• Berita
  • SABTU SORE #22: Geliat Skena Orang Muda Banyumasan dan Bandung

SABTU SORE #22: Geliat Skena Orang Muda Banyumasan dan Bandung

Perkembangan skena atau subkultur anak muda tidak berhenti di kota besar. Geliat skena terus menjalar ke kota-kota kecil. Membentuk ekosistemnya masing-masing.

Aksi Alectroguy dan Twister Angel dari band punk Sukatani di Festival Bandung Menggugat, Dago Elos, Bandung, 12 April 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah14 Mei 2025


BandungBergerak.id – Skena atau kata lain dari subkultur anak muda yang lekat kaitannya dengan seni, musik, dan budaya tertentu. Komunitas skena ini banyak berkembang di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan lainnya. Contohnya seperti skena musik underground atau skateboarding. Mereka selalu terlihat mencolok lewat gaya busananya yang khas.

Berkembangnya skena atau subkultur ini tidak berhenti dari kota-kota besar saja. Geliat skena itu terus menjalar ke kota-kota kecil. Membentuk sebuah ekosistemnya sendiri.

Perkembangan itu direkam oleh empat film yang diputar pada acara Sabtu Sore #22 x BFC Talks “Jejak Skena: Antara Banyumas dan Bandung” di Perpustakaan Bunga di Tembok, Sabtu 10 Mei 2025.

Keempat film ini merupakan bagian dari program Rekam Skena #2 yang digagas oleh Cherrypop. Sebuah upaya untuk mendokumentasikan perjalanan kultur musik di sebuah kota pada kurun waktu tertentu.

Rifqi Mansur Maya, dari Pehagengsi dan mewakili dari pihak kreator, mengatakan daerah Banyumasan dipilih karena tata letak lokasinya. Daerah itu berada di jalur antara kota-kota besar seperti Bandung dan Jogja. Menjadikan daerah Banyumasan berada di posisi antara melekat pada tradisi atau ikut pada pop-kultur modern yang berkembang di kota besar tersebut.

Awalnya project ini ingin melihat bagaimana komunitas skena itu berkembang di sana. Tetapi setelah dalam proses 6 bulan produksi, banyak sekali isu yang di dapat.

“Itu aku yang kaget gitu. Kaya, ih, bisa ya kalian udah keluar terus habis itu balik bangun tempat sendiri,” aku Rifqi, ketika melihat teman-teman yang merantau malah balik kembali untuk membangun komunitas di kota mereka.

Film pertama yang diputar berjudul “Blocked City; Independensi di Tengah Kota Industri” diproduksi oleh Kolektif Barokah. Film yang berdurasi sekitar 16 menit ini bercerita tentang skena kolektif Blocked City yang pernah mewarnai komunitas skena dalam kurun 2009-2017 di Cilacap, sebuah kabupaten di Jawa Tengah, yang lekat dengan pabrik industri dan budaya merantau.

Berawal dari skena skateboarding yang mencoba membuat sebuah acara musik. Inisiatif ini disambut hangat oleh banyak pihak. Hingga Blocked City menjadi sebuah trendsetter bagi komunitas skena yang ada di Cilacap.

Pada suatu waktu mereka berhasil memboyong salah satu band punk asal Jerman; Narcolaptic. Namun keberhasilan ini dihadapkan pada sebuah tantangan. Tempat yang sudah dipesan untuk manggung, tiba-tiba dibatalkan. Terpaksa, mereka menggelar pertunjukan di tempat lain.

Ketiadaan ruang dan keterbatasan fasilitas menjadi salah satu problematika yang dihadapi oleh para komunitas skena di sana.

“Karena budaya merantau yang masih lekat dan ruang berekspresi untuk anak muda semakin sedikit, membuat dilematik anak muda untuk bertahan di Kota Cilacap,”

Film kedua, Daya Bara, menyoroti sepak juang komunitas skena yang berada di Purbalingga. Sebuah wilayah kabupaten terpencil di daerah Jawa Tengah. Skena yang ada di sana beragam. Mulai dari skena musik hingga skena buku. Di tengah keterbatasan ruang, mereka tetap bertahan dan memutar otak agar kegiatan itu tidak pernah padam.

“Perkembangan pergerakan musik di Banjarnegara hari ini tidak terlepas dari praktik-praktik kontemporer yang masih meninggalkan jejak paling tidak 15 tahun lalu,”

Film selanjutnya berjudul “Tidak Ada Party di Kabupaten ini” menyoroti bagaimana perkembangan pergerakan musik di salah satu kabupaten dengan UMK paling rendah se-Indonesia. Bagaimana skena musik itu berkembang

Terakhir, ada film dokumenter “Rumah Kami: Soetedja” yang membahas tempat yang meninggalkan banyak sekali kenangan dalam perjalanan skena musik underground di Purwokerto.

Baca Juga: SABTU SORE #19: Warga Sukahaji Melawan, Bersolidaritas Menolak Penggusuran
SABTU SORE #20: Membedah Dampak Film Terhadap Perubahan Sosial
SABTU SORE #21: Kebebasan Pers di Indonesia Terus Menurun karena Meningkatnya Represi dan Kekerasan

Aksi Alectroguy dari band punk Sukatani di Festival Bandung Menggugat, Dago Elos, Bandung, 12 April 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Aksi Alectroguy dari band punk Sukatani di Festival Bandung Menggugat, Dago Elos, Bandung, 12 April 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Refleksi Pergerakan Skena ke Depan

“Dengan melihat film ini, ada satu persamaan kerisauan yang sama dari para penggerak yang membuat ruang-ruang khususnya di musik. Ini gimana caranya bisa hidup?” kata Zaki Peniti, salah seorang narasumber dan founder dari titiKoempul.

Menurut Zaki, film dokumenter ini sangat penting. Apalagi saat melihat perjalanan pergerakan skena musik di Bandung ke depannya. Keterbatasan ruang merupakan hal yang nyata.

Meski begitu, Zaki menekankan bahwa bagaimana kita sebagai pelaku atau penggerak skena musik ini dapat terus berpikir ulang dan menyesuaikan dengan situasi yang ada. Ia menyampaikan bahwa jangan selalu terjebak dengan pola-pola lama yang telah usang. Karena tidak setiap pola di satu tempat akan bisa diterapkan di tempat lainnya.

“Jangan sampai pergerakan mereka itu terjebak dengan ‘isme-isme’ yang memang sepertinya bukan untuk kita gitu. Ya, harus akui gitu. Artinya, kenapa di kita tidak bisa jalan roh bermusik yang semestinya?”

Bandung juga terkenal dengan ekosistem perfilman. Gifar Abdalah, dari Bandung Film Commission, mengutip salah satu seniman senior yang mengatakan jika Bandung adalah kota Festival. Spirit yang dianut adalah “be a child”.

Secara ekosistem, skena film di Bandung sangat kuat mengakar di kampus-kampus. Bahkan dulu, ruang-ruang pemutaran film sangat terbuka bagi siapa saja. Para kreator film dapat menitipkan film mereka untuk diputarkan, sampai di TV-TV lokal.

“Kita sering terjebak bahwa katakanlah film sebagai sebuah seni selalu dikirim ke ekonomi kreatif gitu. Bagaimana berdampak ekonomi, bagaimana ke industri gitu. Ya, ini harus masuk dulu ke ranah budaya, terus kebiasaan dulu nonton gitu.”

Dunia perfilman saat ini banyak mendorong para kreator ke arah komersial. Hal ini yang disayangkan Gifar, bahwa keberadaan ekonomi atau industri kreatif ini tidak dapat menghidupi sisi kreativitas para kreator dan pengembangan kebudayaan menonton film di akar rumput.

Gifar berpendapat bahwa dalam menciptakan sebuah komunitas atau kolektif yang solid antar pergerakan industri kreator ini bisa dinikmati siapa saja, semestinya dibangun dari sebuah kebiasaan.

“Jadi kita enggak bisa mengharapkan budaya akhirnya terbentuk kalau tidak dan kebiasaan yang dibentuk,” ujar Gifar.

Hal ini diperlukan sebuah konsistensi dalam melakukannya. Dan bukan semata konsisten menghasilkan atau mengadakan saja. Namun, juga dapat diadaptasi dan memberikan dampak bagi masyarakat

 

*Kawan-kawan dapat menyimak karya-karya lain Salma Nur Fauziyah, atau artikel-artikel lain tentang Film

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//