Jalan Terjal dari Stasiun Cimekar ke Stadion GBLA
Jika menonton sepak bola di Stadion GBLA saja harus melewati jalan setapak di antara parit dan pematang sawah, bagaimana bisa Kota Bandung bicara soal inklusivitas?

Muhammad Hafizh Firdaus
Pegiat literasi dari Politeknik Negeri Bandung
27 Mei 2025
BandungBergerak.id – Di tengah seruan pemerintah untuk mendorong warga menggunakan transportasi publik, terdapat ironi menyakitkan di arah timur Bandung: akses pejalan kaki dari Stasiun Cimekar menuju Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA). Bobotoh dan warga Bandung secara umum sudah punya niat baik –memilih naik kereta, berjalan kaki, tidak membebani lalu lintas. Namun, publik justru disuguhi jalan setapak di antara parit dan pematang sawah. Tidak ada penerangan; tidak ada kejelasan.
Padahal, stadion ini bukan ecek-ecek. GBLA adalah stadion terbesar di Jawa Barat dengan kapasitas 40.000 penonton –lebih besar dari Pakansari, Patriot, Wibawa Mukti, hingga Si Jalak Harupat dengan kisaran kapasitas 27.000-30.000 penonton. Pembangunan stadion yang terletak di ibu kota Jawa Barat ini menghabiskan biaya fantastis hingga menyentuh Rp1,1 triliun. Klub penghuninya, Persib, baru saja memastikan gelar back-to-back Liga 1 –pencapaian yang menandai standar Asia. Namun, jalan ke markas mereka tidak mencerminkan kelas itu. Jalan ke stadion seperti ini terlalu parit untuk Bandung –kota yang selalu bangga disebut sebagai pusat kreativitas dan inovasi.
Baca Juga: Lima Poin Kunci Pengelolaan Stadion GBLA Gedebage
Kala Sepak Bola Bikin Penguasa Turun Tahta
Sepak Bola adalah Perlawanan
Imbauan dan Medan Tidak Sinkron
Bobotoh bukan hanya loyal dalam sorak, tetapi juga dalam cara mereka mendukung. Banyak di antara mereka naik kereta lokal, turun di Stasiun Cimekar, lalu berjalan kaki menuju stadion. Itu pilihan rasional dan bertanggungjawab –tidak menambah kemacetan; tidak menyumbang emisi. Akan tetapi, mereka justru mendapat hukuman dalam bentuk medan berat. Pilihan jalan kaki tidak difasilitasi dengan baik oleh pemerintah. Jika ingin memilih jalur proper, mereka perlu memutar berkali lipat jaraknya.
Jika pertandingan dimulai pukul 15.30 WIB, maka artinya mereka sudah harus tiba di stadion setidaknya 1-2 jam sebelumnya. Artinya pula, mereka jalan kaki di tengah panas, tanpa naungan, sempit, dan penuh debu. Jika laga berakhir malam, sekitar pukul 21.30, maka jalan pulang mereka adalah petak gelap yang rawan.
Ini menyalahi akal sehat urbanisme. Menghukum pejalan kaki. Menggoda orang untuk kembali naik motor atau mobil dari garasi. Masalahnya, itu lagi: kemacetan, emisi, dan parkir liar.
Pemerintah punya segudang tagline –dari “Ayo Naik Transportasi Umum” sampai “Green Mobility”. Akan tetapi, semua itu menjadi basa-basi jika infrastruktur dasarnya seperti ini. Apalagi, kalau birokratnya sibuk saling lempar tanpa ada satu pun yang menyentuh perbaikan masalah di lapangan (Baihaqi & Kurniadi, 2023). Benarlah bahwa birokrasi itu kompleks, tetapi rakyat juga tidak boleh dipaksa menunggu mereka saling cocok terlebih dahulu baru jalan.
Kota Besar Tidak Ramah Pejalan
Bandung ingin sekali menjadi kota layak huni. Namun, sebetulnya layak untuk siapa? Adakah pejalan kaki masuk dalam proyeksi? Jalur parit Cimekar-GBLA hanyalah satu dari banyak contoh infrastruktur kota yang belum berpihak pada pedestrian.
Bandung bisa berkaca pada negara dengan tradisi sepak bola yang kuat: Italia. Negara pencetus tradisi corteo atau berjalan dari satu tempat ke stadion ini punya banyak contoh. Di berbagai kota, berjalan kaki ke stadion adalah hal lumrah, bahkan disengaja (Kusuma, 2017).
Contohnya, di Allianz Stadium Juventus, Turin, area sekitar stadion akan disterilkan dari kendaraan bermotor, termasuk kendaraan umum yang harus berhenti di titik yang lebih jauh dari seharusnya. Di Stadion Artemio Franchi, markas Fiorentina, stasiun terdekat darinya adalah Firenze Campo di Marte, yang berjarak sekitar 400 meter menuju stadion. Sementara itu, di San Siro atau Giuseppe Meazza, Milan, khalayak harus berjalan sekitar 15 menit menuju stadion dari halte metro atau trem terdekat.
Artinya, kondisinya sama: harus jalan kaki. Akan tetapi, di sana pejalan kaki tetap diberi trotoar, lampu jalan, bahkan rambu. Ada ruang untuk berjalan bersama dan terhormat. Di Bandung? Bobotoh berjalan beriringan menyusuri parit di pematang sawah.
Anggaran Ada, Eksekusi Belum Juga Merata
Dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Provinsi Jawa Barat Tahun 2025, Gubernur Dedi Mulyadi menekankan fokus pada layanan dasar dan infrastruktur. Tema yang diusung juga dahsyat: “Menyongsong Jawa Barat Istimewa: Percepatan Transformasi Layanan Dasar”. Dari data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat, alokasi untuk infrastruktur jalan termasuk paling besar: pembangunan jalan provinsi Rp 1,6 triliun, jalan khusus Rp 30,9 miliar, jalan lainnya Rp 5,2 miliar, dan jembatan jalan provinsi Rp 193,2 miliar.
Atau, kalau ternyata ini masuk dalam kewenangan Pemerintah Daerah Tingkat II, data APBD Kota Bandung juga menampilkan komitmen serupa. Salah satu prioritas utamanya adalah infrastruktur kota yang inklusif, terintegrasi, dan mendukung kelayakhunian, dengan alokasi anggaran infrastruktur mencapai Rp 805 miliar.
Retorikanya menarik; temanya menjanjikan. Akan tetapi, hasil di lapangan belum sejalan dengan semangatnya. Apa artinya “infrastruktur inklusif dan layak huni” jika kebutuhan sederhana warga yang ingin menonton bola dengan selamat saja belum diperhatikan? Jika menonton bola saja harus melewati sawah dan parit, bagaimana bisa kota ini banyak bicara soal inklusivitas?
Klaim Kebanggaan
Pernah, stadion ini nyaris dinamai dengan nama wali kota yang menjabat pada saat pembangunan –begitu percaya diri. Sayang, hingga saat ini, hasilnya belum sesuai dengan klaim kebesaran. Bahkan, perbedaan dapat terlihat antara visual yang tersaji di realitas dengan perencanaan ambisius yang dahulu disebarluaskan. Kini, babak baru dimulai setelah adanya serah terima pengelolaan GBLA dari Pemerintah Kota Bandung kepada PT Persib Bandung Bermartabat untuk jangka panjang. Ini membuka harapan atas tata kelola yang lebih baik. Namun, mari jujur: ketika stadion masih dalam pengelolaan pemerintah, hasilnya apakah sudah membanggakan?
Wacana perpanjangan rel kereta api ke dekat GBLA memang patut diapresiasi. Tetapi, solusi jangka panjang tidak berarti meniadakan kebutuhan mendesak. Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru memastikan bahwa Liga 1 musim 2025-2026 sudah akan dimulai pada bulan Agustus. Hari ini, jalan dari stasiun ke stadion butuh pembenahan. Minimal, koridornya diperbaiki. Papan petunjuk resmi dan penerangan dipasang.
Jika Bobotoh dapat berjalan jauh dari stasiun, meluangkan waktu, datang lebih awal, rela terkena terik matahari, dan pulang dalam gelap malam, maka mengapa negara begitu sulit untuk menyediakan aksesibilitas yang layak? Apakah karena pejalan kaki yang melintas di pematang sawah itu merupakan warga kelas dua?
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang sepak bola