• Narasi
  • Psikologi Perkembangan Anak, Menyusuri Dunia Tumbuh Kembang Anak

Psikologi Perkembangan Anak, Menyusuri Dunia Tumbuh Kembang Anak

Orang tua dan pendidik perlu membiasakan diri untuk melihat proses, bukan hanya hasil. Memberi mereka ruang untuk gagal, dan merangkulnya saat jatuh.

Muhammad Fatih

Mahasiswa Program Sarjana Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya

Trauma healing untuk anak-anak di Festival Sukahaji Melawan, Kamis, 17 April 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

23 Mei 2025


BandungBergerak.id – Dunia anak begitu mengasyikkan untuk dibahas secara mendalam. sebabnya, Karakter yang tercipta ketika dewasa kelak, dapat dilihat melalui perilaku yang dilakukan semasa kecil. Sedari dulu, orang tua sudah memiliki kompetensi yang harus dicapai oleh anak-anaknya dalam aspek perkembangan; orang tua senang bilamana 2 tahun anaknya bisa berjalan, berlari, serta berbicara lancar, umur 4 tahun anak bisa berhenti dari kebiasaan mengompol, 11-12 tahun anak dapat melampaui jenjang pendidikan dasar tanpa kesulitan, dan saat remaja mampu menerapkan nilai-nilai moral. 

Apresiasi yang Membuat Mereka Tangguh

Menjadi orang tua atau pendidik bukan perkara mudah. Ketika anak melakukan kesalahan, banyak dari kita yang masih memilih jalan instan: memarahi, mencaci, bahkan menghukum mereka dengan dalih “agar jera.” Padahal, pendekatan seperti ini sering kali justru melumpuhkan keberanian mereka untuk mencoba.

Anak tak lahir dengan kesempurnaan. Mereka tumbuh lewat proses panjang –penuh coba, gagal, dan belajar. Yang mereka butuhkan bukanlah cacian, tapi apresiasi. Karena justru dari penghargaan atas usaha, anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan percaya diri.

Di rumah, anak butuh perhatian, kasih sayang, dan dukungan dari orang tua. Sementara di sekolah, pendidik punya tanggung jawab besar: bukan sekadar mentransfer ilmu, tapi juga membentuk karakter, empati, dan keberanian untuk berkembang. Maka, peran orang tua dan guru sangat penting dalam mengiringi proses tumbuh kembang anak agar mereka mampu menjadi pribadi yang berdaya dan bermanfaat.

Sayangnya, ketika anak melakukan kesalahan –baik di rumah maupun di sekolah– yang muncul sering kali adalah kemarahan. Jarang sekali anak diberi ruang untuk menjelaskan, apalagi dihargai usahanya. Padahal, kesalahan adalah bagian alami dari proses belajar.

Jatie K. Pudjibudojo, Guru Besar Psikologi Perkembangan, dalam tulisannya “Tinjauan Tentang Peran Orang Tua Dalam Membentuk dan Mengembangkan Kemandirian Anak”, menegaskan bahwa kesalahan yang dilakukan anak adalah bagian penting dari proses belajar. Kesalahan itu harus dibicarakan dan dijelaskan, bukan dimarahi apalagi ditakuti. Anak yang takut salah akan takut mencoba, dan akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang ragu melangkah.

Sebaliknya, apresiasi –sekecil apa pun– membuat anak merasa dilihat dan dihargai. Apresiasi bisa berupa pujian, tepuk tangan, pelukan, atau bahkan hanya ucapan “terima kasih sudah berusaha.” Saat anak gagal pun, mereka tetap butuh pengakuan atas usaha mereka, bukan sekadar hasil akhirnya.

Woelan Handadari dalam tulisannya “Perkembangan Emosi Anak” menyebutkan bahwa emosi anak sangat berkaitan dengan perilaku sosial mereka. Ketika anak mendapat respons positif dari lingkungan sekitarnya, mereka akan lebih termotivasi untuk mendekat, mencoba, dan berkembang. Sebaliknya, jika yang mereka terima hanya kemarahan atau kritik, mereka akan menarik diri, ragu mencoba, dan mudah menyerah.

Itulah mengapa, apresiasi bukanlah bentuk memanjakan. Ia adalah bahan bakar bagi anak-anak untuk terus tumbuh. Orang tua dan pendidik perlu membiasakan diri untuk melihat proses, bukan hanya hasil. Memuji usaha, bukan sekadar pencapaian. Memberi ruang untuk gagal, dan tetap merangkul saat mereka jatuh.

Karena pada akhirnya, anak-anak tidak butuh jadi sempurna. Mereka hanya ingin diakui, didengar, dan dihargai. Dan dari situlah ketangguhan mereka tumbuh.

Baca Juga: Pendidikan Indonesia dan yang Mungkin Telah Luput darinya
Pendidikan Seks Terganjal Tabu, Berpengaruh terhadap Kesehatan Reproduksi
Meretas Bias Pendidikan Melalui Integrasi Kecerdasan Buatan dan Kecerdasan Majemuk

Mengapa anak sulit dalam membaca?

Permasalahan yang sering dijumpai adalah pada perkembangan bahasa dan berpikir yang sering kali menjadi keluh kesah para pendidik "Kenapa Anak - Anak sulit sekali Untuk lancar membaca?" Hampir seluruh pendidik pasti merasakan hal tersebut. terlebih lagi bagi pendidik yang berada di jenjang pendidikan dasar. 

Ketika anak sudah dikenal kan dengan huruf atau abjad, rangsangan otak akhirnya menerima pengetahuan bagi anak, sehingga menghasilkan intonasi dari organ bicara. Hasil dari intonasi organ bicara itulah yang dikatakan membaca. Dalam tulisan "Suatu Tinjauan dari sudut psikologi perkembangan" Dikatakan kemampuan anak berbicara fasih dapat dibentuk ketika umur 2-6 tahun, karena dalam fase itu organ-organ bicara dan fungsi berpikir sudah mengalami pematangan. "Lantas mengapa masih sulit?"

Jadi selain pematangan organ bicara dan fungsi berpikir. lingkungan sekitar anak juga harus ikut andil dalam pengembangannya. terlepas bagi anak yang berkebutuhan khusus atau faktor-faktor yang terjadi ketika anak lahir. berbicara soal pengembangan, ada beberapa kompetensi yang harus dicapai dalam pengembangannya yakni: Mengenal huruf dan pembicaraan orang lain, Menyusun huruf serta menambah perbendaharaan kata, menggabungkan kata menjadi kalimat, serta pengucapan secara fasih dan benar. Artinya, bilamana kita menginginkan murid kita dapat membaca secara fasih, keempat kompetensi tersebut harus dicapai dan diselesaikan. 

"Butuh waktu yang lama, dan ngak gampang mencapai kompetensi tersebut." Ya memang butuh waktu lama dan enggak gampang. Pastinya kita menemukan karakteristik yang berbeda dari masing-masing peserta didik. hal yang perlu dipahami adalah pendekatan yang harus dilakukan,

Sejalan dengan Morgan, dkk (1984), terdapat dua pendekatan pokok dalam memberikan pengembangan dalam segi intelektual. Pertama, pendekatan yang melihat faktor-faktor intelektual atau yang sering disebut sebagai pendekatan faktor atau teoritis. Artinya dalam pendekatan ini, kita harus melihat faktor - faktor atau teoritis yang mempengaruhi segi membaca anak, sehingga anak memiliki keterhambatan dalam segi membaca. 

Kedua, pendekatan Proces Oriented Theories atau pendekatan sifat proses intelektual itu sendiri. Maksud dari pendekatan ini berlandaskan pada proses mengasah intelektual anak secara bertahap (process), memberikan pengajaran secara konsisten kepada anak agar terbiasa dalam mengenal, menyusun, serta membaca.

Maka dari itu simpulan dalam opini ini, peran orang tua harus lebih dominan daripada pendidik. "Mengapa?" Waktu pendidik bertemu anak itu hanya sekedar di lingkungan sekolah, selebihnya waktu mereka adalah bersama orang tua. Jika dipaksakan hanya pendidik yang bertanggung jawab atas hal ini, dapat dikatakan segi membaca anak tidak bisa secara maksimal. 

"Enggak becus dong jadi pendidik," pendidik itu hanya sekedar memperkuat daya ingat serta daya ilmu pengetahuan anak. Jika disangkut pautkan dengan pendekatan Process Oriented Theories peran orang tua harus dominan, sebab proses intelektual secara bertahap harus bersama orang yang lebih banyak waktunya dengan mereka.

Menurut Abin Syamsuddin (1996) berdasarkan hasil studi longitudinal dikatakan perkembangan persentase taraf kematangan atau kesempurnaan perkembangan intelegensi seorang anak yakni ketika anak umur 1 tahun berkembang sekitar 20 persen, umur 4 tahun berkembang 50 persen, usia 8 tahun berkembang sekitar 80 persen, usia 13 tahun berkembang sekitar 92 persen. Hasil tersebut juga berlandaskan pada peran orang tua dan pendidik yang sejalan, bukan hanya pendidik saja. 

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang pendidikan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//