• Berita
  • Mendiskusikan Kepastian Sains di Klub Buku Laswi

Mendiskusikan Kepastian Sains di Klub Buku Laswi

Reboan Klub Buku Laswi membedah buku “Sains (Masih) Tidak Sepasti Itu”. Sains sebagai praktik sosial yang tidak lepas dari nilai, kepentingan, dan kebudayaan.

Reboan ke-98 oleh Klub Buku Laswi, membedah buku Sains (Masih) Tidak Sepasti Itu di Toko Buku Bandung, Rabu 14 Mei 2025. (Foto: Olivia A. Margareth/BandungBergerak)

Penulis Olivia A. Margareth17 Mei 2025


BandungBergerak.id – Pengembangan bom atom melalui Proyek Manhattan oleh Amerika Serikat pada masa Perang Dunia II mencerminkan bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari nilai-nilai yang manusia anut dalam aspek politik. Pemetaan genetika (DNA) mulanya juga sempat tercemar ideologi rasisme, terutama dalam rezim Nazi yang memanfaatkannya untuk mengklasifikasikan ras “murni” dan “tidak murni”, sebagai pembenaran genosida terhadap Yahudi, Roma, dan kelompok lainnya.

Reboan ke-98 yang diselenggarakan oleh Klub Buku Laswi pada Rabu, 14 Mei 2025 lalu membedah buku Sains (Masih) Tidak Sepasti Itu. Buku yang digarap oleh Forum Diskusi Islam, Sains, dan Teknologi (ForDIST) ini merupakan hasil dari daras atau kajian mendalam atas Science and Its Fabrication karya Alan Chalmers. Maka tidak heran bila sepanjang diskusi, nama Alan Chalmers kerap muncul dan menjadi rujukan utama. Meskipun buku yang dibedah bukan karya Chalmers secara langsung, Sains (Masih) Tidak Sepasti Itu memang merupakan hasil dari upaya untuk memahami, menginterpretasikan, dan mengisi kekosongan penerjemahan buku.

Diskusi buku kali ini tidak seramai Reboan biasanya, karena Bandung tengah diguyur hujan, kendati demikian diskusi tetap berjalan. Pemantik diskusi datang dari salah satu kontributor buku yang akan dibedah, Laila Nursaliha.

Sains kerap dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menangkap kenyataan dengan mengandalkan empirisme dan rasionalisme. Buku Science and Its Fabrication kurang lebih membahas bahwa sains lebih kompleks dari yang terlihat pada permukaannya.

Diskusi dibuka dengan pengenalan Alan Chalmers sebagai sejarawan di bidang sains yang menantang pandangan tradisional tentang netralitas sains. Ia juga menunjukkan bahwa sains dipengaruhi oleh nilai, budaya, dan kekuasaan. Dalam buku tersebut ia mulai membahasakan sains dengan dunia luar. Karena ia meyakini sains tidak sekedar sains itu sendiri. Inilah yang kemudian menjadi polemik, apakah sains sepasti itu? Karena proses di dalamnya yang belum tentu objektif.

Alan Chalmers memosisikan dirinya layaknya pengamat sepak bola. Sains diibaratkan sebagai pertarungan sepakbola. Karena kebanyakan orang alih-alih mengomentari bagaimana pertandingan berlangsung, mereka justru mengomentari latar belakang pemain sepakbola.

Sebelum lebih dalam, Chalmers membatasi kajiannya terhadap natural science (ilmu alam) yakni hal-hal yang dapat diamati. Maka dari itu sains berfungsi untuk mencari dan menjelaskan fenomena alam. Awalnya Chalmers membahas bagaimana aspek politik berpengaruh pada sains. Misalnya dalam eksperimen, kesimpulan diambil dari hasil terbanyak meskipun yang terbanyak belum tentu benar. Juga observasi yang bias –karena dilakukan oleh manusia. Di mana setiap peneliti sebagai manusia memiliki latarnya tersendiri yang dapat memengaruhi hasilnya. Dengan sedikitnya alasan tersebutlah Chalmers berargumen bahwa sains tidak sepasti itu.

Laila Nursaliha sedang memegang buku, pemantik diskusi bersama peserta Reboan ke-98 Klub Buku Laswi, Bandung, Rabu, 14 Mei 2025. (Foto: Olivia A Margareth/BandungBergerak*)
Laila Nursaliha sedang memegang buku, pemantik diskusi bersama peserta Reboan ke-98 Klub Buku Laswi, Bandung, Rabu, 14 Mei 2025. (Foto: Olivia A Margareth/BandungBergerak*)

Baca Juga: Ngadu Buku Bandung, Ruang Temu Pegiat Literasi di Bandung
Mengingat Spirit Bandung Melalui Festival Literasi Asia-Afrika
Mendiskusikan Emma Poeradiredja di Pasar Biru Liogenteng, Mengenalkan Peran Penting Perempuan dengan Literasi

Sains dan Agama

Barli, sebagai moderator, menanyakan satu pertanyaan pemantik yang menarik, “Bagaimana cara kita membahaskan pada rakyat awam cara kerja sains sebelum mereka membantahnya?”

Sebelum menjawab pertanyaan, Laila terlebih dahulu sedikit bercerita. Pada 2017 -2019 ia dan kelompok kecilnya mencoba mengedukasi masyarakat dengan sains. Respons yang didapatkan tidak jauh-jauh dari dilema sains yang sering dibandingkan dengan agama. Seolah-olah harus memilih salah satu di antara keduanya. Untuk membahasakannya pun cukup menantang, sehingga Laila menjawab,” rata-rata orang yang mempercayai sains itu ketika dia sudah mengalami sendiri.”

Deni Rachman, penggagas Klub Buku Laswi yang juga menjadi peserta diskusi, ingin memastikan kembali produk pemikiran Chalmers seperti apa. Menanggapi tersebut, Laila menjelaskan bahwa fokus utama Chalmers adalah pada bagaimana budaya ilmiah terbentuk –terutama di kalangan saintis.

Sains tidak berdiri dari ruang hampa, ia dipengaruhi oleh banyak faktor sosial, budaya, dan politik. “Mungkin belum sampai ke masyarakatnya, tapi lebih mengedukasi saintisnya. Karena tidak banyak saintis yang menaruh perhatian pada aspek-aspek sosial,” jawab Laila.

Dari sana Deni mencoba mengaitkan teknologi sebagai produk sains dengan perkembangan budaya lisan dan tulisan. “Seharusnya kan teknologi bisa memperkuat literasi, memperkuat tingkat membaca dan menulis,” ujarnya. Namun kenyataannya, media seperti radio dan TV justru melahirkan kelisanan kedua, di mana konten audio-visual menggantikan peran keberaksaraan. Sehingga pertanyaannya, apakah fase digital saat ini akan membawa bentuk literasi baru, atau malah semakin menjauhkan masyarakat dari budaya baca.

Pertanyaan itu mungkin belum sepenuhnya terjawab dalam diskusi kali ini. Namun, justru di situlah pentingnya membedah ulang sains, bukan sekadar sebagai kumpulan pengetahuan objektif, tapi sebagai praktik sosial yang tidak lepas dari nilai, kepentingan, dan kebudayaan. Jika teknologi lahir dari sains, dan sains tidak pernah benar-benar netral, lantas bentuk budaya seperti apa yang sedang kita bangun hari ini? Pertanyaan itu mungkin tidak selesai dijawab dalam satu diskusi. Tapi barangkali, dari sinilah kita bisa mulai, dengan membaca ulang sains, dan membaca ulang diri kita sendiri di dalamnya.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//