• Narasi
  • Eric-Jan Neyndorff dan Kenangannya Tentang Bandung

Eric-Jan Neyndorff dan Kenangannya Tentang Bandung

Eric-Jan Neyndorff, pria Belanda kelahiran Bandung, bertemu dengan Sahabat Heritage Indonesia melalui Facebook. Eric mencintai Bandung, kampung kelahirannya.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Eric-Jan Neyndorff, kakak, bersama ibunya di Bandung. (Sumber: Dok Eric-Jan Neyndorff)

25 Mei 2025


BandungBergerak.idTerlahir di RS Borromeus, Bandung, pada tanggal 10 April tahun 1944 dengan nama Eric-Jan Neyndorff, ia menjalani sebagian masa kanak-kanaknya di Bandung. Baginya, Bandung tak hanya sebuah kota yang menjadi tempat tinggal sementara, tapi sudah menjadi satu dari banyak bagian dari perjalanan hidupnya.

Berawal dari pertemanan di Facebook lalu makin saling mengenal di sebuah komunitas pegiat, peminat, dan pembelajar sejarah yang bernama Sahabat Heritage Indonesia (SHI), kami pun bertemu dalam satu acara yang diadakan oleh komunitas tersebut. Banyak kisah yang dibagikan Om Eric pada kami waku itu. Selain kisah masa kecilnya juga tentang beberapa bangunan di Bandung yang menyimpan kenangan dunia kanak-kanaknya.

Salah satu tempat yang sering dikunjunginya adalah Bandoengsche Melk Centrale atau BMC di Jalan Aceh. Menurutnya, BMC adalah tempat favoritnya karena mengingatkannya pada sang ayah, Henri (Harry) Neyndorff, yang pernah bekerja sebagai salah satu pimpinan di sana. Dan tentu saja masih banyak tempat yang selalu dia kunjungi ketika mendatangi kota masa kecilnya, Bandung.

Kisah keluarga Neyndorff di Hindia Belanda diawali pada tahun 1746, ketika kakek moyangnya yang bernama Jochem Neyndorff  tiba sebagai generasi pertama. Jochem menikah dengan Maria Magdalena Latour, seorang putri dari Frans Latour, dan perempuan Bugis bernama Tima. Jochem dan Frans adalah serdadu VOC saat itu.

Ketika Eric dan keluarga harus meninggalkan Bandung dan Indonesia pada tahun 1954, hal itu tak lantas membuatnya melupakan Bandung. Ingatannya tetap lekat pada tempat tinggalnya di Jalan Cipunegara, BMC, sekolah dasarnya di Jalan Nangkasuni, Engelbert van Bevervoordeschool, yang sekarang menjadi bangunan SMP 40 Bandung; Sungai Cikapundung di seberang sekolahnya, Societeit Concordia (Gedung Merdeka), Bioskop Majestic, Jalan Braga, dan banyak lagi. Eric masih menyimpan kenangannya di sudut-sudut kota Bandung, dan mencoba mengemas ulang setiap kepulangannya ke Bandung.

Ya, untuk Om Eric perjalanan ke Bandung bukan hanya perjalanan wisata nostalgia, tapi juga menjadi perjalanan pulang ke tempat tinggal masa kecilnya. Eric pertama kali kembali ke Bandung pada tahun 1994, karena ingin merayakan ulang tahunnya yang ke-50 tahun di kota kelahirannya, lalu setelah itu mengulangnya sampai enam belas kali perjalanan, di tahun-tahun berikutnya.

“Saya mencintai Indonesia (dan Bandung), karena itu (Indonesia) adalah negara tempat saya dilahirkan dan menghabiskan masa kecil saya,” kisahnya. “Saya adalah generasi ke-6 Neyndorff di Indonesia, dan saya juga memiliki nenek moyang orang Indonesia, Tionghoa, dan Eropa. DNA saya 68 persen Eropa, dan 29 persen Asia, juga DNA Mikronesia.”

Eric yag sekarang bekerja di War Graves Foundation sebagai relawan, dan juga di Indisch Familie Archief – satu lembaga yang membantu orang-orang Eropa mencari leluhur mereka di Hindia Belanda – serta di Indisch Herinnering Centrum, juga lembaga yang membantu mencari hal-hal tentang leluhur orang-orang Eropa ini. Ia menyukai pula makanan Indonesia, terutama lotek. Eric memang menyukai makana pedas dan sehat.

Jika melakukan perjalanan ke Bandung, Eric akan memanfaatkan waktunya untuk melakukan napak tilas masa kecilnya. Mengunjungi tempat-tempat yang mempunyai kenangan khusus untuknya, juga tempat-tempat lain yang menurutnya sangat berkesan. Karena masih menyisakan bangunan-bangunan kolonial dan art deco, serta rumah-rumah dari zaman sebelum perang yang tidak banyak mengalami perubahan bentuk, Eric pun berharap bahwa Bandung akan tetap menjadi kota yang indah seperti dulu saat ia tinggal dan tumbuh di kota ini. Eric pun menyempatkan diri untuk bertemu kawan-kawan lama ataupun kenalan barunya di Bandung, salah satunya para pengurus dan beberapa anggota kominitas Sahabat Heritage Indonesia, tempatnya bergabung menjadi salah satu anggota. 

Baca Juga: Berretty, Si Pendiri Kantor Berita Aneta dan Petualangan Cintanya
Cinta dan Harapan Us Tiarsa pada Jurnalisme dan Budaya

Eric-Jan Neyndorff (rompi biru) bersama Sahabat Heritage Indonesia. (Sumber: Dok Eric-Jan Neyndorff)
Eric-Jan Neyndorff (rompi biru) bersama Sahabat Heritage Indonesia. (Sumber: Dok Eric-Jan Neyndorff)

Pertemuan dengan Komunitas Sahabat Heritage Indonesia

Saat pertemuan dengan para pengurus dan beberapa anggota Sahabat Heritage Indonesia, Eric-Jan Neyndorff bercerita banyak tentang masa kecilnya dengan menggunakan bahasa Inggris dan beberapa bahasa Indonesia yang terpatah-patah. Setiap menerima pertanyaan dari kami dengan menggunakan bahasa Indonesia, Eric masih bisa menangkap pertanyaan dengan baik, dan berusaha menjawab dengan bahasa Indonesia. Salah satu pengurus yang sekaligus salah seorang pendiri SHI, Anugrah Pratama, menyampaikan kesannnya bahwa seorang Eric Neyndorff di SHI seolah sebuah laboratorium hidup khususnya untuk komunitas Sahabat Heritage Indonesia.

“Om Eric membuktikan beberapa hal, pertama, bahwa masa kecil bagi seseorang itu benar-benar membentuk siapa dia, tidak perduli perjalanan hidupnya setelah meninggalkan Indonesia, tapi Indonesia (terutama Bandung dalam hal ini) nampaknya begitu berkesan,” kata Anugrah.

“Lalu SHI seperti membantu dia menemukan sisi masa kecilnya yang hilang. Melalui berbaur dengan kita di SHI. Sedikit banyak SHI bisa membantu dia menemukan (kembali) masa kecilnya,” lanjutnya.

Hal lain yang diungkap Anugrah adalah kemampuan komunitas untuk menyatukan banyak orang dengan latar belakang yang berbeda, dengan kesamaan minat. “Komunal, komunitas, kita lihat berhasil menyatukan orang-orang yang latar belakangnya sangat berbeda. Ketika Om Eric bertemu langsung dengan kita di Sumur Bandung, sangat jelas tidak ada sekat. Masalah bahasa, mungkin iya, tapi tidak mengurangi rasa ingin saling berbagi. Kesamaan bagian sejarah, kesamaan bagian kota yang mewarnai masa kecil masing masing (walaupun berbeda zaman) bisa menyatukan kita semua,” papar Anugrah.

Di pertemuan saat itu yang merupakan pertemuan pertama Om Eric dengan Sahabat Heritage Indonesia, memang kami tidak merasakan sekat yang berarti, seperti sebuah keluarga yang menyambut anggota keluarga yang sedang pulang kampung, lalu berbagi cerita tentang kenangan masa lalu.

Arie Vidi, seorang pengurus dan juga pendiri Sahabat Heritage Indonesia lainnya, yang sempat bertemu Om Eric di Belanda, menambahkan, Om Eric terlihat sekali sangat cinta Indonesia, tanah kelahirannya. Walaupun ia warga negara Belanda dan tinggal di Den Haag, Indonesia selalu ada dalam hatinya.

“Jika bertemu, tak putus ceritanya mengenai darah Indonesianya dan bagaimana dia selalu merindukan untuk kembali berkunjung ke Indonesia, terutama ke Bandung,  di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya. Bahkan, menurut saya, Om Eric lebih mengetahui lika-liku kota Bandung dibandingkan saya. Om Eric banyak bercerita bagaimana kehidupannya di Bandung saat itu dengan mata yang berbinar-binar menandakan kenangan manis dan kerinduan. Dari ceritanya saya beranggapan Om Eric juga menganggap bahwa Indonesia adalah tanah airnya,” ungkap Vidi.

Vidi sudah beberapa kali berjumpa Eric di Den Haag. Menurutnya, keramahtamahan Eric dalam menyambutnya, sangat Indonesia, jika dibandingkan dengan teman-temannya yang asli Belanda. 

“Di usianya yang sudah lebih dari 80 tahun, Om Eric tetap bersemangat untuk berkunjung ke Indonesia dan menikmati kenangannya. Saya senang sekali pada akhirnya Om Eric bisa bertemu dengan teman-teman Sahabat Heritage Indonesia secara langsung di Bandung,” tambahnya.

Om Eric memang berkali-kali menyampaikan bahwa dia sangat mencintai Indonesia. Penggemar Roger Federer ini merasa Bandung adalah bagian dari perjalanan hidupnya yang sangat berkesan. Jika seorang Eric Neyndorff yang tinggal di Bandung sampai usia 10 tahun saja mencintai Bandung begitu dalam, apalagi kita yang terlahir, besar, dan hidup di Bandung.

“Dan Bandung bagiku bukan cuma urusan wilayah belaka. Lebih jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku. Ketika sunyi …” (Dan Bandung – Pidi Baiq).

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan Ernawatie Sutarna, atau artikel-artikel lainnya tentang Sejarah dan Budaya

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//