• Opini
  • Bagaimana Cara Indonesia Konsisten di Runner-Up Terbawah Literasi Membaca pada Laporan PISA

Bagaimana Cara Indonesia Konsisten di Runner-Up Terbawah Literasi Membaca pada Laporan PISA

Masalah pendidikan di Indonesia sudah bukan lagi tentang akses akan tetapi kualitas pendidikan yang buruk. Masalah pedagogi yang terjebak dalam paradigma industri.

Mochamad Taufik

Pegiat Literasi

Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

20 Mei 2025


BandungBergerak.id – Indonesia dengan bangga menduduki urutan ke-74 dari 78 negara dalam tingkat literasi membaca, survei ini telah dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) di tahun 2022. Ini merupakan bentuk prestasi yang gemilang bahkan kalah oleh Vietnam dan Thailand. Alih-alih pemerintah memamerkan bahwa tingkat partisipasi sekolah telah mencapai 96 persen, yang seolah-olah itu capaian monumental. Lalu di mana salahnya? Ketika 12 tahun pendidikan hanya menghasilkan generasi yang kompetensi membacanya setara dengan memahami ramuan ajaib di kemasan mi-instan! Tampaknya, sistem kita memang ahli dalam menghitung bangku sekolah, tapi gagal total dalam mengisi otak siswa.

Krisis literasi di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan akses pendidikan, tetapi juga oleh kualitas yang buruk. Sistem pendidikan kita gagal membangun kemampuan berpikir kritis dan pemahaman mendalam siswa terhadap informasi. Masalah ini muncul karena tiga hal utama: metode mengajar, ketimpangan sumber daya antar-daerah, dan campur tangan politik yang merusak kebijakan pendidikan.

Masalah dari pendidikan di Indonesia sudah bukan lagi tentang akses akan tetapi kualitas pendidikan yang buruk. Saat ini telah terjadi kontradiksi yang mengungkap kegagalan sistemik. Faktanya siswa kita tidak mampu mencerna terlebih dahulu terhadap informasi yang diterima. Tingkat Critical thinking skills mereka jauh di bawah rata-rata penduduk Asia. Mereka abai terhadap informasi dari setiap bacaan yang disuguhkan, jauh ke arah mengevaluasi dengan apa yang telah dijelaskan dalam platform digital atau keterangan tertentu dalam suatu produk.

Ini merupakan suatu paradoks tingkat literasi yang seharusnya sejalan dengan melesatnya media digital. Namun pada kenyataannya tingkat literasi siswa kita menurun, jika kita telaah secara seksama hal ini terjadi karena pedagogi yang telah usang atau secara mudah pedagogi diartikan cara mengajar dan mendidik yang sudah tidak layak. Masalahnya bukan metode mengajar yang ketinggalan zaman tetapi pedagogi yang terjebak dalam paradigma industri. Siswa dianggap ‘botol kosong’ yang harus diisi hafalan, bukan pemikir kritis. Lihatlah bagaimana kurikulum yang berfokus pada materi yang disampaikan daripada yang dipahami.

Baca Juga: Menyiapkan Ekosistem Literasi sebagai Basis Pembangunan yang Berperadaban
Literasi untuk Perdamaian Dunia
Perempuan dan Literasi, Memerah Makna Surat dari Tokoh Wanita Berpengaruh di Toko Buku Pelagia

Ketimpangan Struktural

Ketimpangan sumber daya antar daerah hanyalah gejala dari ketimpangan struktural yang lebih kejam: ketika anak pedalaman tidak hanya berjuang melawan minimnya buku, tetapi juga berjuang pada kebijakan yang meminggirkan mereka dan peran utama yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan yaitu campur tangan politik. Kita dapat melihat dari pengangkatan pejabat pendidikan. Data KPU Jabar melaporkan 70 persen kepala Dinas Pendidikan di Jawa Barat periode 2019–2024 berasal dari jalur politik. Kebijakan ini berdampak tumpang-tindih dengan program pemda yang berorientasi pencitraan.

Selain intervensi politik, minimnya peran ahli pendidikan yang juga memperparah krisis literasi. Misalnya, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sebagai pencetak guru profesional justru jarang dilibatkan dalam penyusunan kebijakan. Mengapa peran mereka perlu karena keilmuan mereka mumpuni dalam hal pendidikan, alangkah janggalnya ketika kebijakan pendidikan nasional justru ditentukan oleh latar belakang keilmuan yang tidak relevan, nyaris serupa dengan kita mempercayakan pembangunan jembatan kepada seorang sastrawan.

Kita coba bayangkan bagaimana jadinya jika membangun jembatan didesain dan dibangun oleh seorang guru bahasa indonesia? Tidak ada rumusan yang dipelajari dalam bahasa indonesia untuk mengukur sebuah beban jembatan. Itu hanya logika dasar dari perumpamaan yang penulis sampaikan. Literasi ini sangat penting tidak sebatas kemampuan membaca dan menulis saja. Menurut survey perpusnas (2021) rata-rata orang Indonesia membaca 4–5 jam/minggu dengan buku fisik/elektronik hanya 30–40% dari total aktivitas membaca, sisanya media ya sosial.

Kita perlu mengakses, memahami, mengevaluasi dan menggunakan informasi secara kritis agar dapat menganalisa bias berita digital. Jika hal itu belum bisa dicapai bisa kita saksikan dari banyak berita tentang penipuan online. Menurut temuan PISA sekitar 6 dari 10 siswa di Indonesia belum mampu membedakan fakta dan opini, hal ini merupakan keterampilan dasar yang menjadi fondasi literasi digital di abad ke-21. Menurut penulis ini merupakan alarm serius untuk pemerintah agar membenahi sistem pendidikan.

Rendahnya literasi digital siswa berimbas pada peringkat data global tentang netizen Indonesia. Digital Civility Index (Microsoft, 2020): Indonesia menempati ranking ke-29 dari 32 negara dalam kesopanan digital (skor yang lebih buruk dari rata-rata global). Alhasil hoax menyebar, terutama di tahun politik saat pemilu 2024 hoax begitu menjamur, investasi bodong kian marak bahkan menyasar generasi muda.

Critical thinking skill yang lemah dan tidak akan tumbuh jika kurikulum yang digunakan masih menekankan pada hafalan yang tidak mampu mendorong siswa untuk berpikir kritis. Dibutuhkan metode yang membuka ruang bagi siswa untuk bertanya, menganalisis dan berdebat dan bukan meniru jawaban guru semata.

Kurikulum di Indonesia gemar berganti-ganti layaknya mode fashion, sayangnya yang merancang bukan ahli pedagogi melainkan para politisi, seolah-olah kita meminta akuntan untuk merancang kurikulum sastra. Buktinya? Lihat saja latar belakang menteri pendidikan kita yang lalu beliau lebih fasih berbicara ROI (Return of Investment) daripada psikologi perkembangan anak.

Kurikulum di Indonesia telah mengganti sebanyak tiga kali dalam 10 tahun terakhir; KTSP di tahun 2006; K13 di tahun 2013, dan Merdeka Belajar di tahun 2022. Dan hasilnya hanya 12 persen guru yang memahami esensi perubahan ini, bahkan hal ini disampaikan oleh data Kemendikbud di tahun 2023. Kita mengganti kurikulum secepat tren Tiktok, tetapi pedagogi nya tetap seperti zaman Belanda. Berdasarkan riset dari Unesa di tahun 2023 di Jawa Timur sebanyak 68 persen sekolah yang masih menggunakan kurikulum K13, mengapa? Karena mereka kebingungan untuk mengimplementasikannya.

Pendidikan Bukan Eksperimen

Finlandia saja membutuhkan waktu sekitar 15 tahun untuk menyempurnakan kurikulum berbasis kompetensi sebelum hal itu diterapkan secara nasional. Prof. Arief Rachman (UPI) mengatakan kita seperti terburu-buru mengadopsi tren global tanpa riset mendalam, tanpa mengkaji dampak apa yang akan terjadi secara jangka panjang. Seperti mengganti resep obat tanpa memeriksa efek sampingnya. Perubahan yang cepat ini menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan dari kebijakan pendidikan. Finlandia butuh 15 tahun untuk menyempurnakan kurikulum, sementara kita cukup 15 menit rapat koalisi.

Sebab lain dari fenomena ini adalah ketimpangan antar wilayah yang mengingat begitu luasnya wilayah Indonesia ditambah status ketimpangan sosial ekonomi. Intervensi politik yang telah merusak sistem pendidikan membuat Indonesia tertatih-tatih untuk bangkit dari keterpurukan, reformasi pendidikan hanya sebuah lack of political will and cosmetic reform. Secuil pun tidak menyentuh ke akar persoalan. Anggaran pendidikan di tahun 2023 sebesar Rp 612 triliun setara dengan 20 persen APBN hanya terserap untuk proyek fisik, menurut audit BPK 2023, 40 persennya tidak sesuai dengan standar pedagogis.

Anggaran studi banding yang selama ini dilakukan pemerintah seperti saluran PDAM yang bocor. Kemendikbud Ristek selama lima tahun terakhir telah melakukan studi banding, di tahun 2019 saja sudah melakukan 12 kali kunjungan ke berbagai negara (laporan Kemendikbud, 2020), lalu di tahun 2020 melakukan lima kunjungan studi banding (laporan siaran pers Kemendikbud, 2021), di tahun 2021 delapan studi banding dilakukan secara hybrid (laporan BSKAP Kemendikbud Ristek tahun, 2022), tahun 2022 melakukan sebanyak 15 studi banding (LPMP Kemendikbud Ristek, 2023), dan di tahun 2023 sepuluh studi banding (rencana kerja Kemendikbud Ristek, 2023).

Seandainya studi banding itu dilakukan secara sadar bahwa mereka melakukan kegiatan itu atas dasar kepentingan rakyat maka akan ada kebijakan yang spektakuler, Jepang, Finlandia, Jerman yang mereka kunjungi rasanya cukup untuk dipelajari dan diimplementasikan sistem pendidikannya di Indonesia. Tapi ternyata studi banding hanya sebatas laporan tanpa ada gebrakan. Atau jangan-jangan, studi banding itu sendiri yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan justru minim literasi pedagogis, sehingga tak heran jika hasilnya hanya berupa album foto selfie di negara empat musim, bukan kebijakan transformatif yang tampak nyata.

Indonesia emas 2045 mungkin tetap menjadi mimpi, selama kurikulum kita masih try and error ala warung kopi di pinggiran jalan, kurikulum berganti cepat seperti tren Tiktok, guru dikorbankan sebagai tukang catut nilai, anggaran menguap pada proyek mercusuar. Pantas saja siswa kita hanya pandai menghafal tetapi gagal memahami. Saatnya berhenti menjadikan pendidikan sebagai eksperimen dan mulailah jadikan pendidikan sebagai investasi peradaban di masa depan.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang literasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//