• Berita
  • Membedah Kebohongan Industri Rokok, Bagaimana Anak-anak Akhirnya Menjadi Terpapar?

Membedah Kebohongan Industri Rokok, Bagaimana Anak-anak Akhirnya Menjadi Terpapar?

Jumlah perokok anak di Jawa Barat setiap tahunnya meningkat. Regulasi yang longgar dan agresifnya industri rokok disinyalir jadi penyebab.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama BandungBergerak menggelar diskusi buku A Giant Pack of Lies Part 2 – Kebohongan Besar Industri Rokok di Auditorium Poltekkes Bandung, Kamis, 22 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Tim Redaksi23 Mei 2025


BandungBergerak.idJawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah perokok usia di atas 15 tahun tertinggi di Pulau Jawa dalam satu dekade terakhir, menurut data Badan Pusat Statistik. Jumlah ini terus bertambah setiap tahun, melampaui Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.

Jawa Barat bukanlah wilayah produsen rokok utama. Pusat industri ini justru berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, ekspansi industri rokok tidak mengenal batas produksi. Strategi mereka menjangkau semua lini masyarakat, dari kota besar hingga desa, dari orang dewasa hingga anak-anak.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menghimpun beragam liputan investigatif dalam buku “A Giant Pack of Lies Part 2 – Kebohongan Besar Industri Rokok.” Salah satu penulisnya, jurnalis Abdus Somad, memaparkan temuannya dalam diskusi dan bedah buku bertajuk “Menguak Tabir Kebohongan Industri Rokok” di Auditorium Poltekkes Bandung, Kamis, 22 Mei 2025.

Bersama rekannya, Fransisca Christy Rosana, Somad menelusuri jejak industri rokok yang menargetkan anak-anak dan remaja sebagai pasar potensial.

Data yang dipaparkan Somad memperlihatkan kondisi yang memprihatinkan. Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dalam hal jumlah perokok anak. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, sekitar 7,2 persen anak Indonesia berusia 10–18 tahun, atau sekitar 2 juta anak, menjadi perokok. Pada 2019, angka itu melonjak menjadi 9,1 persen atau sekitar 4,1 juta anak.

Acara diskusi buku A Giant Pack of Lies Part 2 – Kebohongan Besar Industri Rokok di Auditorium Poltekkes Bandung, Kamis, 22 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Acara diskusi buku A Giant Pack of Lies Part 2 – Kebohongan Besar Industri Rokok di Auditorium Poltekkes Bandung, Kamis, 22 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Paparan iklan menjadi salah satu faktor utama. Tidak hanya di ruang publik seperti papan reklame atau banner warung, iklan rokok kini merajalela di media sosial seperti Instagram dan TikTok.

“Anak-anak itu ingin coba merokok karena melihat paparan dari iklan. Instagram dan TikTok jadi pemicu bagi mereka untuk mencoba,” kata Abdus Somad, dalam diskusi.

Tak berhenti pada penyebaran iklan, industri rokok juga mengeksploitasi anak-anak dalam proses produksinya. Dhimas Hedhianta, akademisi Poltekkes Bandung, pernah meneliti pekerja anak dalam industri tembakau di Probolinggo dan Lombok pada 2019. Ia menemukan anak-anak yang terlibat dalam proses produksi tembakau mengalami gangguan kesehatan yang serius.

Menurut Dhimas, daun tembakau basah yang diproses oleh anak-anak menghasilkan paparan senyawa adiktif yang dapat menembus kulit dan menyebabkan Green Tobacco Sickness (GTS).

“Efeknya enggak hanya pada ketergangguan waktu mereka belajar. Tapi ternyata dalam studi tersebut juga ditemukan bahwa efek yang diakibatkan dari proses produksi itu yaitu adanya GTS atau Green Tobacco Sickness,” ujar Dhimas.

Faktor ekonomi menjadi alasan utama eksploitasi ini. Keluarga miskin terpaksa melibatkan anak-anak dalam pekerjaan agar bisa bertahan hidup. Di sisi lain, perusahaan rokok memanfaatkan situasi ini karena biaya tenaga anak-anak jauh lebih murah.

“Mereka butuh uang dan industri rokok tidak bisa membayar orang dewasa. Jadi anak-anak dijadikan alternatif,” kata Dhimas.

Baca Juga: Gerakan Orang Muda Nasional Menuntut Pemerintah Tegas Mengatasi Masalah Rokok pada Anak
Orang-orang Muda Mendorong Kepastian Kenaikan Cukai Rokok dan Rokok Elektronik

Buku A Giant Pack of Lies Part 2 – Kebohongan Besar Industri Rokok, di acara diskusi di Auditorium Poltekkes Bandung, Kamis, 22 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Buku A Giant Pack of Lies Part 2 – Kebohongan Besar Industri Rokok, di acara diskusi di Auditorium Poltekkes Bandung, Kamis, 22 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Strategi Industri Rokok

Abdus Somad menambahkan bahwa normalisasi tembakau semakin mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Bahkan, menurut Indeks Gangguan Tembakau, Indonesia berada di peringkat ke-47 dalam kategori merah—indikator lemahnya pengendalian tembakau di suatu negara. Industri rokok melancarkan berbagai cara untuk memuluskan agendanya, termasuk mendekati peneliti, media, dan influencer agar terus mempromosikan produknya.

”Itu dilakukan supaya mereka berhasil atau mampu untuk menjual produk-produknya di dalam negeri, khususnya Indonesia,” lanjut Somad.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jawa Barat Ahyani Raksanagara menyoroti peningkatan jumlah perokok pemula. Ia menyebut strategi iklan industri rokok sangat kreatif dalam menciptakan persepsi bahwa merokok adalah hal yang wajar.

“Banyak hal-hal yang dinormalkan. Padahal rokok nyata-nyata berbahaya bagi kesehatan, baik individu maupun masyarakat,” kata Ahyani.

Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan berbagai regulasi untuk mengendalikan rokok. Misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 mengatur larangan penjualan dan pemasangan iklan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah. Namun, implementasinya dinilai belum optimal. Buktinya, masih banyak warung di sekitar sekolah yang menjual rokok dan memasang iklan.

Khusus di Kota Bandung, Peraturan Wali Kota Nomor 315 Tahun 2017 telah menetapkan kawasan tanpa rokok (KTR). Namun peraturan ini lemah karena tidak mengandung sanksi. Bahkan, saat pembahasan peraturan tersebut, beberapa anggota dewan keberatan karena mereka sendiri adalah perokok.

Ahyani menekankan pentingnya edukasi sejak dini sebagai upaya preventif. Ia mengajak keluarga dan sekolah untuk aktif memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang bahaya rokok.

“Sekarang anak SD saja sudah bisa lihat iklan rokok di genggamannya. Jadi edukasi harus dimulai dari rumah, sejak usia berapa pun,” tegasnya.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung, Anhar Hadian, mengungkapkan bahwa industri tembakau menunjukkan reaksi keras terhadap upaya pemerintah membatasi peredaran rokok. Saat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disahkan, yang melarang iklan rokok di sekitar sarana publik seperti sekolah, mereka melakukan tekanan balik dengan demonstrasi.

Foto bersama usai diskusi buku A Giant Pack of Lies Part 2 – Kebohongan Besar Industri Rokok, di acara diskusi di Auditorium Poltekkes Bandung, Kamis, 22 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Foto bersama usai diskusi buku A Giant Pack of Lies Part 2 – Kebohongan Besar Industri Rokok, di acara diskusi di Auditorium Poltekkes Bandung, Kamis, 22 Mei 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Ia menyebut tantangan besar dalam penegakan aturan adalah rendahnya komitmen sejumlah aparatur negara. Bahkan, masih banyak petugas lapangan yang merokok saat menjalankan tugasnya. “Orang lapangan itu dididik dengan rokok. Mereka sendiri masih merokok,” ujarnya.

Anhar menyatakan bahwa kekuatan sosial masyarakat menjadi elemen penting dalam pengendalian tembakau, selain dukungan dari pemerintah. Ia mendorong agar pesan-pesan anti-rokok dikemas lebih kreatif dan menarik, agar bisa bersaing dengan promosi industri rokok. Ia juga berharap Wali Kota Bandung untuk menginstruksikan perangkat daerah agar berani menegakkan aturan tanpa kompromi.

Dampak keterpaparan rokok tidak hanya menyangkut masalah kesehatan, tetapi juga masa depan generasi muda. Data dari buku “Di Balik Tembok Sekolah” karya Tri Joko Her Riadi mencatat, dalam kurun waktu 2008–2017, sebanyak 16,5 juta anak dan remaja Indonesia usia 10–19 tahun sudah menghisap rokok. 

Pertanyaan pun mencuat, apakah Indonesia benar-benar sedang menyiapkan generasi emas atau justru generasi cemas? Saat anak-anak belum bisa hidup sehat di ruang publik dan regulasi hanya kuat di atas kertas, maka industri rokok akan terus leluasa menjadikan mereka pangsa pasar.

*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Salma Nur Fauziyah dan Ryan D.Afriliyana

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//