Sabtu Sore #24: Suara Kritis Masyarakat Sipil Menolak RUU Ormas
UU Ormas memukul rata setiap perkumpulan sebagai ormas. Sejumlah aturan di regulasi ini cenderung membatasi kebebasan berserikat yang sejatinya dijamin konstitusi.
Penulis Uyun Mubin 26 Mei 2025
BandungBergerak.id – Organisasi masyarakat sipil menghadapi kontrol ketat dari negara dengan adanya Revisi Undang Undang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas). Regulasi ini menuai kritik mulai dari definisi organisasi masyarakat sipil, Surat Keterangan Terdaftar (SKT), hingga pembubaran tanpa proses pengadilan. Kebebasan berkumpul dan berserikat dikhawatirkan tergerus.
Masalah UU Ormas disorot dalam diskusi Sabtu Sore #24. Diskusi dibuka dengan menyoroti masalah utama dalam UU Ormas, yaitu definisi "ormas" yang sangat luas dan mencakup semua bentuk organisasi di Indonesia, termasuk perkumpulan dan yayasan.
"Hegemoni ini membuat warga negara merasa tidak memiliki keleluasaan untuk menyebut diri mereka sebagai yayasan atau perkumpulan, melainkan harus disebut ormas," ujar Riza Abdali, Staf Advokasi Ruang Sipil di Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dan Peneliti Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) yang menjadi pemantik diskusi, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, 24 Mei 2025.
Riza menambahkan, hal itu mencerminkan cara pandang negara yang memperluas pendekatan keamanan dan kontrol politik terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul. Salah satu alat kontrol yang disoroti adalah Surat Keterangan Terdaftar (SKT) atau SKP. Meskipun organisasi memiliki hak untuk mendaftar atau tidak mendaftar, dalam praktiknya SKT ini menjadi alat negara untuk mengakses sumber daya dan membatasi akses organisasi yang tidak terdaftar.
"Organisasi yang ingin mengajukan permohonan informasi publik seringkali ditanya SKT-nya. Di Papua, KNPB tidak bisa berdemonstrasi karena tidak memiliki SKT. Di Surabaya, organisasi yang ingin melakukan pengawasan birokrasi ditanya SKT-nya," tutur Riza.
SKT membatasi akses organisasi terhadap sumber daya, termasuk hak untuk mendapatkan informasi, ruang demonstrasi, dan melakukan kajian. Selain SKT, pengawasan yang berlebihan juga menjadi perhatian, terutama bagi organisasi masyarakat sipil yang ingin mengakses dana internasional, karena mereka harus melalui Tim Pengawasan Orang Asing (TPOA) yang di dalamnya berisi intelijen. Selain itu, organisasi asing dengan perwakilan pekerja juga mengalami kesulitan dalam perizinan.
Pembubaran organisasi tanpa proses peradilan yang jelas juga mengemuka, seperti kasus yang dialami Iluni UI yang dibubarkan melalui UU Ormas dengan alasan sudah ada Iluni lain. Riza juga menyoroti potensi kriminalisasi yang muncul dari UU Ormas.
"Undang-undang ormas tahun 2013-2019 bersifat administratif, namun di era Jokowi, undang-undang ini berpotensi menjadi kriminalisasi karena adanya pasal pidana," jelasnya.
Riza khawatir, organisasi keagamaan yang dianggap menyimpang bisa dipidana. Regulasi ini menjadi alarm bagi para aktivis bahwa mereka berpotensi dikriminalisasi oleh UU Ormas.
Diskusi ini menawarkan solusi mengenai kerangka hukum yang tepat untuk organisasi masyarakat sipil, yaitu "perkumpulan". Dalam kerangka hukum Indonesia, organisasi berbasis anggota dimaknai sebagai perkumpulan, yang dapat memilih untuk berbadan hukum atau tidak.
"Undang-undang perkumpulan akan memberikan jaminan kepastian hukum atas hak berserikat dan mengakui keberagaman organisasi masyarakat sipil, termasuk perkumpulan berbasis hobi seperti BTS Army atau perkumpulan sepeda," kata Riza.
Alih-alih melakukan revisi UU Ormas yang cenderung represif, pemerintah dan DPR disarankan merumuskan undang-undang perkumpulan yang lebih demokratis.
Partisipasi Publik yang Diabaikan dalam Proses Legislasi
Perubahan undang-undang adalah hal yang wajar dan seharusnya menjawab kebutuhan masyarakat. Namun, Dalwa Tajul Arfah dari LBH Bandung menegaskan, revisi UU Ormas tidak boleh mencederai hak berekspresi, berpartisipasi, dan berserikat yang sudah diatur dalam konstitusi dan kovenan internasional. Dalwa juga menyoroti ironi bahwa meskipun pemerintah menyatakan ormas bertujuan meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat, kenyataannya setiap gerakan atau pemikiran yang tidak sesuai dengan negara akan dikoreksi.
Proses legislasi yang benar, menurut Dalwa, harus melibatkan publik secara patut. Ia mengacu pada UU No. 13 Tahun 2022 Pasal 96 yang mengatur hak masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun, Dalwa mengkritik praktik yang sering terjadi di mana undang-undang yang dikawal masyarakat sipil membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk disahkan, sementara undang-undang kepentingan pemerintah bisa disahkan secara diam-diam tanpa melibatkan masyarakat sipil.
"Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPRT) tahun 2020 telah mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang, namun hal ini sering diabaikan," kata Dalwa.
Baca Juga: SABTU SORE #22: Geliat Skena Orang Muda Banyumasan dan Bandung
SABTU SORE #20: Membedah Dampak Film Terhadap Perubahan Sosial
Stigma, Pembatasan Akses, dan Ketakutan
Diskusi juga diwarnai dengan sesi tanya jawab yang interaktif. Raisya, salah satu peserta, mengajukan pertanyaan mengenai potensi revisi UU Ormas memperkuat premanisme yang juga disebut organisasi masyarakat, mengingat respons pejabat yang cenderung cuek. Fay, peserta lainnya, menanyakan bagaimana organisasi masyarakat sipil bergerak dan seberapa kuat upaya konsolidasi mereka terkait revisi UU Ormas ini.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Riza menyoroti perlunya alat represi dan mengamati pola operasi premanisme yang semakin masif. Ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap inefisiensi tindakan yang ada dan berharap adanya revisi terhadap kebijakan yang dinilai bersifat "draconian law" atau hukum kejam.
"Masalah utama sudah jelas: organisasi masyarakat dapat dibubarkan tanpa proses peradilan, dan adanya pasal-pasal tuduhan yang bersifat represif," kata Riza.
Dampak pertama yang akan terasa, menurut Riza, adalah kemunduran demokrasi. Jika sebelumnya ada revisi demokrasi, kini justru dapat berujung pada berakhirnya demokrasi itu sendiri. Hal ini akan menimbulkan ketakutan dan self-censorship di kalangan organisasi masyarakat.
"UU ITE saja sudah cukup membuat masyarakat melakukan self-censorship, apalagi jika ada kebijakan baru yang sama-sama memicu hal tersebut," imbuhnya.
Riza berpendapat bahwa represi melalui UU ormas adalah awal dari pembatasan yang lebih besar, di mana negara secara legal membatasi masyarakat sipil melalui politik administrasi. Dampak kedua adalah penggunaan alat administrasi untuk pembatasan yang semakin jelas, yang akan meningkatkan ketakutan dan semakin masuknya politik administrasi.
Diskusi publik ini menegaskan adanya keharusan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sipil akan ancaman RUU Ormas terhadap kebebasan berorganisasi dan demokrasi di Indonesia. Riza juga sempat menyelipkan pernyataan ringan di awal diskusi mengenai Persib, "Apakah Bobotoh itu Ormas?"
Dari sudut pandang negara, Bobotoh mungkin dianggap Ormas, namun Riza menegaskan, "Kita bukan Ormas, dan kita harus saling membantu dalam hal ini. Bobotoh adalah perkumpulan orang-orang yang mencintai Persib agar bisa menjuarai kompetisi sepak bola tertinggi di Indonesia". Hal ini menjadi penekanan bahwa masyarakat perlu melawan stigma dan hegemoni definisi "ormas" yang sempit.
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang RUU Ormas