Lukisan-lukisan Menolak Kekerasan Seksual di Thee Huis Gallery
Tujuh belas orang menjadi bagian dari workshop Canvoix di Thee Huis Gallery untuk melukis tentang bahaya kekerasan seksual. Mereka memilih model lukisan abstrak.
Penulis Abdullah Dienullah 16 Mei 2025
BandungBergerak.id - Tirai putih membatasi dua bagian ruangan Thee Huis Gallery, Taman Budaya Jawa Barat, Jalan Bukit Dago Selatan, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Di balik tirai dipajang lukisan-lukisan yang menyuarakan para penyintas, saksi, atau individu terkait kekerasan seksual.
Di sisi luar tirai terpanjang berbagai macam peralatan dan material yang dipenuhi bercak cat dengan berbagai warna, mengisyaratkan bahwa mereka merupakan saksi langsung dari sebuah penciptaan karya lukis. Sebuah poster besar berupa catatan kuratorial yang ditulis oleh Keni K. Soeriaatmadja menyatakan, hal tersebut merupakan “artefak-artefak dari proses penciptaan karya-karya”.
Di hadapan pintu masuk ruang galeri terpampang sebuah spanduk yang memberitahukan mengenai pameran yang sedang berlangsung, X-HIBIT-ION, 12-17 Mei 2025. Pameran ini menghadirkan karya dari 17 orang yang menjadi bagian dari workshop Canvoix.
Tabir putih yang melintang, dengan sela-sela yang memberikan kilasan-kilasan singkat atas deretan lukisan dengan media kanvas yang terpajang di baliknya, memiliki intensi tersendiri juga. Lukisan-lukisan tersebut merupakan lukisan abstrak yang menorehkan salah satu sisi paling gelap kejahatan seksual.
Lukisan abstrak dipilih untuk bisa menyampaikan pengalaman-pengalaman yang mungkin sulit untuk diartikulasikan, sebagaimana rumitnya kasus kekerasan seksual. “(Pada karya abstrak) tidak ada kewajiban untuk ada pesan atau tidak ada kewajiban untuk memahami,” jelas Ari J. Adipurwawidjana, salah satu penggagas dari kegiatan lokakarya X-HIBIT-ION.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut merupakan pembimbing lokakarya ini. Meski demikian, Ari mengatakan lukisan abstrak bisa jadi mengartikulasikan ketidakpahaman dan kebingungan itu.
Kurator Keni K. Soeriaatmadja pun menimpali, dalam pameran ini metode melukis abstrak hadir sebagai media untuk mencapai kebebasan yang sederhana. “Yaitu untuk mengenali perasaan dan menyalurkan yang selama ini terpendam,” jelasnya.
Para peserta lokakarya menggambarkan kompleksitas dan dampak mengerikan dari kekerasan seksual melalui bentuk guratan dan cipratan berbagai warna di atas kanvas, dengan narasi yang terpampang di samping karya.
“Ungkapan emosi ini ada kalanya menyembul pada sapuan kuas yang lembut, namun terkadang muncul juga dalam torehan cat yang menghentak-hentak, atau goresan yang tebal, dalam, dan pekat. Lukisan menyediakan pintu terbuka untuk perasaan yang selama ini tersimpan di dalam (inhibit) untuk cukup percaya diri, dikenali, dan ditampilkan kepada publik (exhibit),” terang Keni.
Biarpun ini merupakan sebuah pameran seni, konsepsi dan persiapan untuk kegiatan ini melibatkan berbagai pihak dari bermacam-macam disiplin. Mengingat subjek pameran ini merupakan sesuatu yang kompleks dan sensitif, maka sebelum berjalannya program lokakarya Canvoix telah diadakan focus group discussion pada 26 April 2025 di Pusat Riset Gender dan Anak, Unpad.
Selain itu, selama berjalannya program lokakarya, Pusat Penguatan Karakter dan Konseling (P2K2) Unpad dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Unpad turut mendampingi untuk memastikan keamanan dan kesehatan para peserta.
Tujuh belas peserta yang mengikuti pameran ini, berasal dari berbagai latar belakang. Beberapa peserta juga bukan orang yang biasa melukis. Mereka bukan seniman rupa, bahkan mayoritas tidak akrab menggunakan cat dan kuas. Tapi mereka dinilai mampu mengekspresikan dirinya melalui komposisi warna, rana, dan irama rupa.
Baca Juga: Zaman Pergerakan Reformasi 1998 dalam Bingkai Lukisan Pameran Tunggal Rahmat Jabbaril
Lukisan Gaya China Tak Pudar Dihantam Pandemi COVID
Pesona Seni dan Budaya di Kampung Giriharja, Menyelami Keindahan Wayang Golek dan Lukisan di Bandung Selatan
Latar Belakang Pameran
Penggagasan pameran ini bermula dari diskursus di kampus Unpad tentang kekerasan seksual yang semakin hari kian dekat dengan kehidupan masyarakat. Sebab kasus ini bisa terjadi kapan dan di mana saja.
“Kesadaran terhadap terjadinya kekerasan seksual di kehidupan sehari-hari itu semakin ada di permukaan wacana, ada bagian dari pembicaraan orang dan semakin ke sini tampaknya orang semakin mudah berbicara tentangnya,” ujar jelas Ari J. Adipurwawidjana, seraya berharap bahwa program ini bisa ditiru dan dikembangkan oleh pihak-pihak lain yang memiliki perhatian yang sama tehadap kasus kekerasan seksual.
Di mata para peserta, pameran ini pun diharapkan bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai kompleksitas masalah serta betapa mengerikannya dampak kekerasan seksual. Putu Gayatridevi Ganti Karuni Natih, ketua penyelenggara sekaligus salah satu peserta pameran berharap pengunjung pameran sadar tentang bahaya kekerasan seksual.
“Karena seringnya tuh banyak orang yang kekerasan seksual itu hanya oh itu mah karena ini, karena salah, karena apa. Soalnya gak kayak gitu kan dan saya harap dengan artinya pameran ini mereka bisa sadar dan aware,” ucap Putu.
Peserta pameran lainnya, Kania Nur Azkia juga berharap pameran menunjukkan bahwa kekerasan seksual memiliki dampak panjang. Kekerasan seksual harus dicegah bersama-sama.
“Ternyata kekerasan seksual itu ternyata separah itu gitu buat dampaknya kepada manusia itu,” kata Kania.
*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan Abdullah Dienullah atau artikel-artikel lain tentang Pameran Lukisan