarakat juga terus bergerak. Ruang ini diciptakan sebagai representasi kultural dari aktivitas sosial di sekitar. Kalaupun ada acara tentang buku di kedai, harusnya memang dunia literasi juga hidup di sekitarnya. Hanya, tajuk #PENGkAJIAN ini spesial turut meramaikan ramadhan dengan cara kita sendiri. Siapapun boleh terlibat dan merawatnya. Kedepannya, mari kita lihat, semoga terus berlanjut,” tutur Okki.
Buku-buku yang dibicarakan pun melampaui batas-batas genre dan kelas. Dari “Catatan Seorang Demonstran”, “Omong Kosong di Beranda”, hingga komik Doraemon dan zine musik punk. Dari teks akademik ke tulisan sufistik. ARTROPODA membongkar pemisahan artifisial antara bacaan “serius” dan “remeh.” Di ruang ini, semua bacaan punya nilai, tergantung siapa yang membacanya dan dari sudut mana ia melihat.
Melalui ini, ARTROPODA juga secara aktif menantang logika institusionalitas pusat dalam dunia literasi. Di dunia Derrida, pusat adalah mitos –sebuah titik yang selalu digeser oleh tanda-tanda lain. Begitu pula dengan wacana: ia tak pernah mutlak, selalu bisa direvisi, digugat, dibuka ulang. Maka ketika Palur –yang dilabeli sebagai pinggiran– menjadi tempat di mana wacana justru dibentuk dan digerakkan secara organik, maka ia sedang menggeser pusat. Pusat kini bukan lagi gedung institusi, tetapi keberanian kolektif untuk memaknai bacaan secara bebas.
ARTROPODA juga tak sekadar forum literasi. Ia adalah bentuk relasi sosial. Dalam pertemuan malam-malam Ramadan itu, diskusi tentang buku berubah menjadi peristiwa sosial. Orang-orang yang sebelumnya asing kini saling mengenal. Buku menjadi jembatan yang mempertemukan berbagai latar belakang: mahasiswa, petani, seniman, pengangguran, atau pekerja kantoran. Tak ada syarat untuk bisa duduk bersama. Yang dibutuhkan hanyalah keinginan untuk membuka halaman dan membaginya.
Refleksi terakhir yang dilakukan usai rangkaian Ramadan menunjukkan bagaimana literasi bisa dibangun dari bawah, dari malam-malam biasa, dari obrolan yang tak terjadwal. ARTROPODA menjadi semacam ritual bersama, bukan dalam makna sakral, tetapi sebagai bentuk keberulangan yang menciptakan kedekatan. Kegiatan ini mungkin terlihat sederhana, tapi justru di situlah kekuatannya: ia menunjukkan bahwa praktik literasi tak butuh panggung besar, cukup dengan keberanian untuk memulai, dan kerendahan hati untuk mendengarkan. Dalam logika dekonstruksi, selalu ada celah dalam struktur dominan, dan selalu ada kemungkinan dari pinggiran untuk menulis ulang pusat. Maka dari itu, Palur bukan sekadar pinggiran geografis, ia adalah pinggiran simbolik yang sedang bergerak, menciptakan narasi dan ruangnya sendiri. ARTROPODA adalah salah satu buktinya –bahwa dari tempat yang luput dari peta, suara bisa muncul dan menjadi gema yang sah.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang literasi